PHK Sepihak PT Allbets Marine Diwarnai Intimidasi: Pengamat Nilai Perusahaan Langgar Prosedur dan Etika Ketenagakerjaan

Sosial126 views

Mabesnews.com. Batam — Pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap Paizal di PT Allbets Marine kini berubah menjadi sorotan publik yang semakin keras. Sejumlah indikasi intimidasi, pemeriksaan tanpa prosedur, serta pengabaian prinsip keadilan membuat para pemerhati hubungan industrial mempertanyakan integritas tata kelola perusahaan tersebut.

Kasus yang pada awalnya hanyalah komunikasi pribadi antara Paizal dan kerabatnya, Fajar, berkembang menjadi tuduhan “pelanggaran berat” setelah muncul transfer Rp500.000. Namun, fakta dari Fajar menyebut dana itu adalah permintaan atasan Paizal, Ferhad, bukan permintaan Paizal, dan bahkan bukan terkait rekrutmen di PT Allbets Marine.

Ironisnya, Ferhad—pihak yang justru menjadi sumber komunikasi awal—tidak pernah dipanggil, diperiksa, atau dikonfrontasi oleh perusahaan.

Interogasi Tanpa Dasar, Ancaman Kekerasan, dan Tekanan Internal. Situasi berubah dramatis pada 10 Oktober 2025, ketika Paizal dipanggil mendadak setelah jam kerja dan langsung diinterogasi oleh beberapa staf perusahaan tanpa prosedur resmi.

Tidak ada surat panggilan. Tidak ada pemberitahuan tertulis. Tidak ada berita acara. Tidak ada pendamping.

 

Justru sebaliknya: suasana interogasi dikabarkan berlangsung intimidatif.Menurut penuturan Paizal, salah satu staf, Jhoni, bahkan mengucapkan ancaman akan “memasukkan Paizal ke parit” dan membawa masalah ke kepolisian. Ancaman seperti ini, menurut para pengamat, merupakan pelanggaran berat terhadap etika perusahaan.

“Ini bentuk intimidasi murni. Dalam pemeriksaan internal mana pun, ancaman fisik tidak dapat ditoleransi,” ujar seorang pengamat ketenagakerjaan di Batam.

Ia menambahkan, jika benar, tindakan tersebut mencerminkan budaya manajemen yang bermasalah dan jauh dari prinsip hubungan industrial yang beradab.

 

Surat Panggilan dan Surat PHK Disodorkan Bersamaan: Tanda Proses Sudah Diatur. Pada 17 Oktober, Paizal datang ke kantor untuk mencari kejelasan. Bukannya mendapat ruang dialog, ia justru disodori dua dokumen sekaligus: Surat Panggilan 1 dan Surat PHK.

 

Pemberian surat panggilan dan PHK secara bersamaan dinilai sebagai bukti bahwa proses ini bukan lagi upaya klarifikasi, melainkan keputusan sepihak yang sudah dibuat sejak awal.

“Ini bukan hanya cacat prosedur, ini mengabaikan seluruh mekanisme PHK yang diatur undang-undang,” tegas seorang analis industri.

Ia menambahkan bahwa tanpa pemeriksaan saksi, tanpa verifikasi bukti, dan tanpa memberi ruang pembelaan, keputusan PHK seperti ini tidak memiliki dasar legal yang kuat.

Perusahaan juga tidak pernah memanggil Ferhat, pihak yang seharusnya diperiksa pertama.

“Jika saksi kunci tidak diperiksa, bagaimana mungkin tuduhan kepada pekerja dianggap sah?” tambahnya.

Setelah PHK dijatuhkan, komunikasi perusahaan kepada Paizal terhenti total. Pesan dan telepon tidak direspons.

Langkah perusahaan ini dinilai pengamat sebagai bentuk penghindaran tanggung jawab, bukan upaya penyelesaian.

Baru setelah Paizal melapor ke Bidang Pengawasan Disnaker Provinsi Kepri, perusahaan kembali menampakkan diri dan menyatakan siap mediasi.

Namun mediasi pertama 31 Oktober 2025 berakhir tanpa hasil karena perusahaan tetap menolak mempekerjakan kembali Paizal meskipun ia menunjukkan iktikad baik untuk kembali bekerja.

Mediasi kedua 3 November bahkan gagal dibuka karena perusahaan menolak kehadiran pendamping keluarga, padahal pendamping non-advokat diizinkan dalam proses mediasi ketenagakerjaan.

“Ini menunjukkan ketakutan perusahaan terhadap dialog terbuka,” kritik seorang aktivis buruh Kepri.

Beberapa pengamat hubungan industrial menyimpulkan bahwa pola penanganan kasus ini memperlihatkan indikasi:

Penyalahgunaan kewenangan

Ketiadaan objektivitas internal

Pengabaian saksi kunci (Ferhad)

Kemungkinan rekayasa narasi pelanggaran

Upaya membungkam pekerja melalui tekanan psikologis

“Jika benar terjadi, ini bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi distorsi serius terhadap keadilan industrial,” tegas seorang akademisi dari Tanjungpinang.

Ia menambahkan bahwa perusahaan yang mengambil keputusan PHK hanya berdasarkan satu bukti transfer tanpa konteks dapat dibawa ke ranah hukum.

Media ini telah mencoba menghubungi ibu Hanif, pihak HRD PT Allbets Marine, namun tidak mendapat respons baik melalui telepon maupun WhatsApp.

Saat menghubungi lawyer perusahaan, ia hanya menjawab singkat:

“Besok bisa hadir ke kantor, dan kami hadirkan pihak HRD PT Allbets Marine.”

Hingga berita ini diturunkan, perusahaan belum memberikan klarifikasi resmi mengenai ancaman verbal, prosedur pemeriksaan, maupun alasan tidak memanggil Ferhad dalam proses internal.

Paizal kini menyiapkan langkah hukum melalui:

Disnaker Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), Laporan pidana terkait intimidasi dan ancaman.

Ia juga tengah berkonsultasi dengan SBSI untuk memastikan proses hukum berjalan transparan.

Kasus ini dipandang sebagai alarm keras bagi tata kelola hubungan industrial di Batam. PHK tanpa prosedur sah, intimidasi, serta pengabaian saksi kunci adalah praktik yang dianggap tidak boleh dibiarkan.

 

arf-6