Oleh: Dr. Nursalim Tinggi, M.Pd.
Mabesnews.com, Ketua Afiliasi Pengajar, Penulis, Bahasa, Sastra, Budaya, Seni, dan Desain (APEBSKID) Provinsi Kepulauan Riau
Ketua Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS) Provinsi Kepulauan Riau
Ketua Fahmi Tamami Kota Batam
Dalam perjalanan panjang sejarah Islam, terdapat hari-hari yang tak ditulis hanya dengan tinta, melainkan dengan darah dan air mata. Hari-hari itu bukan sekadar kisah tentang peperangan atau kemenangan, tetapi tentang keteguhan iman, cinta yang tulus, dan pengorbanan yang tak terhingga. Di balik setiap kisah kepahlawanan, ada duka yang dalam, namun dari duka itulah terbit cahaya iman yang tak pernah padam.
Salah satunya ialah ketika Hamzah bin Abdul Muthalib, pamannya Rasulullah ﷺ, yang digelari “Singa Allah”, gugur dalam Perang Uhud. Tubuhnya tergeletak di antara debu dan darah. Ia bukan hanya gugur, tetapi dimutilasi oleh musuh yang dendam. Saat Rasulullah ﷺ memandang jasadnya, air mata beliau jatuh tanpa henti, sambil berkata, “Tidak ada hari yang lebih menyedihkan bagiku daripada hari gugurnya Hamzah.” Kita belajar dari hari itu bahwa keberanian dalam Islam bukanlah soal siapa yang menang, melainkan siapa yang tetap teguh di jalan kebenaran meskipun harus kehilangan segalanya.
Beberapa dekade kemudian, di padang tandus Karbala, Husain bin Ali, cucu Rasulullah ﷺ, berdiri bersama keluarga dan sahabatnya melawan kezaliman. Mereka haus, dikepung, diserang — namun tak satu pun menyerah. Husain menatap langit dan berdoa, “Ya Allah, ridailah aku dengan ketentuan-Mu.” Ia memilih mati dengan kehormatan daripada hidup dalam kehinaan. Darahnya tumpah di Karbala, namun semangatnya tetap hidup di relung hati mereka yang mencintai keadilan. Dari tragedi itu kita belajar bahwa kepahlawanan sejati bukan tentang menang atau kalah, tetapi tentang berdiri di sisi kebenaran meskipun sendiri.
Beberapa tahun sebelum wafatnya, Rasulullah ﷺ kembali ke medan Uhud. Beliau berdiri di sisi para syuhada yang telah gugur, menatap lembah yang pernah berguncang oleh perang. Dengan suara lembut beliau berkata, “Salam sejahtera atas kalian, wahai para syuhada. Kami, insya Allah, akan menyusul kalian.” Para sahabat menangis, menyadari bahwa Nabi merindukan pertemuan abadi dengan mereka yang mendahului di jalan Allah. Hari itu bukan sekadar ziarah, melainkan perpisahan yang penuh makna. Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa kematian bukanlah akhir bagi orang beriman, melainkan awal kehidupan abadi yang lebih indah di sisi-Nya.
Beberapa tahun kemudian, Madinah kembali berduka. Pada suatu pagi subuh, Umar bin Khattab, khalifah yang adil dan tegas, berdiri untuk shalat. Tiba-tiba seorang lelaki menikamnya dari belakang. Umar tersungkur, namun masih sempat berkata, “Apakah kaum Muslimin sudah menunaikan shalat?” Ia pergi dalam keadaan sujud kepada Rabb-nya. Madinah kehilangan pemimpin besar yang menjadikan keadilan sebagai nafas kehidupan. Ia meninggalkan teladan bahwa kepemimpinan sejati lahir dari cinta dan tanggung jawab, bukan dari kedudukan semata.
Namun hari paling menyedihkan dalam sejarah umat Islam terjadi ketika Rasulullah ﷺ sendiri berpulang. Hari itu, seluruh umat menangis. Langit Madinah seakan meredup, dan hati para sahabat hancur. Mereka merasa seperti anak-anak yatim yang kehilangan ayahnya. Namun dari duka yang dalam itu lahirlah kekuatan iman yang luar biasa. Rasulullah ﷺ telah pergi, tetapi risalahnya tetap hidup dalam dada umat yang meneruskan perjuangan dengan cinta, sabar, dan pengorbanan.
Dari kisah-kisah ini kita belajar bahwa kepahlawanan dalam Islam bukan hanya tentang pedang dan medan perang, tetapi tentang hati yang tak pernah menyerah meskipun dihujani ujian. Para pahlawan sejati bukan mereka yang diarak dengan sorak-sorai, tetapi mereka yang diam-diam berjuang, berkorban, dan tetap setia kepada Allah di tengah kesepian.
Air mata mereka adalah air mata iman. Luka mereka adalah bukti cinta. Dan setiap pengorbanan mereka adalah doa yang abadi, mengingatkan kita bahwa hidup bukan untuk mencari kemuliaan di dunia, melainkan untuk meraih ridha Allah. Kepahlawanan dalam Islam tidak akan pernah pudar. Ia terus hidup dalam hati setiap orang yang memilih sabar di tengah cobaan, jujur di tengah kebohongan, dan teguh di tengah kezaliman. Karena sesungguhnya, di balik setiap air mata para pejuang itu, Allah menitipkan pesan yang lembut namun mendalam: “Jangan takut berkorban di jalan Allah, karena kehidupan sejati baru dimulai setelah kematian.”
Referensi
1. Ayoub, T. (2023). Heroism and Being-towards-Death: On Sacrificial Martyrdom in Contemporary Shiʿism. Religions, 14(8): 971.
2. Hatina, M., & Litvak, M. (Eds.). (2017). Martyrdom and Sacrifice in Islam: Theological, Political and Social Contexts. London; New York: I.B. Tauris.
3. Hashemi, A. (2022). The Making of Martyrdom in Modern Twelver Shi’ism. I.B. Tauris.
4. Jihad: What Everyone Needs to Know. Afsaruddin, A. (2022). Oxford University Press.
5. Martyrdom and Modern Islam: Piety, Power, and Politics. (2014). Cambridge University Press.
NR













