Mabesnews.com, Tanjungpinang – Di tengah gemerlap lampu dan riuh wisata malam di Taman Gurindam 12, Tepi Laut, Tanjungpinang, tersimpan kisah yang jauh lebih rumit dari sekadar destinasi wisata rakyat. Kawasan yang dibangun untuk memberdayakan ekonomi masyarakat kecil kini justru menjadi panggung bagi konflik kepentingan, intervensi pihak luar, dan perebutan legitimasi di antara pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Ketua Perkumpulan UMKM Taman Gurindam 12, Zulkifli Riawan, S.E., menegaskan bahwa masalah yang muncul bukan hanya perihal penataan lapak atau pembagian zona dagang. Lebih dari itu, ia menilai situasi ini menyangkut kredibilitas pemerintah daerah dalam menjaga amanah publik dan menata ruang ekonomi rakyat secara berkeadilan.
“Yang kami perjuangkan bukan siapa yang paling berkuasa, tapi bagaimana UMKM di zona C tetap mendapat perlindungan dan dukungan. Ini ruang publik, bukan arena perebutan pengaruh,” ujar Zulkifli dengan nada tegas.

Ia menjelaskan, hasil audiensi dengan Gubernur Kepulauan Riau pada 2 Oktober 2025 telah menghasilkan kesepakatan penting. Pelaku UMKM yang sudah lama beraktivitas di kawasan Gurindam 12 akan diakui dan difasilitasi secara resmi oleh pemerintah daerah. Sebanyak tujuh perwakilan pedagang dari berbagai sektor — kuliner, minuman tradisional, hingga permainan rakyat — ditunjuk untuk menindaklanjuti hasil dialog tersebut. Dua di antaranya, Maladi dan Budi, turut hadir dalam pertemuan dengan Gubernur.
Namun ketenangan pasca-audiensi tak bertahan lama. Dalam beberapa pekan terakhir, muncul manuver sejumlah pihak yang kembali mengusik harmoni pelaku UMKM. Maladi, salah seorang dari tujuh perwakilan, tiba-tiba membuat pernyataan di media dengan mengklaim diri sebagai ketua kelompok cemilan, meski sebelumnya telah menyatakan mundur karena dinilai membuat kegaduhan dan berafiliasi dengan kelompok luar.
“Informasinya, Maladi ditunggangi pihak tertentu yang ingin memaksakan berjualan di zona A setiap kali ada event besar. Mereka mencoba menggiring opini publik dan membentuk mosi,” ungkap Zulkifli.
Menurutnya, situasi ini bukan lagi persoalan internal pedagang, melainkan adanya indikasi provokasi dari pihak luar yang mencoba memecah kesatuan. “Ini bukan soal jabatan, tapi soal menjaga amanah perjuangan bersama. Jangan sampai semangat ekonomi rakyat dibajak oleh kepentingan pribadi,” tegasnya.
Zulkifli juga menyoroti sebagian media yang dinilai tidak menjaga etika jurnalistik dalam pemberitaan terkait polemik ini. “Sekarang banyak tulisan yang hanya mengutip satu pihak tanpa verifikasi. Itu bukan jurnalisme, tapi propaganda. Kami tidak anti kritik, tapi kritik harus berbasis fakta,” katanya.
Dari sisi kebijakan, Gubernur Kepulauan Riau telah menetapkan bahwa zona C Taman Gurindam 12 menjadi area untuk kegiatan UMKM. Pemerintah daerah melalui Dinas PUPR tengah melakukan penataan infrastruktur seperti paving block, sistem drainase, serta penerangan. Langkah ini sejalan pernyataan Ketua DPRD Kepri yang menilai keberadaan fasilitas UMKM penting untuk ekonomi rakyat, asalkan tetap menjaga keindahan taman sebagai ruang publik bersama.
“Fasilitas publik itu milik masyarakat, bukan kelompok tertentu. Pemerintah ingin UMKM tumbuh, tapi tetap menghormati fungsi ruang publik,” ujar Zulkifli, menirukan pernyataan pejabat dalam rapat resmi.
Sementara itu, seorang tokoh masyarakat Tanjungpinang menilai, kisruh di Gurindam 12 merupakan refleksi dari lemahnya koordinasi antar lembaga dalam mengelola ruang publik yang multifungsi. “Gurindam 12 seharusnya menjadi simbol kolaborasi antara pemerintah, rakyat, dan pelaku usaha kecil. Tapi yang terlihat sekarang justru tarik-menarik kepentingan. Ketika komunikasi hilang, kolaborasi berubah jadi kompetisi,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pemberdayaan ekonomi rakyat tidak cukup dengan memberikan lapak dagang. Diperlukan regulasi yang tegas, pengawasan berkeadilan, dan mekanisme mediasi sosial yang melibatkan semua unsur masyarakat. “UMKM adalah wajah kemanusiaan ekonomi. Tapi jika ruangnya dipolitisasi, maka yang muncul bukan pemberdayaan, melainkan pertikaian,” katanya.
Konflik di Taman Gurindam 12 menjadi cermin rapuhnya tata kelola ruang publik di tengah ego sektoral dan kepentingan sesaat. Di balik aroma jajanan malam dan semarak lampu taman, tersimpan pertarungan antara idealisme ekonomi rakyat dan pragmatisme kekuasaan.
Kini, semua pihak — pemerintah, koperasi UMKM, media, dan masyarakat — dihadapkan pada pilihan moral: membiarkan taman kebanggaan Tanjungpinang ini menjadi simbol perpecahan, atau mengembalikannya sebagai ruang harmoni ekonomi rakyat, tempat etika, kebijakan, dan solidaritas bertemu dalam satu nadi kebangsaan.
arf-6












