Oleh : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)
MabesNews.com,-NAMA Silfester Matutina oleh sebagian orang dikatakan sebagai relawan Jokowi tegak lurus. Artinya Silfester selalu berdiri paling depan untuk membela kepentingan Jokowi dan keluarganya. Tidak salah jika silfester dijuluki algojo Jokowi, siap menghadang lawan-lawan Jokowi.
Gaya Silfester saat tampil dalam beberapa debat public di media sosial selalu diselingi oleh jurus ngamuk ala preman. Hal ini justru semakin memperkuat anggapan public, bahwa Silfester mengalami cacat intelektual. Fenomena politik relawan yang kental dipengaruhi oleh jokowisme yang disebut mixed political art, yaitu pragmatism politik yang dikombinasi dengan kebohongan, kekerasan, pembunuhan karakter dan penggunaan instrumen hukum serta menghalalkan segala cara.
Silfester adalah sosok relawan dengan keterbatasan pengetahuan maupun wawasan, cenderung menerapkan mixed political art, dengan menggabungkan politik praktis, kekerasan dan pembunuhan karakter. Contoh pernyataan Silfester yang menyerang Mayjen (Purn) Soenarko adalah bentuk mixed political art yang menggabungkan antara politik dengan pembunuhan karakter dan kekerasan. Sementara Silfester sama sekali tidak memiliki pengetahuan yang mendukung pernyataannya. Oleh sebab itu, sikap Silfester cenderung sebagai bentuk ujaran kebencian dan unjuk kekuatan sebagai jagoan.
Upaya membandingkan antara Silfester dengan Soenarko tentunya merupakan tindakan yang tidak fair. Jika merujuk pada filsafat etika, membanding harus antara buruk dengan sesuatu yang buruk atau sebaliknya, tidak bisa antara buruk dengan baik, seperti antara Silfester dengan Soenarko.
Sosok silfester adalah warga negara yang dalam hidupnya hanya menghamba kepada Jokowi, tanpa pernah memiliki sumbangsih untuk bangsa dan negara. Sementara Mayjen (Purn) Soenarko, tidak dapat diragukan sumbangsihnya bagi bangsa dan negara. Soenarko adalah warga negara yang terbukti mengutamakan tugas demi bangsa diatas kepentingan pribadinya, hal ini dibuktikan ketika kelahiran ketiga anaknya, tidak satupun didampingi sunarko yang saat itu sedang melaksanakan tugas tempur di wilayah operasi.
Soenarko adalah sosok prajurit yang bukan kaleng-kaleng, selama bertugas di TNI, dia memiliki karir cemerlang dibanding teman seangkatannya. Ketika Soenarko telah menduduki dua kali jabatan bintang dua, masih banyak teman-temannya yang berpangkat kolonel. Karirnya di militer dengan segudang operasi tempur yang dijalaninya, jauh melampaui karir militer luhut yang minim pengalaman sebagai komandan dan minim pengalaman operasi tempur. Ekspektasi Soenarko di militer tidak muluk-muluk, berharap meraih pangkat letkol dan komandan batalyon. Tetapi nasib membawanya menjadikan Mayor Jenderal.
Tentunya menjadi janggal ketika Silfester mengatakan Soenarko mengemis jabatan kepada Luhut yang notabene karirnya di militer tidak secemerlang Soenarko. Apalagi kemudian Silfester mengatakan Soeenarko kecewa dan bertindak melawan pemerintah. Sementara bagi Soenarko memperoleh pangkat Mayor Jenderal adalah anugrah Allah yang jauh melebihi ekspektasinya, sehingga bagi soenarko kehilangan pangkat dan jabatan demi rakyat, adalah sebuah tindakan semudah membalik telapak tangan. Tidak berlebihan jika di dalam nadi Soenarko mengalir darah ksatria, berani melawan arus kekuasaan zalim, karena hanya tinja, bangkai dan relawan yang mengikuti arus.
(Samsul/Tim)






