~ Kiyai Khalifah Dr Muhammad Sontang Sihotang, S.Si, M.Si., Lulusan S-1 (Physics) USU, S-2 (Materials Physics) UI, S3 (Metaphysics Sufism) Universiti Sultan Zainal Abidin (UniSZA) Kuala Terengganu – Malaysia Spesialis (Field Area Studies) in / @ Materials Physics, Metaphysics & Hipermetaphysics Sufistics, Murid Thoriqoh Qodariah Wa Naqsabandiyah (TQN) & Thoriqoh Naqsyabandiyah (TN), Penyelidikan dalam bidang Physics, Metaphysics Sufism & Abdimas Dalam Inovasi Produk untuk Food & Beverage Dari Tata Kelola Limbah Pesisir, Anggota Peneliti Pusat Unggulan Ipteks (PUI) Karbon & Kemenyan-Universitas Sumatera Utara, Kepala Laboratorium Fisika Nuklir, Universitas Sumatera Utara (USU)-Medan.
Abstrak
Artikel ini membahas rekonstruksi makna jiwa profesi guru dalam konteks perubahan sosial-teknologis abad ke-21, dengan mengintegrasikan perspektif kesufian sebagai fondasi etis dan spiritual profesi keguruan. Modernisasi pendidikan—melalui digitalisasi, globalisasi nilai, dan percepatan kecerdasan buatan—telah mendorong redefinisi peran guru, namun esensi profesi tetap bertumpu pada kesadaran moral, kompetensi berkelanjutan, dan komitmen pengabdian. Dengan menggunakan pendekatan konseptual dan analisis literatur, artikel ini menunjukkan bahwa nilai-nilai kesufian seperti ikhlas, adab, muraqabah, mahabbah, tazkiyatun nafs, dan khidmah memiliki relevansi kuat dalam memperkuat spirit kepahlawanan guru masa kini. Spirit tersebut tercermin dalam kemampuan guru menjaga integritas di tengah tekanan birokrasi, menghadirkan sentuhan humanistik di era teknologi, serta melayani secara empatik terutama di wilayah marginal. Selain itu, artikel ini mengidentifikasi tantangan struktural seperti beban administrasi berlebihan, ketidakmerataan kesejahteraan, dan minimnya ekosistem pengembangan profesional berkelanjutan, yang berpotensi melemahkan jiwa profesi guru. Dengan demikian, diperlukan reformasi kelembagaan yang humanis dan strategi penguatan profesi berbasis nilai spiritual, guna memastikan keberlanjutan peran guru sebagai penjaga akhlak dan peradaban. Artikel ini menegaskan bahwa ketika jiwa profesi disucikan melalui integrasi nilai-nilai kesufian, guru mampu menghadirkan pendidikan yang memerdekakan, berkarakter, dan berorientasi pada kemuliaan manusia.
Kata Kunci:
Jiwa profesi; guru; kepahlawanan; kesufian; etika profesi; pendidikan humanistik; profesionalisme; tazkiyatun nafs; integritas; nilai spiritual; pengembangan profesional; ekosistem sekolah.
Pendahuluan
Hari Guru Nasional 2025 menjadi momentum reflektif untuk menimbang kembali makna terdalam profesi guru dalam pembangunan peradaban bangsa. Di tengah perubahan abad ke-21—dengan digitalisasi, globalisasi nilai, dan percepatan kecerdasan buatan—peran guru mengalami redefinisi signifikan. Meski demikian, ada satu esensi yang tetap menjadi pusat eksistensi profesi ini: jiwa profesi (professional spirit).
Dalam perspektif kesufian, jiwa profesi tidak hanya merujuk pada integritas dan kompetensi, tetapi juga penyucian niat (ikhlas), kesadaran kehadiran Allah (muraqabah), kelembutan adab, dan pengabdian sebagai ibadah. Inilah spirit kepahlawanan guru masa kini—bukan heroisme romantik, tetapi amanah ruhani, tanggung jawab etis, dan komitmen moral mendalam kepada kemanusiaan.
Artikel ini menguraikan konseptualisasi jiwa profesi guru, relevansinya dengan spirit kepahlawanan, serta bagaimana nilai-nilai kesufian dapat menjadi fondasi kuat bagi keberlanjutan profesi guru di tengah dinamika zaman.
Konseptualisasi Jiwa Profesi Guru
- Jiwa Profesi sebagai Kesadaran Moral dan Ruhani
Dalam etika kesufian, seorang murid dituntun melalui adab: kejujuran, keikhlasan, dan kesadaran diri. Bagi guru, kesadaran moral ini tampak dalam menjaga integritas akademik, memberikan pelayanan tulus bagi peserta didik, serta memuliakan profesi.
Dari sudut tasawuf:
- Ikhlas menjadi fondasi seluruh tindakan.
- Muraqabah melatih guru untuk hadir secara penuh (presence) ketika mengajar.
- Amanah menjadikan tugas mendidik bukan sekadar pekerjaan, tetapi ibadah dan jalur penyucian jiwa (tazkiyatun nafs).
- Jiwa Profesi sebagai Kompetensi Berkelanjutan
Tasawuf menekankan riyadhah (latihan berkelanjutan). Demikian juga profesi guru: kompetensi tidak statis.
