WGII: Perlindungan Keanekaragaman Hayati Tidak Bisa Lepas dari Peran Masyarakat Adat

Pemerintah41 views

MabesNews.com, Jakarta – Working Group ICCAs Indonesia (WGII), berkomitmen untuk dapat mendorong peran masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati.

Hal itu dikatakan koordinator WGII Kasmita Widodo saat memberikan sambutannya dalam acara diskusi media bertema “Menjaga Budaya, Merawat Masa Depan Keanekaragaman Hayati Indonesia”.

Tema ini juga digunakan sebagai momentum peluncuran Data ICCAs (Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territories) edisi terbaru, Mei 2025 pada Rabu, 4 Juni 2025 di Jakarta.

“Kami menekankan bahwa perlindungan keanekaragaman hayati, tidak bisa dilepaskan dari peran masyarakat adat dan komunitas lokal yang telah sejak lama menjaga wilayah mereka dengan cara yang berkelanjutan dan berbasis nilai budaya,” ujar Kasmita.

Diskusi ini, kata Kasmita Widodo, diharapkan menjadi wadah penting untuk menyampaikan hasil pemutakhiran data terkini terkait wilayah kelola masyarakat adat dan komunitas lokal yang terbukti berperan signifikan dalam pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia.

“Kami menegaskan pentingnya pengakuan dan dukungan kepada masyarakat adat sebagai aktor utama dalam menjaga ekosistem, hutan, laut, dan berbagai lanskap alam lainnya,” tambah Kasmita.

Ia juga menjelaskan, bahwa WGII telah mulai melakukan pengumpulan data lahan konservasi yang dikelola dengan partisipasi masyarakat adat dan komunitas lokal sejak tahun 1990 an.

“Selain peluncuran data, diskusi ini juga akan memperkuat sinergi lintas sektor antara pemerintah, media, dan organisasi masyarakat sipil,” katanya.

Kolaborasi ini, dinilai penting untuk mendorong capaian target nasional dalam dokumen Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP), sekaligus mendukung pencapaian target global dalam kerangka Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF).

Menurut data yang dipaparkan oleh Knowledge Management WGII Lasti Fardilla Noor sampai Mei 2025, total registrasi nasional ICCAs atau lahan konservasi yang dikelola langsung oleh masyarakat adat dan komunitas lokal mencapai 647.457,49 hektar.

“Semua tersebar di 293 wilayah di Indonesia, yang mana yang terbesar di wilayah Kalimantan sebesar 385.744,26 hektar,” jelasnya.

Selain itu, WGII juga memetakan potensi ICCAs di Indonesia seluas 23,82 juta hektar, lebih tinggi dari data di 2024 sebesar 22 juta hektar. Potensi ICCAs terbesar ada di wilayah Papua sebesar 9,37 juta hektar.

“Area potensi ICCAs ini tersebar di berbagai ekosistem, termasuk hutan, sungai dan perairan, namun Program Manager WGII Cindy Julianty mengakui masih kurang pemantauan di wilayah pesisir padahal potensi ICCAs di sana cukup tinggi,” paparnya.

Peluncuran data ICCA edisi Mei 2025, diyakini akan menjadi pijakan penting untuk mendorong kebijakan yang lebih inklusif terhadap pengelolaan wilayah konservasi berbasis masyarakat adat dan komunitas lokal.

“Satu hal yang kita perjuangkan, soal bagaimana kita bisa melakukan perubahan paradigma dari pendekatan konservasi dan mendekolinialisasi itu…Ternyata di balik narasi-narasi di balik melindungi satwa dan ekosistem ini ada hal lain yang lagi dibicarakan,” ujar Cindy.

“It’s not coming from us but from other people dan ini yang harus dishifting dan kita suarakan kepada pengambil kebijakan bahwa faktanya, kebijakan-kebijakan yang diambil kaitannya dengan konservasi kadang tidak membutuhkan masyarakat adat dan kadang juga tidak membutuhkan negara,” tambah Cindy.

Apa yang disampaikan Cindy, dengan lugas digaungkan oleh salah satu pendiri Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Yayasan HAkA) Farwiza Farhan menyampaikan selama ini ada kesalahan dalam pendekatan konservasi alam selama ini, yakni pada pemisahan antara manusia dan alam yang kemudian disadari bahwa ini adalah didikan yang diturunkan oleh kolonial.

“Sebenarnya seolah-olah konflik yang terjadi antara masyarakat dan Kawasan konservasi itu ternyata tidak benar, karena yang dilakukan masyarakat itu adalah melindungi alam, area-area yang oleh negara disebut Kawasan konservasi,” kaya Farwiza.

“Padahal di saat bersamaan, seringkali negara itu itu tidak mampu untuk melakukan perlindungan terhadap area tersebut,” kata penerima penghargaan Ramon Magsasay di 2024 ini.

Sementara itu, Ir. Inge Retnowati, M.E, direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia saat ini sedang menyusun laporan terkait potensi sumber daya alam hayati dan berterima kasih atas data yang disampaikan WGII.

Menurtnya, data ini penting dan mengajak WGII, masyarakat adat, komunitas lokal dan kelompok masyarakat lainnya yang peduli pada isu ini untuk membuat sebuah peta jalan (road map) pengelolaan keanekaragaman sumber daya alam hayati.

“Kita akan sama-sama ketemu dengan pihak lain, untuk bangun road map bagaimana konsen kita terhadap masyarakat adat. Apakah dia kearifan lokal yang jadi bagian dari pembangunan pengolahan keanekaragaman sumber daya alam hayati yang semuanya untuk kesejahteraan masyarakatnya. Ada road map yang ingin kita bangun, tapi harus sama-sama,” katanya.

Dalam kesempatan ini, hadir pula pembela lingkungan hidup muda yang melakukan advokasinya lewat film, Kynan Tegar, yang merupakan seorang pemuda dari masyarakay adat Dayak Iban dari Sungai Utik di Kalimantan Barat yang berbagi kisah bagaimana masyarakat tempat ia berasal menjaga ekosistem tempat mereka tinggal.

“Kakekku Apai Janggut, dia hampir 90 tahun sekarang, dia selalu mengatakan tanah ini ibu kita, hutan ini ayah kita, sungai ini darah kita,” ajak Kynan agar banyak orang dapat memikirkan kata-kata itu.

“Masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik telah menjaga sekitar 10 ribu hektar hutan yang masih utuh, wilayah hutan ini bahkan lebih luas dari wilayah Jakarta,” sambung Keynan.

Penanggap terhadap data WGII lainnya yang hadir, Direktur Forest Watch Indonesia Mufti F. Barri juga menyoroti bahwa ancaman konservasi alam di Indonesia. Bahkan terjadi di dalam Kawasan koservasi, misalnya dengan adanya konsesi tambang dan Perkebunan di dalam sana.

“Masih banyak potensi area konsevasi yang dikelola masyarakat yang sebenarnya harus kita realisasikan,” katanya menanggapi data WGII.

 

(YBS)