Rindunya Sang Penulis

Lainnya71 views

Oleh: Nursalim Turatea

 

MabesNews.com, Ada rindu yg tak pernah usai meski waktu terus berjalan. Rindu itu bukan sekedar pada seseorang, melainkan pada makna dan suasana, pada kenangan
, pada lembar-lembar kehidupan yang per ah ditulis dengan sepenub hati. Begitulah rindu seorang penulis, ia bukan sekedar rasa tapi denyut yang hidup di antara kata dan waktu.

Di setiap helai malam yang sunyi pena seolah memanggil.

Lembaran kertas menunggu disentuh, seakan tahu bahwa lembaran kertas menunggu bahwa rindu itu hanya bisa sembuh bila dituangkan menjadi tulisan.

Penulis merindukan dirinya sendiri yang dulu yang menulis dengan penuh gairah tanpa peduli siapa pembacanya yang menulis karena cinta, bukan karena tuntunan.

Kini dunia telah berubah. Banyak yang menulis demi sorotan, bukan karena getaran. Namun sang penulis tetap setia pada sunyi. Ia tahu, setiap kata yang lahir dari keikhlasan akan menemukan pembacanya sendiri, bahkan jika harus menempuh perjalanan panjang yang terlihat oleh mata.

Rindunya bukan pada tepuk tangan, melainkan pada kedamaia saat menulis. Pada aroma kertas dan tinta, pada suara halus pada saat pena menari. Ia rindu pada dirinya yang biasa larut dalam kalimat, tenggelam dalam makna, hingga lupa waktu.

Kadang, penulis berhenti sejenak dan menatap langit. Ia tersenyum kecil menyapa kenangan yang melintas: kawan – kawan lama, kota yang pernah disinggahi, wajah wajah yang memberi inpirasi.

Semua itu kini hidup kembali diruang kata yang ia bangun. Di sanalah rindu bersarang tumbuh dan bermekaran dalam diam.

Menulis, baginya, bukan sekedar pekerjaan. Ia adalah ibadah, jalan pulang menuju makna, dan tempat mengadu ketika dunia merasa bising. pena jalan pulang menuju makna, dan tempat mengadu ketika dunia terasa bising. Pena menjadi saksi bisu berapa ia mencintai kehidupan, sekaligus berapa ia sering tersesat di dalamnya.

Namun rindu yang paling dalam adalah rindu untuk tetap menulis dalam kejujuran. Bukan untuk dipuji tetapi untuk menyembuhkan, sebab ia tahu kata yang tulus akan menyembuhkan, sebab ia tahu, kata yang tulus akan menemukan jalannya menuju hati yang memerlukan, menuju jiwa yang haus akan makna

Maka, ketika malam kembali datang, sang penulis menyalakan lampu kecil di mejanya. Ia membuka buku catatan tua, menarik nafas panjang dan tersenyum.
“Selamat datang kembali, rinduku” bisiknya pelan. Lalu Pena itupun menari lagi.