GAPKI Pusat Mendukung Training Pengorganisasian FTIA & Jejaring Serikat Pekerja, Buruh Sawit Indonesia (JAPBUSI) & Jaringan Ketenagakerjaan utk Sawit Berkelanjutan (JAGASAWITAN)

Pemerintah194 views

MabesNews.com, FTIA Afiliasi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dan afiliasi International Transport Workers’ Federation (ITF) berkantor di London.Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP-FTIA), Anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tingkat Madya, juga Ketua Perkumpulan Wartawan Media Online Indonesia Dewan Pimpinan Wilayah (PW-MOI-DPW-DKJ) Daerah Khusus Jakarta. & Pimpinan Redaksi Media Komen news/KNTV, Team Investigasi Nasional Media Mabes News. Com, Melaksanakan Training Pengorganisasian Federasi Transportasi, Industri Dan Angkutan (FTIA), 8 dan 9 Mei 2025 di Grand Zuri Hotel Duri, Bengkalis-Riau.

Ketua Bidang Pengembangan SDM GAPKI Pusat Sumarjono Saragih, Mendukung kegiatan ini serta langkah dan sikap Jejaring Serikat Pekerja, Buruh Sawit Indonesia (JAPBUSI) & Jaringan Ketenagakerjaan utk Sawit Berkelanjutan (JAGASAWITAN) Semua hak dan kewajiban pekerja/buruh dan perusahaan diatur dan harus dipatuhi, baik pemberi kerja maupun pekerja/buruh.

Ketua Bidang Pengembangan SDM GAPKI Pusat, Sumarjono Saragih menerangkan Namanya Junaidi. Usianya 53 tahun. bekerja di kebun sawit milik Sugito sang pemilik kebun. Tahun 2002, Sugito mulai menanam sawit di lahan milik keluarga seluas 1,5 hektar. Berkat kegigihanya, kini Sugito dan keluarga sudah memiliki kebun seluas 48 hektar. Dia pun berhasil menyekolahkan dua anaknya dan tidak kembali ke desa. Di usia yang menua dan kebun bertambah luas, Sugito harus mengelola kebun dibantu beberapa orang. Dia mempekerjakan Junaidi dan kawan-kawan dan tinggal di dalam lingkungan kebun. Mereka adalah buruh tani dari petani pemilik kebun, Sugito.

Kisah Sugito dan teman lainnya disebutkan menguasai 42 persen dari 16 juta hektar total luas sawit Nasional. Sisanya 58 persen dimiliki oleh perusahaan berbadan hukum (swasta dan negara). Terdiri dari perusahaan kecil, menengah, hingga grup besar. Secara normatif, hubungan kerja di kelompok 42 persen tersebut bersifat informal. Mereka masuk kategori pemberi kerja tidak berbadan hukum dalam hukum positif negara.

Berbeda dengan hubungan kerja di perusahaan atau lembaga berbadan hukum. Hubungan kerjanya formal dan tunduk kepada Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dan aturan di bawahnya. Termasuk UU Cipta Kerja No 6 Tahun 2023. Artinya, semua hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan diatur dan harus dipatuhi, baik pemberi kerja maupun pekerja. Termasuk Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang bersifat mandatori sebagaimana diamanatkan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Ada banyak variasi bentuk kisah Sugito di atas. Hubungan kerjanya nyaris tidak terjangkau oleh hukum nomatif ketenagakerjaan. Jadi tergantung kepada ”kebaikan dan kesadaran” dari Sugito dkk. Populasi petani, buruh tani, pekerja mandiri, pekerja di pelaku usaha kecil mendukung industri sawit sangat besar. Kementerian Bappenas menyebutkan bahwa kelapa sawit menjadi tumpuan hidup bagi 16,2 juta tenaga kerja. Sebanyak 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga tidak langsung. Artinya, ada jutaan pekerja (formal dan informal) di rantai nilai (value chain) dari hulu hingga hilir.

Pasar global menuntut sejumlah indikator keberlanjutan sawit, baik hasil perusahaan maupun petani. Ada sejumlah rujukan keberlanjutan. Dalam konteks negara ada komitmen Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Di dunia bisnis dikenal ESG. Sejauh ini, ESG lebih asosiatif dengan lingkungan E (environment). Aspek S (social) adalah pilar penting yang harus dapat perhatian setara. Pasar juga punya sertifikasi RSPO (roundtable sustainable palm oil). Kompilasi hukum nasional dirumuskan dalam ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil).

