Mabesnews.com-Tanjungpinang. — Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepulauan Riau Nomor 222 Tahun 2025 tentang pengangkatan pengurus Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) periode 2025–2030 memantik polemik yang kian melebar. Di balik euforia pelantikan pengurus baru, muncul gelombang keberatan dari sejumlah pihak yang menilai proses penetapan kepengurusan tersebut sarat kejanggalan dan berpotensi menimbulkan dualisme kepemimpinan di tubuh forum yang sejatinya berfungsi menjaga kerukunan antar-etnis.
Salah satu isu yang menjadi sorotan publik ialah dugaan adanya rekomendasi dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Kepulauan Riau terhadap nama-nama pengurus baru yang tercantum dalam SK. Di antara figur yang disebut, muncul nama-nama seperti Nazaruddin, S. Azhari, Mustari, dan Ahmadinata—beberapa di antaranya diketahui aktif pula dalam struktur LAM Kepri.
Namun, dugaan itu segera dibantah tegas oleh Ketua Umum LAM Kepri, Da’to Raja al Hafisz. Menegaskan bahwa lembaga yang dipimpinnya tidak pernah mengeluarkan rekomendasi resmi—baik tertulis maupun lisan—kepada pihak mana pun terkait penyusunan kepengurusan FPK.
“Secara kelembagaan, LAM Provinsi Kepulauan Riau tidak pernah memberikan rekomendasi kepada siapa pun dalam penetapan nama-nama di SK FPK. Kalau ada individu yang kebetulan juga pengurus LAM dan masuk dalam struktur FPK, itu semata kapasitas pribadi, bukan atas nama lembaga,” tegasnya.
Menurutnya, LAM memiliki garis koordinasi dan mekanisme internal yang ketat dalam setiap keputusan organisasi. “LAM adalah lembaga adat, bukan organisasi politik. Kita tidak ikut campur dalam penetapan struktur lembaga lain, termasuk FPK. Prinsip kita adalah menjaga marwah, bukan memperluas pengaruh,” ujarnya.
Pernyataan itu sekaligus menepis anggapan adanya intervensi lembaga adat terhadap forum yang berada di bawah koordinasi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Kepri.
Di sisi lain, suara keberatan datang dari Asmali, perwakilan komunitas Aceh yang telah lima periode aktif di FPK Kepri. Ia menyoroti dua hal pokok: proses penyusunan nama-nama pengurus baru yang dinilai tidak melalui mekanisme organisasi yang semestinya, serta perubahan masa jabatan yang kini diperpanjang menjadi lima tahun.
“Biasanya masa kepengurusan hanya tiga tahun dan dilakukan evaluasi. Sekarang tiba-tiba menjadi lima tahun tanpa konsultasi atau rapat pleno. Ini perlu dijelaskan secara terbuka oleh Kesbangpol,” kata Asmali.
Ia menambahkan, FPK seharusnya tetap menjunjung nilai keterbukaan dan kebersamaan lintas etnis. “FPK itu rumah besar kita semua, bukan milik satu golongan,” ujarnya dengan nada menegaskan.
Menanggapi polemik yang berkembang, Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Kepri, Lucky Saiman Prawira, menyatakan pihaknya akan meminta Kesbangpol untuk menelusuri persoalan ini dan memfasilitasi pertemuan klarifikasi.
“Saya belum mengetahui detail persoalan internal itu. Namun saya akan minta Kesbangpol mendudukkan masalah ini secara proporsional agar semua pihak kembali pada semangat kebersamaan,” ujar Lucky saat dikonfirmasi.
Seorang pengamat tata kelola organisasi di Tanjungpinang menilai kisruh ini mencerminkan lemahnya sistem transparansi dan komunikasi antarlembaga. “FPK adalah instrumen negara untuk memperkuat kohesi sosial. Jika proses administrasinya tertutup dan penuh tanda tanya, kepercayaan publik bisa menurun,” ujarnya.
Menurutnya, forum yang mestinya menjadi perekat sosial justru berpotensi menjadi sumber gesekan jika mekanisme pengangkatan pengurus dilakukan tanpa partisipasi dan transparansi.
Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2006 sebagai wadah komunikasi, konsultasi, dan kerja sama antarwarga dari berbagai latar belakang etnis, budaya, dan agama. Di Provinsi Kepulauan Riau—daerah perbatasan dengan karakter masyarakat yang sangat majemuk—FPK memiliki posisi strategis dalam menjaga harmoni sosial dan memperkuat semangat Bhinneka Tunggal Ika di tingkat lokal.
Sejak pertama kali dibentuk pada masa Gubernur Ismeth Abdullah, FPK Kepri berperan penting dalam memediasi berbagai dinamika sosial dan menjadi jembatan antar-komunitas. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, forum ini kerap diguncang persoalan internal yang berkisar pada legitimasi pengurus, masa jabatan, dan potensi politisasi.
Dengan kondisi tersebut, transparansi, akuntabilitas, dan kejelasan mekanisme administratif menjadi kunci utama agar FPK tetap berjalan sesuai mandatnya: menyatukan perbedaan, bukan menambah perpecahan.
arf-6













