Mabesnews.com,-Bekasi-Deretan Insiden Penolakan Liputan oleh Oknum Sekolah di Kabupaten Bekasi Menuai Kritik, Ruang Jurnalis Nusantara (RJN) Bekasi Raya menyoroti munculnya serangkaian insiden penolakan terhadap peliputan media oleh oknum di lingkungan sekolah negeri di Kabupaten Bekasi.
Kasus terbaru terjadi di SMP Negeri 9 Tambun Selatan, pada Selasa (11/11/2025), ketika pihak humas sekolah diduga melarang awak media mendokumentasikan kegiatan Bantuan Pemerintah Program Revitalisasi (BPPR) dengan alasan harus memiliki surat izin resmi dari Kementerian Pendidikan.
Tak hanya menolak peliputan, awak media juga dilaporkan ditinggalkan tanpa etika komunikasi yang layak, memunculkan pertanyaan serius tentang profesionalitas dan pemahaman kehumasan di dunia pendidikan.
Kebijakan Larangan yang Tidak Berlandaskan Hukum
Larangan dokumentasi kegiatan publik yang menggunakan dana pemerintah pusat jelas menimbulkan kejanggalan. Program BPPR merupakan bentuk dukungan negara terhadap pemerataan infrastruktur pendidikan, dan karenanya bersifat terbuka untuk peliputan media serta pengawasan publik. Tindakan menolak dokumentasi tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikategorikan sebagai bentuk penghalangan akses informasi publik, yang melanggar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Kasus Serupa Terjadi di Cibitung dan Cibarusah
Kejadian serupa bukan hanya terjadi di Tambun Selatan. Di SMP Negeri 4 Cibitung, seorang oknum Panitia Pembangunan Satuan Pendidikan (P2SP) dilaporkan melarang peliputan dengan alasan “atas permintaan Kejaksaan Agung” sembari menunjukkan Surat Perintah Pengamanan Pembangunan Strategis Nomor SP PPS-90/D/Dpp.3/06/2025 tanggal 5 Juni 2025.
Sementara itu, di SMP Negeri 3 Cibarusah, humas sekolah juga menolak dokumentasi kegiatan BPPR dengan alasan peraturan internal sekolah, bahkan mengakui kebijakan tersebut dibuat atas inisiatif pribadi, bukan keputusan kepala sekolah.
RJN Bekasi Raya: Tindakan Ini Bentuk Pembatasan Informasi Publik
Menanggapi situasi tersebut, Ketua RJN Bekasi Raya, Hisar Pardomuan, menilai praktik pelarangan liputan oleh sejumlah sekolah merupakan pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan informasi dan kebebasan pers.
“Kami akan segera mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) serta Kejaksaan Agung RI untuk meminta klarifikasi terkait praktik pembatasan liputan ini. Bila perlu, kami akan mengirim papan karangan bunga sebagai bentuk kritik simbolik kepada pihak-pihak yang membatasi akses informasi publik,” ujar Hisar Pardomuan.
Hisar menegaskan bahwa pembatasan terhadap media sama saja dengan menutup pintu transparansi publik.
“Pers bukan lawan, melainkan mitra kontrol sosial. Setiap upaya menutup akses informasi justru menghambat pembangunan yang bersih, transparan, dan berintegritas,” tambahnya.
Ada Apa dengan Tiga Sekolah Tersebut?
Pertanyaan kini mengemuka di tengah masyarakat: ada apa dengan tiga sekolah tersebut?
Mengapa hanya di SMPN 9 Tambun Selatan, SMPN 4 Cibitung, dan SMPN 3 Cibarusah wartawan mendapat penolakan untuk melakukan peliputan, sementara puluhan sekolah lain penerima program BPPR justru terbuka dan kooperatif terhadap media?
Apakah ada kekhawatiran tertentu terhadap hasil dokumentasi publik, atau sekadar kesalahpahaman terhadap peran pers?
Pertanyaan ini bukan tuduhan, melainkan panggilan untuk refleksi — bahwa transparansi adalah cermin kejujuran dan kepercayaan publik.
Dalam konteks komunikasi publik modern, menutup akses media bukan hanya bentuk ketakutan terhadap sorotan, melainkan indikasi lemahnya tata kelola dan pemahaman terhadap prinsip akuntabilitas.
Seruan Evaluasi dan Pembenahan Etika Kelembagaan
RJN Bekasi Raya mendesak Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi untuk segera melakukan evaluasi internal dan pembinaan terhadap aparatur sekolah yang terlibat dalam insiden ini.
“Sekolah adalah ruang pembelajaran moral dan nilai, bukan arena untuk menutupi informasi. Setiap tindakan yang menghalangi kerja jurnalistik berarti menutup kesempatan bagi publik untuk melihat transparansi penggunaan dana pendidikan,” ujar Hisar Pardomuan dengan tegas.
RJN juga mendorong agar pemerintah daerah memperkuat kapasitas SDM kehumasan di sekolah negeri, termasuk pelatihan tentang etika komunikasi publik, keterbukaan informasi, dan penanganan media.
Serangkaian insiden di tiga sekolah negeri di Kabupaten Bekasi menjadi peringatan serius bagi semua pihak bahwa transparansi adalah bagian dari tanggung jawab moral, bukan sekadar kewajiban hukum. Keterbukaan terhadap media adalah wujud kematangan institusi pendidikan dalam menghadapi publik, bukan ancaman bagi reputasi sekolah.
Di tengah semangat reformasi birokrasi dan tata kelola pendidikan yang bersih, sikap terbuka dan komunikatif justru menjadi penanda integritas.
Dan pada akhirnya, publik berhak bertanya, bukan karena ingin menghakimi, tetapi karena ingin percaya.
—
(Redaksi | RJN Bekasi Raya)
(Samsul Daeng Pasomba.PPWI/Tim)












