Sembilan Bulan Terkatung-katung, Keadilan Gadis Disabilitas Dipertanyakan di Polres Tebing Tinggi

Polri27 views

MabesNews.com,-Tebing Tinggi, Sumut – Kasus pilu seorang gadis penyandang disabilitas yang menjadi korban rudapaksa di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, kini memasuki babak yang kian memilukan. Sembilan bulan berlalu sejak laporan diajukan, namun proses hukum di Polres Tebing Tinggi berjalan tanpa kepastian, menyisakan tanya besar dan luka mendalam bagi korban serta keluarganya.

Peristiwa ini bukan sekadar lamban, melainkan gambaran nyata dari ketidakpekaan dan ketidakprofesionalan aparat penegak hukum dalam menangani kasus yang sangat sensitif.

Kronologi Tragis dan Janji Palsu

Semua bermula dari bujuk rayu licik seorang pria bernama Pujinaro Tampubolon melalui media sosial. Pada 26 November 2024, ia berhasil memperdaya korban di Riau dengan janji palsu akan dinikahi dan dikenalkan pada orang tuanya.

Percaya pada rayuan itu, korban yang memiliki keterbatasan pun tak ragu mengikuti pelaku ke Tebing Tinggi.

Namun, alih-alih menemui orang tua, korban justru dibawa ke sebuah madrasah di Dusun V Emplasemen Rambutan, Desa Paya Bagas.

 

Di sanalah tragedi itu terjadi pada 29 November 2024. Setelah melampiaskan nafsunya, pelaku yang biadab ini tega meninggalkan korban sendirian di tempat asing. Warga yang menemukan korban dalam kondisi bingung dan terlantar akhirnya berinisiatif menghubungi keluarganya melalui informasi yang tersebar di Facebook.

 

Proses Hukum Mandek, Kinerja Polisi Dipertanyakan

Keluarga korban segera mengambil langkah hukum dengan melaporkan pelaku ke Polres Tebing Tinggi pada 1 Desember 2024.

 

Namun, harapan akan keadilan cepat pupus. Sembilan bulan telah berlalu, dan kasus ini masih saja berputar-putar di tahap penyidikan. Dalih yang terus diulang adalah “melengkapi berkas perkara sesuai petunjuk jaksa (P19)”.

 

Kuasa hukum korban, Utreck Ricardo Siringoringo, S.H., M.H., tak bisa menahan kekecewaan. Ia menilai kinerja penyidik Polres Tebing Tinggi sangat tidak profesional dan lamban.

 

“Ini bukan sekadar kasus biasa, ini kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas. Seharusnya penanganannya menjadi prioritas utama. Tapi kenyataannya, sudah sembilan bulan kasusnya ditangani, tak ada kejelasan,” kecam Ricardo.

“Rentang waktu ini sangat tidak wajar. Apakah keadilan hanya berlaku bagi mereka yang ‘sempurna’? Korban disabilitas ini seolah tidak mendapatkan perhatian seutuhnya di mata hukum.”

Kapolda Sumut Diminta Turun Tangan

Melihat stagnasi yang tak berkesudahan, Ricardo mendesak Kapolda Sumatera Utara, Irjen Pol Whisnu Hermawan Februanto, untuk segera mengevaluasi kinerja jajaran Satreskrim Polres Tebing Tinggi.

“Kami meminta Kapolda Sumut turun tangan. Bila perlu, evaluasi seluruh jajaran di Polres Tebing Tinggi bila kasus ini tak kunjung disidangkan,” tegas Ricardo.

“Kasus ini harus menjadi pengingat bagi seluruh institusi kepolisian bahwa integritas dan responsivitas adalah harga mati, terutama dalam melindungi kelompok yang paling rentan.”

Keterlambatan ini mengirimkan pesan yang sangat berbahaya: bahwa kekerasan terhadap penyandang disabilitas bisa dipandang sebelah mata oleh aparat penegak hukum.

Hingga saat ini, keadilan untuk gadis malang itu masih terkatung-katung, menjadi cermin buram dari wajah penegakan hukum di Indonesia.

 

(Samsul Daeng Pasomba/Tim)