Mabesnews.com. Jakarta : Pencopotan mendadak terhadap 72 siswa SMAN 5 Bengkulu setelah mereka belajar selama sebulan penuh merupakan kejadian yang mengundang keprihatinan mendalam. Dr. Iswadi, M.Pd seorang pendidik sekaligus pemerhati sistem pendidikan nasional menggambarkan peristiwa ini sebagai salah satu sinyal bahaya yang patut menjadi perhatian bersama.
Menurut laporan media, puluhan siswa tersebut dikeluarkan oleh pihak sekolah karena dinyatakan tidak terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik), sebuah sistem administrasi esensial di mata Kementerian Pendidikan Menurut Kepala SMAN 5, Bihan, penyebabnya adalah kelebihan jumlah siswa dalam tiap kelas yang melebihi batas maksimum 36 orang hingga mencapai 43 siswa per kelas yang menurut aturan tidak bisa diakomodasi lebih lanjut.
Dr. Iswadi menyampaikan bahwa walaupun upaya menegakkan aturan adalah sesuatu yang penting, cara tersebut seharusnya tidak mengorbankan hak siswa yang telah mulai belajar dan menempati ruang pendidikan. “Jika seorang siswa sudah diterima, mengikuti masa pengenalan (MPLS), dan menjalani proses belajar mengajar selama satu bulan, seharusnya ia dianggap sebagai bagian dari komunitas pendidikan, bukan sekadar objek administratif,” ujarnya.
Ia turut menyoroti dampak psikologis dari kebijakan mendadak ini. Banyak orang tua melaporkan anak-anak mereka mengalami tekanan emosional berat ada yang menangis terus-menerus, bahkan menjalani perawatan karena gangguan psikis setelah tahu telah ‘dikeluarkan’ secara tiba tiba. Dr. Iswadi menegaskan bahwa hak dasar atas rasa aman dan kepercayaan terhadap lembaga pendidikan telah dirusak.
Bagi Dr. Iswadi, inti dari masalah ini bukan sekadar administrasi, melainkan kegagalan sistem dalam membangun keadilan dan kepastian. Dia menggarisbawahi pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penerimaan siswa: “Semua pihak sekolah, dinas pendidikan, bahkan operator PPDB harus menjalankan prosedur dengan jujur dan profesional. Kejadian seperti ini adalah cermin kegagalan struktur, bukan semata tindakan individual,” tuturnya. Ia juga menyoroti dugaan adanya ‘jalur belakang’ atau “titipan” yang memungkinkan siswa diterima meski melewati batas kuota dan tanpa dimasukkan ke dalam Dapodik.
Lebih jauh, Dr. Iswadi menyerukan agar Dinas Pendidikan dan DPRD segera turun tangan seperti yang telah dilakukan Komisi IV DPRD Provinsi Bengkulu yang membentuk tim khusus bersama sekolah dan perwakilan wali murid untuk menyelesaikan persoalan dan mencari sekolah pengganti bagi siswa terdampak . Ia berharap agar solusi tersebut bukan hanya bersifat administratif, tetapi juga memberi pemulihan psikologis dan peluang setara bagi siswa yang telah ‘tersingkir’. “Proses pemindahan sekolah sementara, atau pembentukan kelas tambahan jika memungkinkan, mesti diupayakan dengan prioritas kemanusiaan,” pesan Dr. Iswadi.
Dr. Iswadi turut mengingatkan bahwa sistem Dapodik sendiri adalah instrumen penting dalam pemerataan pendidikan: menentukan akses terhadap fasilitas seperti NISN, dana BOS, dan hak ikut ujian nasional Oleh karenanya, integritas data menjadi sangat krusial. Namun, ia mengecam ketegasan administrasi tanpa kepekaan terhadap realitas manusia sebagai langkah represif yang justru bisa merusak kepercayaan terhadap sistem pendidikan.
Mengambil perspektif lebih luas, Dr. Iswadi melihat kasus ini sebagai alarm bahwa sistem pendidikan di Indonesia perlu revisi kebijakan tidak hanya menegakkan regulasi, tetapi juga memperkuat budaya keterbukaan, kolaborasi, dan keberpihakan kepada siswa. “Pendidikan bukan birokrasi; ia harus merangkul,” tegasnya.
Sebagai penutup, Dr. Iswadi memberi rekomendasi konkret:
Pertama Audit Independenn terhadap mekanisme PPDB dan penginputan Dapodik di sekolah.
Kedua Sosialisasi terbuka tentang batas kuota, jadwal input, dan jalur penerimaan, agar tidak terjadi miskomunikasi.
Ketiga Pendampingan psikologis bagi siswa terdampak untuk memulihkan kepercayaan dan motivasi belajar.
Keempat Kebijakan fleksibel seperti penyediaan kelas tambahan atau sistem “smart catch-up” agar siswa bisa tetap belajar tanpa kehilangan hak.
Kelima Penegakan akuntabilitas jika ditemukan pelanggaran prosedural, mulai dari operator hingga pengambil keputusan, demi menjaga keadilan dalam pendidikan.
Dengan nada yang tegas namun penuh empati, Dr. Iswadi menyampaikan bahwa kasus ini bukanlah sekadar peristiwa rutinitas, melainkan panggilan untuk merenungkan arah pendidikan nasional. “Ketika anak-anak kehilangan tempat belajar karena administrasi, kita semua telah gagal. Dan saat itu terjadi, integritas sebuah lembaga pendidikan benar-benar dipertaruhkan.##