MabesNews.com, Jakarta – mabesnews.com — Dalam dunia yang terus bergerak cepat dan serba digital, jurnalisme ditantang untuk tetap setia pada akarnya: menyampaikan kebenaran, menjaga keadilan, dan menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan. Di tengah transformasi besar yang melanda industri media, sosok Nursalim Turatea, Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Indonesia Provinsi Kepulauan Riau, tampil sebagai pribadi yang teguh dan konsisten menjaga nilai-nilai luhur jurnalistik.
Wawancara eksklusif bersama Nursalim yang berlangsung di Ruang Diskusi Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA Jakarta pada 7 Juli 2025, membuka jendela refleksi tentang bagaimana jurnalisme Indonesia berkembang dari ruang redaksi yang penuh kertas menjadi dunia digital yang dikuasai kecepatan dan algoritma. Namun di balik itu semua, Nursalim menunjukkan bahwa esensi seorang jurnalis tidak berubah: menyuarakan kebenaran dengan nurani dan tanggung jawab.
Perjalanan Nursalim di dunia jurnalistik dimulai pada tahun 1998, di tengah situasi sosial-politik Indonesia yang sedang bergolak. Ia memulai langkahnya dari bawah, menulis berita untuk buletin komunitas kecil di daerahnya. Kertas dan tinta sederhana menjadi alat perjuangannya. Meski ruang publikasi saat itu terbatas, ia menyebut masa itu sebagai pondasi yang membentuk kecintaannya terhadap dunia pers. Tulisan-tulisannya yang membahas persoalan masyarakat lokal menjadi jembatan yang mempertemukan harapan rakyat dengan perhatian para pemangku kebijakan.

Dalam wawancara tersebut, Nursalim menjelaskan bahwa motivasi terbesarnya menjadi jurnalis adalah keinginan untuk menyampaikan informasi yang benar dan bermanfaat bagi publik. Ia percaya, di tengah banjir informasi yang belum tentu terverifikasi, peran jurnalis semakin penting untuk menyaring, menyeimbangkan, dan memperjelas mana yang fakta dan mana yang sekadar opini atau bahkan hoaks. “Saya ingin membantu mereka yang tidak punya suara agar didengar,” katanya dengan penuh keyakinan.
Tak lupa, Nursalim menyebut beberapa tokoh jurnalistik nasional yang menjadi inspirasinya, seperti Rosihan Anwar yang dikenal dengan integritas dan ketajaman pena, serta Najwa Shihab yang berani menyuarakan isu-isu sensitif di ruang publik dengan cerdas dan elegan. Baginya, jurnalis bukan sekadar pencatat peristiwa, tapi juga penyalur nurani publik.
Berbicara mengenai dinamika kerja di media online, Nursalim menguraikan tantangan besar yang dihadapi para jurnalis saat ini. Tidak ada lagi jam kerja pasti. Dunia digital menuntut kecepatan, namun bukan berarti mengabaikan akurasi. Ia menegaskan, di tengah dorongan untuk menjadi yang pertama, jurnalis tetap harus menjadi yang terpercaya. Kesalahan sekecil apa pun dalam menyampaikan fakta bisa berdampak luas dan mempengaruhi persepsi publik. Oleh sebab itu, dalam setiap liputan, ia selalu memastikan konfirmasi langsung kepada narasumber sebelum berita dinaikkan ke portal daring.
Proses kerja media online yang serba cepat juga diimbangi dengan tahapan redaksional yang ketat. Nursalim menjelaskan bahwa setelah seorang jurnalis menulis berita, naskah akan diperiksa oleh editor dari berbagai aspek: struktur penulisan, kelengkapan informasi, kebenaran fakta, hingga etika penyampaian. Barulah setelah melalui proses penyuntingan, berita bisa tayang. Ia menyebut bahwa meski berbeda dari media cetak yang lebih lambat, media online tetap dituntut menjaga kualitas dan kredibilitas.
Lebih jauh, Nursalim juga mengulas perbedaan mendasar antara media cetak dan media online. Menurutnya, media cetak menyuguhkan laporan-laporan panjang yang mendalam dan analitis, sedangkan media online harus disajikan lebih ringkas, langsung ke inti, serta dikemas menarik dengan dukungan visual yang kuat. Dalam era digital ini, judul yang menggugah, gambar yang tepat, bahkan video singkat dapat menjadi daya tarik utama, namun tetap harus dibingkai dalam kerangka etika jurnalistik yang kuat. “Jangan sampai demi viral kita korbankan kebenaran,” pesannya.
Dalam menangani isu sosial yang ramai dibicarakan, seperti kasus perundungan (bullying) di sekolah, Nursalim menekankan bahwa media memiliki tanggung jawab moral. Menurutnya, pemberitaan bukan sekadar alat eksposur, tetapi juga sarana edukasi dan advokasi. Identitas korban, terutama anak-anak, harus dijaga. Media seharusnya menjadi pelindung, bukan penggiring opini yang menambah luka. “Media bukan tempat sensasi, tapi tempat edukasi,” tegasnya.
Mengenai pemilihan narasumber, Nursalim menjelaskan bahwa seorang jurnalis harus mampu memilih tokoh yang relevan, berkompeten, dan memiliki integritas. Kualitas berita sangat ditentukan oleh kredibilitas narasumber dan kedalaman wawancara. Namun ia juga menegaskan, jurnalis harus tetap sopan, tidak memaksa, dan menggali informasi dengan pendekatan yang manusiawi. Prinsip dasar menghormati hak dan martabat narasumber adalah bagian dari etika yang tidak boleh dilanggar.
Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi antarjurnalis, baik dalam lingkup lokal maupun nasional, sebagai cara untuk menghindari kesalahan dalam penyampaian informasi. Jaringan komunikasi yang kuat di antara jurnalis dapat menjadi filter awal dalam memverifikasi suatu isu sebelum dipublikasikan. Selain itu, data dari lembaga resmi seperti pemerintah, lembaga riset, dan institusi hukum harus menjadi sumber rujukan utama untuk memperkuat kredibilitas berita.
Sebagai jurnalis senior yang telah merasakan berbagai fase perubahan media, Nursalim percaya bahwa adaptasi adalah kunci. Namun adaptasi tidak berarti menggadaikan prinsip. Meski teknologi berkembang pesat, nilai dasar jurnalistik tetap harus dijaga: kejujuran, keberimbangan, akurasi, dan keberpihakan kepada kepentingan publik. Menjadi jurnalis di era digital bukan hanya soal bisa menulis cepat, tapi juga bisa berpikir jernih dan bertindak bijak.
Wawancara ini menunjukkan bahwa di tengah derasnya arus digitalisasi, masih ada jurnalis-jurnalis yang setia pada jalan idealisme. Sosok Nursalim Turatea adalah representasi dari semangat itu. Ia bukan hanya pewarta kabar, tetapi juga penjaga marwah profesi. Melalui tulisannya, ia bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan juga membangun kesadaran, memupuk harapan, dan menjaga masa depan bangsa.
(Ditulis oleh: Nursalim Turatea, Ketua IWO Indonesia Provinsi Kepulauan Riau)







