
( Mabesnews.com-Gorontao) Diduga Mustafa Yasin belum bisa pulang. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang juga anggota DPRD Provinsi Gorontalo itu saat ini masih menetap di kawasan Uhud, Madinah Al-Munawarah, Arab Saudi. Kepulangan dia tertahan karena satu dokumen penting: exit permit. Tanpa itu, ia tak bisa keluar dari Arab Saudi. Dan yang bisa menerbitkan surat tersebut hanyalah sponsor pihak yang hingga kini masih menahan haknya karena piutang belum dilunasi.
Dari salinan penjelasan dokumen yang diterima media, ”Perkara yang ditangani oleh Pengadilan Eksekusi Makkah dengan Nomor Surat Promes 1009062519361145, Tanggal Surat 09-06-2025, bahwa Mustafa Yasin berhutang kepada seseorang bernama Waleed Saad bin Awadh Al-Otaibi dengan total tagihan sejumlah 150.000 Riyal Saudi, dengan status perkara sedang dalam proses eksekusi.”
Skandal dugaan penipuan dana haji yang melibatkan Mustafa Yasin, kini semakin dalam dan memantik kemarahan para jamaah.
Mustafa bukan jemaah haji biasa. Ia adalah Direktur Utama dan pemilik PT Novavil Mutiara Utama, sebuah biro perjalanan dan umrah yang kini statusnya “dibekukan, Bolokir” oleh Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI). Tidak hanya PPIU, izin Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) Travel Novavil tidak pernah mengantongi izin.
Namun kenyataannya, travel ini tetap mengirim puluhan jemaah ke Tanah Suci dengan visa non haji yang diakali sebagai “Visa Amil”. Padahal, sebelumnya Kemenag RI telah mngumumkan bahwah, pemerintah saudi tidak mengeluarkan kuota ataupun Visa Furoda. Imbasnya, jemaah terlantar, ratusan juta uang jamaah raib, dan sebagian yang tembus berhaji hanya bisa wukuf dari dalam mobil.
Dari pengakuan Jamaah, Sebanyak 65 orang jemaah dari berbagai daerah, termasuk Ternate, Sulawesi Utara dan Morowali dan Gorontalo, menjadi korban. Mereka menyetorkan dana hingga Rp200 juta per orang kepada Travel Novavil, dengan total perkiraan dana yang masuk ke Mustafa Yasin mencapai hingga Rp13 miliar.
“Kami hitung-hitung boros, kalau biaya perjalanan maksimal hanya mencapai Rp3 miliar, lalu ke mana sisa Rp10 miliarnya?” kata salah satu jemaah yang minta namanya disamarkan.
Penyimpangan dimulai sejak keberangkatan di Jakarta, para jemaah masih dimintai tambahan dana. “Ada yang diminta Rp25 juta per orang,” ujar jemaah itu lagi.
Di Arab Saudi, keadaan semakin memburuk. Visa haji yang dijanjikan ternyata visa kerja (Visa Amil), anehnya, dokumen pendukung seperti tasreh (izin berhaji), iqomah (izin tinggal), dan Nusuk (izin masuk ke Arafah). tak kunjung diterbitkan oleh muassasah.
“Katanya di jakarta, dokumen sudah siap disana, tapi setibanya di Jeddah semua kosong,” ujar korban lain. “Kami telusuri, ternyata Muasaasah menahan semua dokumen karena Mustafa belum melunasi biaya pembuatan visa: 3.500 riyal Saudi.” artinya ada tunggakan sekitar Rp1 miliar.
Di depan para jemaah yang mulai frustrasi, Mustofa Yasin berulang kali berdalih telah “ditipu” oleh rekanan di Arab Saudi. Ia menyebut seorang bernama Waleed yang mengatur visa dan meminta tambahan bayaran dari 4.000 riyal menjadi 7.500 riyal. Tapi ketika ditanya bukti perjanjian atau kwitansi, Mustofa tak bisa menunjukkan dokumen apa pun.
“Katanya cuma saling percaya,” kata jemaah. “Padahal ini uang miliaran rupiah.”
Kecurigaan pun mencuat. Para jemaah menduga harga asli memang 7.500 riyal, dan Mustofa hanya membayar panjar 4.000 untuk mengelabui mereka.
