Serangan Balik Oligarki : Negara Tak Boleh Kalah dalam Pertarungan Hukum

Pemerintah96 views

Oleh: Sri Radjasa, MBA (Pemerhati Intelijen)

 

Mabesnews.com,-Gelombang penegakan hukum yang kini digencarkan Kejaksaan Agung, khususnya di sektor migas dan pertambangan, telah membuka kembali wajah gelap kekuasaan yang selama ini bersembunyi di balik deretan angka ekonomi. Di Indonesia, korupsi dalam sektor sumber daya bukan lagi perkara oknum, tetapi jaringan kokoh yang bergerak senyap, menyatukan kepentingan sebagian pejabat, makelar kasus, aparat, dan pengusaha. Dalam teori korupsi politik, kondisi ini disebut sebagai grand corruption yaitu bentuk kejahatan yang melibatkan elite dan memengaruhi kebijakan negara.

Ketika Kejagung mulai menembus inti persoalan tata niaga yang selama ini dikuasai kelompok rente, perlawanan pun muncul dengan pola yang sangat terencana. Laporan terhadap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus ke KPK, dan demonstrasi bertema delegitimasi Kejagung, menunjukkan bahwa ada operasi tandingan yang tidak sederhana.

Ini bukan sekadar aksi spontan publik, melainkan tanda tangan dari sebuah jejaring besar yang terusik oleh megahnya kasus-kasus yang sedang disidik.

Dalam ilmu intelijen, manuver seperti ini disebut counter offensive operation, yakni serangan balik untuk mengaburkan proses hukum dengan memukul kredibilitas penegaknya. Persis seperti strategi “maling teriak maling”, para pelaku berusaha menggeser narasi, seolah-olah penegak hukumlah yang patut dicurigai. Padahal, publik tahu bahwa mafia migas dan tambang memiliki sejarah panjang dalam memanipulasi kebijakan, opini publik, dan bahkan institusi negara.

Informasi mengenai dugaan aliran dana hampir satu triliun rupiah dari Riza Chalid untuk menghalangi penanganan kasus yang menjerat keluarganya menjadi gambaran betapa seriusnya operasi ini. Angka fantastis itu tidak hanya mencerminkan kekuatan modal, tetapi juga menegaskan bahwa pertarungan ini bukan lagi soal hukum semata, tetapi soal mempertahankan kekuasaan dan imperium bisnis.

Ketika Legitimasi Negara Diuji

Serangan terhadap Kejagung bukan sekadar upaya mematikan sebuah perkara, tetapi juga mencoba merusak legitimasi institusi negara. Inilah tahap paling berbahaya. Negara dapat bertahan meski menghadapi krisis ekonomi, tetapi sulit bangkit ketika otoritas hukum dipreteli dari dalam. Delegitimasi adalah racun yang mematikan perlahan.

Fenomena ini mengingatkan pada kajian Acemoglu dan Robinson tentang “elite predatori”, ketika kelompok kecil pemilik kuasa ekonomi-politik menyandera institusi negara. Di banyak negara penghasil sumber daya seperti Brasil, Meksiko, Nigeria, serangan balik mafia terhadap institusi penegak hukum adalah pola klasik ketika negara mulai membersihkan korupsi pada sektor yang sarat rente. Indonesia kini ada di titik persimpangan itu.

Tanda-tandanya jelas berupa opini publik digoyang, lembaga penegak hukum dibenturkan, dan demonstrasi pesanan digerakkan untuk menciptakan keraguan. Di tengah kabut informasi seperti ini, negara memerlukan satu hal yaitu ketegasan. Pernyataan Presiden Prabowo yang memerintahkan penindakan terhadap siapa pun yang melindungi koruptor, tanpa pandang bulu dan tanpa kompromi adalah sinyal penting bahwa negara tidak akan mundur selangkah pun.

Namun, ketegasan politik harus dibarengi keteguhan institusi dan kesadaran publik. Tanpa dukungan masyarakat, institusi penegakan hukum mudah dimanipulasi lewat narasi yang direkayasa dan operasi informasi yang intens. Literasi publik menjadi pertahanan terakhir agar demokrasi tidak dijadikan kendaraan oleh mafia sumber daya.

Ini sebabnya negara harus cepat membaca pola serangan balik ini. Semua tindakan yang menghalangi penyidikan merupakan obstruction of justice dan dapat dipidana. Karena itu, koordinasi antar-institusi untuk memburu otak di balik pelaporan dan demonstrasi pesanan adalah langkah yang tidak bisa ditunda. Negara harus hadir bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai pengendali penuh situasi.

Pada akhirnya, pertarungan ini adalah perang jangka panjang untuk mempertahankan kewibawaan negara. Bila mafia migas dan tambang mampu memukul mundur penegakan hukum, maka pesan berbahaya akan mengalir: uang, tekanan, dan jaringan kekuasaan lebih kuat daripada hukum. Bila itu terjadi, Indonesia akan kembali tenggelam dalam lingkaran gelap di mana korupsi menjadi norma, bukan pengecualian.

Negara tidak boleh kalah.

Pertarungan ini bukan hanya milik Kejagung, tetapi milik seluruh rakyat yang menginginkan masa depan yang jujur dan berdaulat. Keberhasilan atau kegagalan negara menghadapi serangan balik oligarki hari ini akan menentukan apakah generasi mendatang hidup dalam negara hukum yang kokoh atau dalam republik yang dikendalikan oleh para pemburu rente.

 

(Samsul Daeng Pasomba.PPWI/Tim)