Para Muballigh Membangun Jargon Kekuatan

Pemerintah131 views

Oleh Nursalim Turatea, Ketua IWOI Kepri

MabesNews.com, Sering kita dengan para muballigh sering mengeluh elukan jagoannya dalam sebuah platform media sosial. Dengan sedikit sinis menyampaikan pertanyaan ini: “apakah yakin pasangan anda akan menang? Sudahlah anda kan muballigh, baiknya fokus saja ke tugasnya sebagai muballigh”.

Kami para muballigh awalnya malas untuk merespon. Karena kami para muballigh tahu yang mengirimkan pesan ini adalah seseorang yang juga sekedar mengantarkan pesan dari orang lain. Orang lain itu agak ragu untuk langsung berdiskusi dengan kami para muballigh melalui berbagai media sosial. Entah kenapa.

Tapi demi kemanfaatan luas, kami para muballigh berpikir perlu untuk merespon. Kami para muballigh yakin ada saja dan mungkin masih banyak yang memiliki pandangan yang sama dengan orang ini. Sehingga untuk mengoreksi pandangan itu saya sampaikan respon secara publik demi kemanfaatan yang lebih luas.

Hal pertama yang kami para muballigh respon adalah anjurannya agar seorang muballigh harusnya fokus pada tugas keustadzannya. Dalam hal ini sejujurnya kami para muballigh bingung. Kami mencoba merenungkan kembali tentang apa tugas seorang muballigh itu. Yang pertama memang terbentik di pikiran saya adalah ceramah, khutbah, mengimami Sholat dan seterusnya.

Lalu kami para muballigh mencoba merenungkan makna dan tujuan dari kegiatan ceramah, khutbah, tausiah dan nasehat-nasehat yang seorang muballigh lakukan. Sesungguhnya untuk apa? kami para muballigh temukan jawabannya ternyata satu kesimpulan: menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar demi terwujudnya kehidupan yang lebih baik, benar dan berkeadilan.

Kesimpulan tentang tujuan aktifitas seorang muballigh itu membawa saya kepada kesimpulan lain. Bahwa aktifitas politik yang sesungguhnya bertujuan untuk menghadirkan perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, benar dan berkeadilan ternyata menjadi bagian penting dari tugas seorang muballigh. Tugas politik pada esensinya bukan secara ekslusif tugas para politisi.

Dengan demikian anjuran sebagian agar para muballigh membatasi ruang geraknya dalam melakukan dakwah menjadi batal dengan sendirinya. Karena memang politik adalah proses-proses untuk mengelolah kehidupan publik demi terwujudnya kehidupan yang diinginkan sesuai kehendak Pemilik langit dan bumi (Allah SWT).

Kecurigaan kami para muballigh kemudian tumbuh lebih jauh. Ternyata upaya pembatasan tugas-tugas para Ustadz, Kyai, Syeikh, Imam, dan gelar keagamaan lainnya itu boleh jadi bagian dari upaya pemisahan agama dari politik dan kehidupan publik secara umum. Itulah ruh sekularisme yang sedang promosikan oleh mereka yang memang anti Islam.

Dengan cara ini pula, ketika para muballigh dan Ulama menjauh menghindari politik, maka yang akan menguasai panggung politik adalah “political gangsters” (bandit-bandit politik) yang cenderung menghalalkan segala cara. Tujuan politik untuk menghadirkan kemaslahatan umum berbalik menjadi jalan berbagai kezholiman kepada masyarakat luas.

Lalu kami para muballigh merespon ke pertanyaan: apakah yakin jagoan anda menang?

Untuk menjawab pertanyaan ini kami tidak berpikir panjang, dan dengan segala keyakinan menjawab: “Iya insyaAllah paslon yang kami dukung pasti menang”.

Dia kemudian dengan agak sinis, seolah meyakinkan bahwa paslon yang saya dukung pasti kalah: “kok anda terlalu yakin?”.

Di sinilah kemudian kami agak panjang dalam merespon. Intinya saya sampaikan seperti berikut ini.

Bahwa ketika kami melakukan sesuatu, termasuk dalam dukungan politik, kami tidak melakukannya dengan setengah hati. Tapi dengan hati nurani dan keyakinan yang tinggi. Melakukan sesuatu untuk kepentingan pribadi saja kami para muballigh sepenuh hati. Apalagi hal ini berkaitan dengan urusan umat, bangsa dan negara bahkan dunia.

 

Selanjutnya kami para muballigh sampaikan bahwa memang ada perbedaan mendasar antara cara pandang anda dan kami para muballigh dalam melihat makna kemenangan. Ukuran anda dengan kemenangan ini sempit, hanya dengan kekuasaan. Bagi saya kemenangan tidak sekedar kekuasaan. Selain karena kuasa Allahlah yang akan menentukan kekeluargaan (Maalikal mulk), juga bagi saya itu hanyalah bonus. Fir’aun, Tsamud, Aad, dan banyak yang lain juga pernah diberi kekuasaan. Tapi saya yakin mereka adalah “the losers” (orang-orang kalah).

Dia kembali melanjutkan pertanyaannya: “lalu kemenangan dalam pandangan anda apa?”

Jawaban para muballigh: kemenangan itu selama dalam batasan-batasan dunia tidak pada hasil akhir. Semua yang masih termaknai dengan pemaknaan dunia itu bagian dari proses. Hasil akhir untuk semua kemenangan bagi saya adalah akhirat.

Karenanya kemenangan pada tataran dunianya bukan sekedar di akhirnya. Karena sekali lagi itu bukan akhir. Tapi masih bagian dari “proses-proses” yang terjadi. Yang menentukan kemenangan di sini adalah proses-proses itu benar, baik secara legal (hukum) maupun secara etika (moral). Dan tentunya dilalui dengan sepenuh hati (yakin) dan kesungguhan. Selebihnya itu ada pada ketentuan Allah SWT.

Lalu kami para muballigh menguatkan bahwa proses yang benar dan dijalani secara sungguh-sungguh itu merupakan kemenangan. Sebaliknya kami yakin bahwa mereka yang melakukan proses-proses salah, termasuk melanggar etika berat, serta melakukan berbagai manipulasi maka kalaupun akhirnya diberikan kekuasaan, itu bukan kemenangan. Justeru itu adalah kekalahan dan jalan kehancuran.

Saya akhirnya ingatkan bahwa mereka yang secara sadar ikut terlibat dalam proses-proses yang salah dan manipulatif itu menjadi bagian. Dan pastinya kelak akan ada pertanggung jawaban akan disampaikan dihadapan rakyat dan Allah SWT.

Semoga Allah menjaga kita dan memudahkan jalan bagi proses-proses yang benar dan bertujuan untuk kemaslahan bagi semua. Aminkan aja dulu!

Batam, 24 Januari 2024