PT GML dan Luka di Tembeling: Ketika Tambang Menggilas Nurani

Pemerintah62 views

Mabesnews.com, Bintan — Di sebuah sudut tenang Kelurahan Tembeling Tanjung, Kabupaten Bintan, tersimpan kisah getir yang menyingkap wajah buram relasi antara kekuasaan modal dan rakyat kecil. Kisah itu bermula dari benturan antara PT Gunung Mario Lagaligo (GML), perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan tersebut, dan seorang warga lokal bernama Lilik — sosok sederhana yang kini menjadi simbol perlawanan terhadap ketimpangan dan ketidakadilan.

Kasus ini bukan sekadar konflik antara perusahaan dan masyarakat. Ia telah menjelma menjadi potret luka sosial: bagaimana suara rakyat kerap tertelan di tengah deru alat berat dan tumpukan dokumen izin usaha yang penuh tanda tangan kekuasaan.

Menurut keterangan warga, aktivitas tambang PT GML yang beroperasi di sekitar wilayah Tembeling diduga telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengganggu lahan-lahan produktif masyarakat. Sejumlah titik yang dulunya menjadi sumber air dan mata pencaharian warga kini berubah menjadi hamparan tanah gersang. Namun yang paling menyakitkan, kata Lilik, bukan hanya kerugian materi, melainkan perasaan terpinggirkan di tanah sendiri.

“Tanah ini dulu kami kelola untuk bertani dan mencari kehidupan. Sekarang kami seperti tamu di kampung sendiri. Tidak ada lagi suara kami yang didengar,” ujar Lilik dengan nada getir.

 

Lilik, bersama beberapa warga lainnya, mencoba mencari keadilan dengan melayangkan laporan ke instansi terkait. Namun langkah itu justru berujung tekanan. Ada yang dipanggil aparat, ada pula yang diperingatkan agar tidak memperpanjang persoalan. Di titik inilah, luka Tembeling bukan hanya tentang kerusakan alam, tetapi tentang nurani yang dipaksa diam.

 

Ketimpangan yang Mengakar, pengamat sosial, menilai bahwa kasus Tembeling adalah refleksi nyata dari pola relasi timpang antara korporasi dan masyarakat lokal di daerah kaya sumber daya. Menurutnya, banyak perusahaan tambang di Kepri beroperasi dengan dasar legalitas administratif, tetapi minim legitimasi sosial.

 

“Masalahnya bukan hanya pada izin tambang, tetapi pada absennya dialog sosial. Perusahaan datang dengan kekuatan modal, sementara masyarakat hanya punya suara — dan suara itu pun sering kali tidak dihiraukan,” ujarnya.

 

Ia menambahkan, pembangunan ekonomi seharusnya berjalan seiring dengan keberlanjutan sosial dan ekologis. “Ketika modal menjadi satu-satunya ukuran kemajuan, maka yang dikorbankan adalah manusia dan lingkungan. Kasus GML di Tembeling adalah contoh klasik bagaimana nurani bisa terpinggirkan atas nama investasi.”

 

Dari sisi hukum lingkungan, ahli hukum dari Universitas Indonesia, Dr. Luthfi Ramadhan, menegaskan bahwa pemerintah daerah maupun pusat tidak bisa lepas tangan. “Jika ada indikasi pelanggaran lingkungan, maka tanggung jawab negara adalah memastikan proses hukum berjalan transparan dan berpihak pada keadilan ekologis,” ujarnya.

 

Ia menyoroti bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan ruang bagi masyarakat untuk menggugat secara hukum apabila hak lingkungan mereka dilanggar. “Namun dalam praktiknya, masyarakat kecil kerap kalah oleh kekuatan finansial dan jaringan politik perusahaan. Di sinilah letak ironi hukum kita,” tambahnya.

 

Seruan Keadilan, kini kisah Lilik dan warga Tembeling bukan lagi sekadar isu lokal. Ia menjadi simbol perjuangan masyarakat kecil yang berhadapan dengan kekuatan ekonomi besar. Di media sosial, dukungan dan simpati mulai mengalir, menuntut transparansi dan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat yang tertindas di tanah sendiri.

 

Tokoh Melayu Bintan, melihat fenomena ini sebagai ancaman terhadap filosofi dasar masyarakat Melayu yang menjunjung keseimbangan antara manusia, alam, dan marwah. “Bila alam rusak dan keadilan diabaikan, maka marwah Melayu ikut tercabik. Ini bukan sekadar persoalan tambang, tapi soal martabat,” ujarnya.

 

Luka di Tembeling kini menjadi cermin yang menatap balik wajah bangsa: apakah pembangunan masih berarti kesejahteraan, atau justru menjadi nama lain dari penindasan yang dibungkus legalitas?

Di tengah kabut debu tambang dan sunyi suara rakyat, pertanyaan itu menggantung di udara—menunggu nurani untuk menjawab.

 

arf-6