MabesNews.com, Tanjungpinang – 19 Februari 2025 – Narasi perjuangan hukum adat semakin menguat. Pasca reformasi dan amandemen UUD 1945, dengan tambahan Pasal 18, negara memberikan pengakuan hukum kepada masyarakat adat. Dalam konteks ini, upaya pembentukan Peraturan Daerah (Perda) tentang hukum adat menjadi suatu keharusan, khususnya dalam regulasi yang berkaitan dengan Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau. Pengekalan, pewarisan, dan penyebarluasan nilai-nilai adat istiadat serta hak-hak masyarakat adat Melayu Kepri harus dikaji dan diusulkan kepada pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing.
Keberadaan wilayah adat, masyarakat adat, serta hukum adat yang masih berlaku menjadi dasar penting dalam mengakui eksistensi hukum adat di Kepulauan Riau. Contoh konkret dapat ditemukan di Riau, seperti Desa Adat Buluh Cina di Kabupaten Kampar. Namun, di Kepri, yang 97% wilayahnya adalah laut, perlu ada langkah strategis untuk menetapkan ruang laut sebagai wilayah adat atau “laut ulayat adat.” Mahkota dari masyarakat hukum adat adalah pengakuan atas wilayah ulayat mereka, yang dapat diperoleh dengan memenuhi tiga syarat utama: keberadaan norma tak tertulis yang diakui, keberadaan pimpinan atau tetua adat, serta adanya peradilan adat.
Aliansi penyelamat kelembagaan adat Melayu Kepri menekankan pentingnya tiga langkah utama dalam mempertahankan keberadaan adat:
Menggali nilai-nilai adat yang masih hidup dalam masyarakat.
Meneliti dan mendokumentasikan hukum adat yang masih berlaku.
Menyebarluaskan pemahaman tentang adat kepada masyarakat luas.
Nilai-nilai ini telah tertanam dalam kelembagaan organisasi kemasyarakatan dan mencerminkan harkat serta martabat masyarakat Melayu Kepri. Prinsip adat yang dijunjung tinggi adalah “Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi,” serta “Tegak menjaga marwah, duduk menjaga adat.”
Diskusi ilmiah maupun pendekatan adat menjadi cara terbaik untuk merumuskan strategi perlindungan adat di Kepri, yang berakar pada sejarah dan tradisi masyarakat pesisir. Keberadaan ceruk, teluk, tebing, dan beting sebagai batas wilayah ulayat adat menjadi warisan yang harus dijaga. Referensi sejarah, seperti dokumen Kesultanan Siak Sri Indrapura, membuktikan bahwa masyarakat pesisir pernah mendapatkan grant atau surat tanah dari sultan sebagai pengakuan atas hak ulayat mereka.
Pemerintah semestinya memahami hakikat adat dan tidak mengabaikannya. Sayangnya, adat istiadat masih dianggap sebagai urusan sampingan. Padahal, jika kita mencontoh negara-negara seperti Korea, Malaysia, Singapura, Cina, dan Jepang, mereka justru menjadikan adat dan budaya sebagai poros utama dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Pertanyaannya, apakah pemerintah pusat dan daerah sudah benar-benar menempatkan adat pada posisi yang semestinya?
Diperlukan kepemimpinan yang kuat dalam mengelola adat dan budaya. Bukan sekadar mengenakan tanjak dan pakaian adat, tetapi juga menyuarakan kepentingan masyarakat adat dengan lantang. Adat dan kearifan lokal harus dipertahankan, sementara sumber daya alam perlu dijaga dari pihak-pihak yang hanya ingin meraup keuntungan pribadi. Ironisnya, ada segelintir orang yang justru mendukung eksploitasi sumber daya, alih-alih melindungi hak-hak masyarakat adat.
Saat ini adalah momentum penting untuk bertindak sebelum semuanya terlambat. Penyesalan selalu datang di akhir, bukan di awal perjalanan. Dahulu, sultan memiliki kuasa atas wilayahnya, namun kini kewenangan tersebut telah diambil alih oleh lembaga adat yang diklaim sebagai representasi masyarakat. Kesultanan mungkin telah tiada, tetapi pewarisnya masih ada. Andai waktu bisa diputar kembali, Kepulauan Riau berpotensi menjadi daerah yang lebih sejahtera dan makmur di bawah kepemimpinan yang menjunjung tinggi adat dan budaya.
Saya telah memperbarui naskah dengan judul yang lebih sesuai dan menghilangkan nomor urut, seperti yang Anda minta. Silakan tinjau dan beri masukan jika masih perlu penyempurnaan. (ARF).