Negara importir seperti Uni Eropa tak kalah agresif. Ada EUDR (European Union Deforestation-free Regulation) dan CSDDD (Corporate Sustainable Due Dilligence Directive). Semua standar ini mewajibkan perlindungan dan penghormatan hak pekerja. Jaminan Sosial Ketenagakerjaan salah satu yang mendasar. Pertanyannya, bagaimana implementasi jaminan sosial di ekosistem sawit Indonesia Incorporated.

Mencari Kartini di Kebun Sawit Solusi Problematik Komoditas Perkebunan Strategis Biaya Kemanusiaan bagi Perempuan di Kebun Sawit Mencari Kartini di Kebun Sawit Solusi Problematik Komoditas Perkebunan Strategis Biaya Kemanusiaan bagi Perempuan di Kebun Sawit Mencari Kartini di Kebun Sawit Dampak perkebunan sawit tidak hanya dirasakan oleh perempuan yang bekerja di perkebunan, tetapi juga perempuan yang berada di sekitar perkebunan.

Artinya, sawit Indonesia berkelanjutan adalah wajib bagi semua aktor bisnis sawit di rantai nilai. Mulai dari perusahaan dan mitra bisnisnya, koperasi, usaha logistik, petani serta semua usaha UMKM yang terlibat di rantai nilainya. Wajib melaksanakan praktik ketenagakerjaan yang bertanggung jawab. Ada jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerjanya.

Di atas narasi sawit yang serba besar, ada jutaan buruh yang bekerja dengan kontribusi nyata dan besar. Sama besarnya harapan perbaikan nasib buruh. Sederet pekerjaan rumah itu makin kencang disuarakan 10 tahun terakhir. Ada suara serikat buruh lokal dan global. Tak ketinggalan sejumlah NGO dan lembaga Uni Eropa dan Amerika. Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia juga mengakui perburuhan sawit yang butuh perbaikan.

Menjadi menarik, asosiasi pengusaha Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) tidak berhenti sekadar mengakui sejumlah persoalan. GAPKI aktif mendorong perbaikan melaui kampanye, publikasi panduan perbaikan yang dilakukan secara kolaboratif. Terbaru adalah panduan pelindungan dan jaminan sosial buruh harian lepas (BHL) yang selama ini mendapat sorotan kritis.

Pendekatan kolaboratif GAPKI dan 10 Federasi Serikat Buruh yang tergabung dalam Serikat JAPBUSI (Jejaring Serikat Pekerja Buruh Sawit Indonesia) pun mendapat pujian dari Organisasi Buruh Internasional (ILO). Untuk mewujudkan keberlanjutan sawit melalui kerja layak (decent work), akan lebih efektif secara bersama. Melalui dialog sosial yang terbuka dan produktif, GAPKI dan JAPBUSI pun berhasil membangun satu platform bipartite. Dideklarasikan awal 2023, sebagai rumah bersama Jaga Sawitan (Jaringan Ketenagakerjaan Sawit Berkelanjutan).

Pertanyaanya, apakah inisiatif ini cukup dan mampu menyelesaikan ragam persoalan? Bagaimana dengan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan sosial? Apalagi untuk pekerja informal yang masih di luar jangkauan perusahaan dan serikat buruh?

Jaminan sosial ketenagakerjaan

Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan pekerjaan rumah yang besar. Hingga akhir 2024, total peserta terdaftar 45,2 juta orang. Mayoritas adalah pekerja formal (35,3 juta). Pekerja informal hanya terdaftar 9,9 juta. Merujuk BPS (2023) pendukuk bekerja lebih dari 139 juta dan mayoritas adalah pekerja informal dan bukan penerima upah.

Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan Muhammad Zuhri Bahri menyebutkan tiga hal yang menjadi perhatian Dewan Pengawas pada 2025. Pertama, cakupan kepesertaan, terutama dari sektor informal. Kedua, kesinambungan program jaminan sosial. Ketiga, penyiapan sumber daya manusia dan kelembagaan BPJS Ketenagakerjaan (Kompas.id Oktober 2024).

Perluasan kepesertaan pekerja informal (di semua sektor) adalah pekerjaan besar BPJS Ketenagakerjaan. Pekerja informal di perkebunan sawit harusnya menjadi menjadi prioritas utama karena sejumlah alasan: populasi yang besar, di perdesaan, sektor unggulan yang kompleks dan disoal pasar global.

