MabesNews.com, Bintan, Provinsi Kepulauan Riau – Ketidakpatuhan dan kelalaian Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan, khususnya Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Bupati Bintan Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Pencairan serta Pengelolaan Dana Jaminan Pengelolaan Lingkungan (DJPL) dan Dana Kepedulian Terhadap Masyarakat (DKTM), kembali menjadi sorotan tajam.
Dugaan penyimpangan terkait dana DJPL dari 44 perusahaan tambang di Bintan menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat dan aktivis lingkungan. Dana yang seharusnya disetorkan ke Bank PD BPR sebagai bagian dari kewajiban perusahaan dalam pengelolaan lingkungan, ternyata tidak memiliki kejelasan alur penggunaannya. Padahal, kegiatan pertambangan di wilayah Kabupaten Bintan telah berlangsung dengan skala yang signifikan, mencakup berbagai wilayah, termasuk Kijang Kota, Sungai Enam Laut, Sungai Enam Darat, Batulicin, serta sejumlah pulau lainnya yang masuk dalam kawasan Kabupaten Bintan.
Beberapa perusahaan besar yang beroperasi di wilayah tersebut turut menjadi sorotan, termasuk PT Kereta Kencana di Batulicin. Dugaan penyalahgunaan dana DJPL semakin mengkhawatirkan ketika muncul spekulasi bahwa sebagian anggaran justru tidak digunakan sesuai peruntukannya. Ada kemungkinan bahwa dana tersebut tidak hanya disalahgunakan dalam lingkup daerah, tetapi bahkan mengalir ke luar negeri.
Jika benar dana sebesar Rp168 miliar telah dikumpulkan dari 44 perusahaan yang beroperasi di Bintan, seharusnya terdapat jejak yang jelas terkait penggunaannya. Apakah dana tersebut benar-benar digunakan untuk kepentingan reklamasi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, atau justru masuk ke kantong-kantong tertentu?
Minimnya transparansi dari pihak terkait semakin memperkuat dugaan adanya permainan di balik distribusi anggaran ini. Jika dana tersebut digunakan sebagaimana mestinya, wilayah pascatambang di Kabupaten Bintan seharusnya telah mengalami reklamasi yang optimal. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan banyaknya lahan bekas tambang yang masih terbengkalai tanpa upaya pemulihan lingkungan yang memadai.
Kasus ini menegaskan perlunya pengawasan ketat terhadap pengelolaan dana lingkungan, terutama di sektor pertambangan yang memiliki dampak besar terhadap ekosistem dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Pemerintah pusat atau lembaga independen harus segera melakukan audit terhadap penggunaan dana DJPL di Kabupaten Bintan guna memastikan tidak adanya penyimpangan atau korupsi.
Masyarakat dan berbagai pihak yang peduli terhadap lingkungan menuntut kejelasan terkait ke mana perginya dana Rp168 miliar, bahkan dugaan juga menyebutkan jumlah yang lebih besar, bisa mencapai Rp300 miliar. Modus operandi dan aliran dana ini perlu diselidiki secara serius oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, maupun pihak Kepolisian. Apakah benar dana tersebut telah digunakan untuk reklamasi dan pemulihan lingkungan, atau justru menjadi bagian dari permainan anggaran yang tidak jelas ujungnya?
Keadaan transisi akibat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diduga dimanfaatkan oleh oknum Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan dengan dalih adanya peralihan kewenangan ke Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Padahal, Dana Jaminan Pengelolaan Lingkungan (DJPL) dan bukti pencairan dari 44 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) seharusnya tercatat pada PD BPR Bintan.
Potensi kerugian keuangan negara atau daerah berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK-RI Tahun 2017 semakin memperkuat dugaan adanya penyimpangan. Berdasarkan penelusuran dokumen print out rekening koran yang diterima Tim BPK, diketahui adanya penarikan DJPL sebesar Rp48.292.249.817,67 oleh 12 perusahaan selama tahun 2010 hingga 2015 dari dana minimal DJPL yang disimpan di PD BPR Bintan dan PT BNI Cabang Tanjungpinang. Namun, data penarikan dana ini tidak didukung dengan Surat Persetujuan Bupati dan Berita Acara Hasil Peninjauan Reklamasi. Hal ini mengindikasikan adanya 12 transaksi penarikan dana oleh 8 perusahaan yang belum ditemukan dokumen pendukungnya, dengan jumlah total mencapai Rp21.661.714.063.
Selanjutnya, potensi kerugian keuangan negara atau daerah dari 44 perusahaan pemegang IUP yang tidak diketahui rekening dananya dapat dihitung melalui mekanisme yang diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, serta Peraturan Bupati Bintan Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Pencairan serta Pengelolaan Dana Jaminan Pengelolaan Lingkungan (DJPL) dan Dana Kepedulian Terhadap Masyarakat (DKTM).
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana lingkungan. Masyarakat berhak mengetahui ke mana perginya dana yang seharusnya digunakan untuk perbaikan ekosistem dan kesejahteraan warga sekitar. Jika dugaan penyimpangan ini terbukti, maka para pihak yang terlibat harus bertanggung jawab dan diproses sesuai hukum yang berlaku.
Pemerintah pusat, aparat penegak hukum, dan lembaga audit negara harus segera turun tangan untuk menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. Jangan sampai dana yang seharusnya menjadi harapan bagi pemulihan lingkungan justru menguap tanpa kejelasan, meninggalkan kerusakan yang tak kunjung diperbaiki.