Mabesnews.com,-Tapaktuan – Gerakan Pemuda Pala (GerPALA) menegaskan penolakannya terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi PT Bersama Sukses Mining (BSM) yang ditetapkan di Kecamatan Samadua, Aceh Selatan.
Koordinator GerPALA, Fadhli Irman, menyebut bahwa penetapan IUP Eksplorasi Nomor 542/DPMPTSP/882/IUP-EKS/2024 tanggal 17 Juli 2024 dengan luas 752,4 hektare tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap rakyat, karena dalam peta wilayah izin perusahaan itu terdapat lahan-lahan yang sudah dikuasai masyarakat secara turun-temurun selama puluhan hingga ratusan tahun.
Irman menegaskan bahwa tindakan memasukkan lahan milik masyarakat ke wilayah izin eksplorasi tanpa pemberitahuan dan tanpa persetujuan merupakan praktik penyalahgunaan kewenangan yang bertentangan dengan hukum adat, hukum positif agraria, hingga regulasi pertambangan di Aceh.
Ia menyebut bahwa masyarakat sangat terkejut ketika mengetahui bahwa tanah yang telah mereka kuasai sejak masa orang tua bahkan nenek moyangnya, tiba-tiba sudah menjadi kavling dalam peta IUP perusahaan. “Ini sangat tidak masuk akal. Banyak masyarakat bingung karena lahan milik mereka, lahan keluarga mereka yang sudah dikuasai selama puluhan bahkan sudah lebih seratus tahun, tiba-tiba masuk ke peta IUP perusahaan. IUP dalam hal ini bukan izin usaha pertambangan, tapi izin usaha perampokan. Perampokan lahan rakyat yang dimasukkan dalam peta perusahaan tanpa sepengetahuan pemiliknya,” tegas Irman.
Ia menjelaskan bahwa dalam hukum agraria, tanah yang sudah dikuasai masyarakat secara turun-temurun dianggap sah dan diakui negara. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, khususnya Pasal 3 yang menegaskan bahwa negara mengakui hak ulayat dan hak-hak tradisional sepanjang masih hidup, Pasal 5 yang menyatakan bahwa hukum agraria Indonesia berpijak pada hukum adat, serta Pasal 24 dan 25 yang menegaskan bahwa penguasaan fisik yang berkelanjutan dapat menjadi bukti hak.
Irman menilai bahwa masuknya lahan turun-temurun masyarakat ke dalam peta konsesi perusahaan tanpa proses konsultasi publik secara terbuka, apalagi tanpa persetujuan semua pemilik lahan, merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip kepastian hukum.
Selain melanggar hukum agraria, ia menilai penerbitan IUP tersebut bertentangan dengan Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 junto Qanun 15 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam pasal 34 disebutkan bahwa pengajuan IUP tidak boleh berada di atas tanah hak pihak lain, sementara pasal 36 ayat (2) mengatur bahwa pemegang IUP wajib memperoleh persetujuan dari pemilik tanah sebelum melakukan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi.
Selain itu, kata Irman, Pasal 53 juga memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mencabut IUP yang diterbitkan dengan cara yang tidak sesuai prosedur. “Kalau kita lihat ada lahan yang sudah dikuasai masyarakat dengan waktu yang sangat panjang, bahkan lebih tua dari usia pemilik perusahaan atau yang menandatangani IUP itu sendiri. Bagaimana mungkin tanah seperti itu bisa masuk begitu saja ke dalam peta izin perusahaan tanpa seizin pemilik? Ini tindakan yang terang benderang melanggar qanun,” ujar Irman.
Ia menambahkan bahwa penerbitan izin di atas tanah masyarakat juga bertentangan dengan UU Minerba 3 tahu 2020 yang secara jelas melarang kegiatan pertambangan di atas tanah hak pihak lain tanpa persetujuan, serta bertentangan dengan UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mensyaratkan adanya konsultasi publik secara terbuka sebelum kegiatan eksplorasi dapat berjalan.

Menurutnya, tidak ada proses sosialisasi dengan semua pemilik lahan maupun persetujuan masyarakat sebagaimana diwajibkan oleh prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC). “Masuk ke lahan orang itu ada adabnya, ada assalamualaikum waalaikum salam. Kalau diadatkan, kita bilang dulu. Ini tidak. Tiba-tiba tanah orang sudah berubah jadi peta perusahaan. Itu bukan kesalahan administratif, itu kejahatan struktural,” ungkapnya.
Irman juga menyoroti adanya kemungkinan pemerintah mengeluarkan Persetujuan Penggunaan Kawasan Pemanfaatan Ruang (PPKPR) untuk wilayah tersebut. Ia menilai bahwa jika benar PPKPR diterbitkan di atas lahan masyarakat tanpa verifikasi kepemilikan, maka hal itu memperkuat dugaan keterlibatan pemerintah dalam melegalkan perampasan lahan atas nama investasi pertambangan.
Ia mengatakan bahwa Instruksi Gubernur Aceh Nomor 08/INSTR/2025 tentang penataan dan penertiban perizinan sumber daya alam seharusnya menjadi dasar Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), untuk mengevaluasi, menertibkan, bahkan mencabut IUP Eksplorasi PT BSM.
Irman memahami bahwa IUP BSM diterbitkan sebelum Mualem dilantik sebagai Gubernur Aceh dan sebelum H. Mirwan MS menjabat sebagai Bupati Aceh Selatan, namun hal itu menurutnya tidak boleh menjadi alasan untuk membiarkan pelanggaran hukum dan perampasan hak rakyat terus berjalan. “Kami masyarakat berharap negara dan pemerintah hadir. Pemerintahan yang sekarang harus membela rakyatnya, bukan membiarkan perusahaan tambang menguasai tanah rakyat secara diam-diam. Jika pemerintah tak bertindak, jangan salahkan masyarakat jika nanti mengambil jalannya sendiri untuk memperjuangkan haknya,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa jika benar terdapat kandungan emas di wilayah tersebut, masyarakat lebih memilih mengelolanya melalui skema Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagaimana diatur dalam UU Minerba Pasal 67-73, dan PP 39 tahun 2025 serta sejumlah aturan lainnya. Menurutnya, skema WPR jauh lebih adil karena memberikan kepastian legalitas kepada masyarakat sekaligus memastikan negara hadir tanpa merampas hak rakyat.
GerPALA juga menyatakan akan terus mengkaji potensi adanya tindak pidana dalam proses penetapan IUP tersebut. Jika ditemukan indikasi gratifikasi, penyalahgunaan kewenangan, atau dugaan korupsi sumber daya alam yang menyebabkan lahan masyarakat dijadikan bancakan, GerPALA meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan untuk turun mengusut tuntas. “Kita juga akan pelajari apa sebenarnya modus di balik ini. Jika ada indikasi korupsi dalam perizinan, maka itu bukan hanya pelanggaran administratif, tapi kejahatan terhadap rakyat,” pungkas Irman.
(Samsul Daeng Pasomba.PPWI/Tim)