Situasi yang demikian memang tidak mudah dijangkau oleh BPJS Ketenagakerjaan. Jangkauan organisasinya terbatas di perkotaan. Instrumen hukum dan regulasi yang ada juga terbatas. Namun, peluang kolaborasi multipihak bisa jadi alternatif. UU BPJS membuka ruang yang bisa menjadi panyung hukum. Hanya butuh kreativitas dan keberanian serta leadership di setiap level organisasi BPJS Ketenagakerjaan.

Seorang buruh angkut tengah menaikkan buah sawit segar dari perahu ke atas bak pikap di tepi Jalan Tangjung Apiapi, Desa Sukadamai, Kecamatan Tanjunglago, Kabupaten Banyuasin, Kalimantan Selatan, Senin (16/2/2016), untuk selanjutnya dibawa ke pabrik pengolahan sawit. Saat ini harga sawit dari petani di Sumsel masih cukup rendah, hanya berkisar Rp 900 per kilogram untuk jenis sawit lokal. Petani pun berharap harga sawit bisa membaik.

KOMPAS/DEFRI WERDIONO

Seorang buruh angkut tengah menaikkan buah sawit segar dari perahu ke atas bak pikap di tepi Jalan Tangjung Apiapi, Desa Sukadamai, Kecamatan Tanjunglago, Kabupaten Banyuasin, Kalimantan Selatan, beberapa tahun lalu.Peran pemerintah daerah

Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan program jaminan sosial ketenagakerjaan. UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa kewenangan konkuren pemerintah daerah yang bersifat wajib dalam hal ketenagakerjaan. Spesifik dalam Pasal 12 Ayat 1 huruf e dan f disebutkan ”perlindungan masyarakat dan sosial”. Kemudian diperkuat lagi dengan Instruksi Presiden No 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan Inpres No 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.

Sejauh ini, peran pemerintah daerah lebih fokus pekerja formal dalam pendataan, pembinaan, dan pengawasan pekerja formal. Untuk pekerja informal, cenderung sebatas imbauan. Memang ada sejumlah upaya pelindungan pekerja informal. Menggunakan anggaran daerah dan bagi hasil dari BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Namun, masih terbatas dan berpotensi tidak berkelanjutan karena mekanisme yang lemah. Apalagi untuk menjangkau pekerja informal pertanian di perdesaan, memerlukan strategi khusus. Apalagi sumber daya organisasi BPJS Ketenagakerjaan dan pemerintah serba terbatas.

Kolaborasi ekosistem

Dengan sumber daya yang serba terbatas, kolaborasi adalah pilihan. BPJS Ketenagakerjaan juga punya organisasi yang terbatas. Biasanya kantor pelayanan ada di kota kabupaten. Bahkan satu kantor kota kabupaten melayani lebih dari satu kabupaten.

Dengan kondisi ini, pemerintah daerah otonom harus mencari cara dan mengoptimalkan perannya melalui otoritas dan kebijakan yang dimilikinya. Peraturan Daerah Kota Madiun Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Pekerja Bukan Penerima Upah satu contoh peran yang bisa dioptimalkan. Di samping itu, BPJS Ketenagakerjaan juga harus punya keberanian leadership dan melakukan inovasi kolaboratif di tengah keterbatasan jangkauan sumber daya organisasi.

Organisasi dan ekosistem korporasi kebun sawit bisa menjadi mitra untuk menjangkau pekerja informal. Pendekatannya adalah ekosistem atau rantai nilai. Semua pekerja informal di perkebunan sawit punya keterkaitan langsung dan tidak langsung dengan industri korporasi. Keberlajutan (sustainability) dan ketertelusuran (traceability) adalah kebutuhan bersama untuk menjawab tuntutan pasar dan kepatuhan hukum. Semua aktor di rantai nilai sawit juga punya kewajiban untuk memenuhi dan melindungi hak pekerja. Mematuhi hukum nasional sekaligus mewujudkan sawit berkelanjutan di pasar global dalam perspektif Indonesia incorporated.

Mewujudkan keadilan sosial melalui perlindungan sosial adalah tugas gotong royong. Saat yang bersamaan, praktik sawit berkelanjutan dan bertanggung jawab akan memperkuat daya saing dalam kompetisi pasar minyak nabati dunia. Upaya ini juga akan berperan besar dalam mendukung agenda Indonesia Emas 2045. Dengan kata lain, mengurus sawit adalah mengurus Indonesia. Semoga jadi hadiah May Day 2025. Selamat May Day.

Sumarjono Saragih, Chairman Founder Worker Initiatives for Sustainable Palm Oil (WISPO), Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sumatera Selatan.