Soeharto dan Rekonsiliasi Sejarah: Suatu Pandangan tentang Gelar Pahlawan Nasional

Sosial41 views

Oleh: Dr. Nursalim, M.Pd

 

Mabesnews.com – Jakarta — Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto kembali menjadi perbincangan hangat dan menimbulkan perdebatan panjang di ruang publik. Sebagian kalangan menolak dengan alasan bahwa masa pemerintahannya diwarnai oleh pelanggaran hak asasi manusia dan praktik korupsi. Namun, tidak sedikit pula yang menilai bahwa jasa Soeharto terhadap bangsa Indonesia terlalu besar untuk diabaikan, sehingga ia layak menempati posisi terhormat dalam sejarah nasional.

 

Dalam pandangan saya, perdebatan ini justru menunjukkan bahwa bangsa kita sedang belajar berdialog dengan masa lalunya. Soeharto bukanlah sosok tanpa cela, tetapi ia juga bukan pemimpin tanpa jasa. Jika bangsa ini ingin tumbuh menjadi masyarakat yang matang secara sejarah, maka setiap tokoh harus dinilai dengan ukuran rasional dan proporsional, berdasarkan fakta sejarah—bukan sekadar emosi politik atau dendam masa lalu.

 

Soeharto merupakan bagian penting dari perjalanan republik ini. Selama 32 tahun kepemimpinannya, Indonesia menikmati stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang signifikan, serta kemajuan besar di bidang pertanian, pendidikan, dan infrastruktur. Pada tahun 1984, Indonesia bahkan mencapai swasembada pangan prestasi besar yang diakui dunia melalui penghargaan dari FAO.

 

Dalam diplomasi luar negeri, Soeharto berhasil menempatkan Indonesia sebagai kekuatan penting di kawasan Asia Tenggara. Ia berperan aktif dalam pembentukan ASEAN pada tahun 1967 dan memperkuat posisi Indonesia di mata internasional sebagai negara yang berpengaruh dan disegani.

 

Namun, sejarah tidak bisa dilihat secara hitam putih. Masa pemerintahannya juga menyisakan persoalan serius: pelanggaran HAM, praktik korupsi, serta pembatasan kebebasan politik. Kejujuran sejarah menuntut kita untuk menilai dengan seimbang mengakui sisi gelap tanpa menutup mata terhadap sisi terang.

 

Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Dr. Agus Suwignyo, menegaskan bahwa penilaian terhadap pahlawan harus dilakukan dengan melihat konteks perjuangan dan kontribusi historis. “Soeharto jelas memiliki jasa besar dalam membangun negara. Kita harus belajar menilai secara adil, sebab tokoh sejarah tidak pernah sepenuhnya sempurna,” ujarnya.

 

Pandangan serupa disampaikan pengamat sejarah Universitas Indonesia, Dr. Bonnie Triyana, yang menilai bahwa pengakuan terhadap Soeharto dapat menjadi bentuk kedewasaan bangsa dalam memandang sejarahnya. “Bangsa besar adalah bangsa yang berani mengakui jasa para pemimpinnya, tanpa menghapus sisi gelap yang pernah ada,” katanya.

 

Dalam konteks itu, saya berpendapat bahwa Soeharto layak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Penghargaan tersebut bukan dimaksudkan untuk menghapus luka sejarah, melainkan sebagai langkah menuju rekonsiliasi nasional sebuah bentuk kedewasaan kolektif dalam memahami perjalanan bangsa sendiri.

 

Gelar pahlawan tidak berarti memutihkan kesalahan, tetapi mengakui kontribusi nyata seorang tokoh terhadap keberlangsungan negara. Soeharto telah menegakkan stabilitas politik, mengangkat martabat ekonomi bangsa, dan membangun fondasi pembangunan nasional yang masih terasa manfaatnya hingga kini.

 

Sebagai bangsa yang besar, kita harus menilai masa lalu dengan kepala dingin dan hati yang jernih. Sejarah seharusnya menjadi ruang pembelajaran, bukan ruang penghakiman. Jika bangsa ini ingin melangkah maju, maka kita harus berani mengakui jasa para tokoh besar tanpa mengabaikan kritik terhadap mereka.

 

Dalam penelitian saya mengenai sejarah lokal dan pembentukan identitas budaya Melayu di Kepulauan Riau, saya menemukan bahwa masyarakat yang mampu menghargai tokoh masa lalunya dengan jujur akan lebih kokoh secara moral dan kultural. Begitu pula dengan bangsa Indonesia: penghormatan terhadap tokoh seperti Soeharto adalah bentuk penghargaan terhadap fase penting dalam perjalanan sejarah kita.

 

Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan sekadar simbol politik, melainkan langkah simbolik untuk memulihkan hubungan bangsa dengan masa lalunya sebuah pengakuan bahwa sejarah Indonesia dibangun oleh banyak tangan, dari berbagai latar, dengan segala keberhasilan dan kekurangannya.

 

Kini, tugas generasi penerus bukan lagi memperdebatkan siapa yang benar atau salah, melainkan belajar dari keduanya. Soeharto telah memberi kontribusi nyata bagi bangsa, dan pengakuan terhadap jasanya adalah bentuk kematangan moral dan intelektual bangsa ini.

 

Bangsa yang berani jujur terhadap sejarahnya yang mengakui jasa sekaligus kesalahan para pemimpinnya secara terbuka adalah bangsa yang benar-benar merdeka, bukan hanya secara politik, tetapi juga secara hati dan pikiran.

 

Dr. Nursalim, M.Pd

Ketua APEBSKID Provinsi Kepulauan Riau

Ketua FAHMI TAMAMI Kota Batam (2025–2030)