Guru sebagai pembelajar sepanjang hayat mempraktikkan:
- Muhasabah (refleksi diri) dalam mengevaluasi pembelajaran.
- Ijtihad pedagogik dengan mengadopsi teknologi dan strategi baru.
- Ta’dib (pendidikan adab) sebagai pusat pedagogi humanistik.
- Jiwa Profesi sebagai Komitmen Pengabdian dan Kasih Sayang
Dalam tradisi sufi, guru spiritual (mursyid) membimbing dengan rahmah (kasih sayang). Guru pendidikan formal pun menghidupkan peran ini: melayani peserta didik dengan empati, memahami konteks sosial mereka, dan menjadi teladan moral.
Pengabdian guru adalah implementasi prinsip kesufian:
- Mahabbah → cinta sebagai energi mendidik.
- Khidmah → pelayanan kepada masyarakat.
- Tawadhu’ → rendah hati dalam mengajar dan mendampingi.
Dengan demikian, guru menjadi bukan hanya instruktur, tetapi pembimbing jiwa dan pemakmur akhlak.
Spirit Kepahlawanan Guru Masa Kini
- Kepahlawanan di Era Disrupsi Teknologi
Ketika AI dan teknologi mengambil alih sebagian fungsi kognitif, guru justru memperkuat peran ruhaniah: kehadiran, empati, kebijaksanaan, dan akhlak.
Kepahlawanan mereka terletak pada kemampuan:
- menjaga sentuhan kemanusiaan di tengah digitalisasi,
- mengubah teknologi menjadi alat bukan penguasa,
- menanamkan nilai spiritual dalam pembelajaran modern.
- Kepahlawanan sebagai Keberanian Menjaga Integritas
Integritas adalah maqam penting dalam tasawuf.
Guru yang menolak manipulasi nilai, objektif dalam penilaian, dan konsisten menjaga etika menjalankan jihad akbar—perjuangan melawan dorongan ego (nafs).
Inilah kepahlawanan sejati: keberanian mempertahankan adab di tengah tekanan birokrasi dan sistem.
- Kepahlawanan dalam Pengabdian di Wilayah Marginal
Guru di daerah 3T tidak hanya mengajar, tetapi menjadi pembawa cahaya—menerangi ruang-ruang keterbatasan dengan ilmu, harapan, dan keteladanan.
Mereka menjalani khidmah seperti para sufi:
- bekerja dalam kesunyian,
- tanpa sorotan publik,
- mengabdi sebagai bentuk cinta pada kemanusiaan.
Tantangan Struktural dalam Merawat Jiwa Profesi
- Beban Administrasi yang Mengikis Ruh Pengabdian
Administrasi berlebih membuat guru kehilangan ruang muhasabah dan kreativitas. Kekakuan sistem bisa mengaburkan niat ikhlas dalam pembelajaran.
- Kesejahteraan dan Stabilitas Profesi
Ketidakpastian status guru honorer menimbulkan qabd (keterhimpitan jiwa). Kesejahteraan yang layak adalah syarat agar guru dapat menjaga ketenangan batin dan bekerja penuh dedikasi.
- Minimnya Ruang Pembinaan Profesional Berkelanjutan
Tanpa ekosistem pelatihan berkelanjutan, jiwa profesi tidak tumbuh. Guru membutuhkan:
- komunitas belajar,
- ruang berbagi praktik baik,
- dukungan riset kelas,
- bimbingan moral-profesional seperti halaqah pedagogik.
Strategi Penguatan Jiwa Profesi Guru
- Membangun Ekosistem Sekolah yang Humanis dan Spiritual
Sekolah harus menjadi ruang kerja yang sehat, hangat, berspirit ukhuwah, dan jauh dari kultur intimidasi.
Lingkungan yang damai akan menumbuhkan ketenangan hati (sakinah) bagi guru.
- Reformasi Administrasi Pendidikan
Perlu transformasi kebijakan untuk menyederhanakan beban administrasi. Digitalisasi harus dipakai untuk memerdekakan guru, bukan membelenggu mereka.
- Investasi Profesionalisme Berbasis Nilai
Pelatihan guru harus mencakup:
- kompetensi pedagogik,
- literasi digital,
- kecakapan riset,
- kecerdasan spiritual – akhlak, adab, dan etos kerja ikhlas.
- Penguatan Identitas dan Spirit Keprofesian
Organisasi profesi perlu menghidupkan forum refleksi etika, pembinaan jiwa profesi, serta diskusi tentang adab dan nilai-nilai kesufian. Identitas profesi yang kuat melahirkan guru yang teguh dalam akhlak dan komitmen.
Penutup
Spirit kepahlawanan guru masa kini adalah perpaduan antara kompetensi profesional dan nilai-nilai kesufian. Guru bukan hanya pekerja pendidikan, tetapi penjaga akhlak bangsa, penyuci jiwa, dan penuntun batin peserta didik.
Merawat jiwa profesi berarti memastikan guru berada dalam lingkungan yang memuliakan mereka—secara material, moral, dan spiritual. Ketika jiwa profesi terjaga, pendidikan Indonesia akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi beradab, berakhlak, dan berjiwa luhur.(ms2).