Tak berhenti disitu, Para jamaah yang kecewa ini mencari tau tentang kebohongan Mustafa. Di Arab Saudi, penyedia logistik bernama Budi yang disebut sebagai “orangnya Mustofa” ikut menyeret jemaah dalam kisruh pembayaran.
Budi menerima setoran dana Rp33 juta per jamaah, dengan total sekitar 400 juta sementara Mustofa menerima dana dri jamaah 39 per jamaah langsung sekitar 600 juta, namun menurut mustofa dana 600 jutaan itu telah di setor ke Budi. Dana tersebut untuk biaya bus dan pengawalan polisi menuju Arafah.
Namun, perusahaan bus menyatakan belum menerima pembayaran.
“Mustofa merasa ditipu oleh Budi,” ujar seorang korban sambil tertawa, “Tapi kenapa uang jemaah bisa jatuh dari tangan Budi tanpa bukti pembayaran ke pihak ketiga?.” Akibatnya, sebagian jemaah terkatung-katung di Jeddah.
“Kami sudah antrian di depan bus, tapi malah disuruh bayar oleh sopir Bus. Karena tidak punyaa uang maka kami tidak jadi naik, sangat memalukan Pak. Bayangkan, kami ingin berhaji, tapi malah diturunkan di bus, kata mustofa tinggal berangkat, padahal jamaah sudah bayar lunas” ujar jamaah lainnya dengan nada kecewa
Dari hasil penelusuran media ini, total jamaah yang berhasil ke Jeddah hanya 50 orang, dari 65 jamaah yang terkumpul di Jakarta. Sisanya:
6 orang tertahan di Dubai (asal Morowali)
2 orang hanya samapai di Surabaya
1 orang Sampai Singapura
6 jamaah hanya sampai Jakarta dan gagal diberangkatkan
Dari 50 orang yang tiba di Arab Saudi:
16 orang berhasil wukuf di Arafah, meski hanya dari dalam mobil.
34 orang lainnya hanya sampai di Jeddah dan gagal melaksanakan haji.
Dari 34 tersebut, 24 orang akhirnya diikutkan umrah setelah musim haji selesai.
10 orang lainnya memilih bertahan di Jeddah karena kecewa dan ingin segera pulang.
Di penghujung musim haji, puluhan jemaah sempat tidak bisa kembali ke Indonesia. Muasasah enggan menerbitkan exit permit karena tunggakan Mustofa. Setelah terjadi perlawanan keras dari jemaah , akhirnya Mustofa bersedia menjadi jaminan agar mereka bisa keluar Arab Saudi.
Kini, hanya Mustafa yang tertahan.
Surat dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah dengan nomor 1537/KONS-NON/07/25 tanggal 23 Juli 2025 menyatakan bahwa Mustofa Yasin masih menetap di Arab Saudi dan belum bisa kembali ke Indonesia karena terkendala proses penerbitan Exit Permit Only (EPO) oleh sponsor.
Hingga saat ini, belum ada tindakan hukum yang jelas terhadap Mustafa Yasin di Indonesia. Padahal, beberapa Lemabaga Swadaya Masyarakat (LSM) mendesak aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas dana miliaran rupiah yang mengalir ke Mustafa.
Statusnya sebagai anggota DPRD membuat sebagian publik bertanya-tanya, adakah perlindungan politik yang sedang bekerja di balik layar?
“Kalau bukan penipuan, lalu apa?” tanya salah satu jemaah.
Kasus ini membuka kembali borok sistem pengawasan haji dan umrah di Indonesia. Ketika izin telah diblokir, mengapa biro travel semacam PT Novavil tetap bisa memberangkatkan jemaah? Di mana pengawasan dari Kementerian Agama? Dan yang paling tragis: mengapa harus para jemaah yang gigit jari dan menanggung semua kerugian ini?
Terakhir kata jamaah yang sempat diterlantarkan oleh Mustafa, pihaknya akan mengirimkan bukti-bukti tambahan lainnya berupa transferan dana jamaah, rekaman suara dan video waktu mereka selama perjalanan untuk mengungkap penipuan dan kejahatan “Skandal Haji Bodong” yang disengajakan Mustafa Yasin. ( JM)