PT Allbets Marine dan terbitnya bayang-bayang panjang dalam kasus Faisal

Hukum52 views

Mabesnews.com, Batam — Pagi itu, ruang rapat PT Allbets Marine terasa lebih sunyi dari biasanya. Beberapa staf pengawas duduk saling pandang; sebagian menggenggam ponsel yang bergetar dari grup internal perusahaan. Tidak ada yang berbicara keras, namun bisik-bisik tentang “kasus Faisal” mulai terdengar bagai arus kecil yang mengalir di kolong meja.

Di luar ruangan, nama Faisal—pekerja harian yang dikenal tekun—tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Bukan karena prestasi, tetapi karena sebuah keputusan pemutusan hubungan kerja yang datang mendadak, tanpa aba-aba, tanpa pemeriksaan, tanpa berita acara. Peristiwa itu kelak menjadi pintu masuk ke sebuah rangkaian persoalan yang jauh lebih besar dari satu orang pekerja galangan.

Dan di tengah hiruk pikuk itu, satu nama lain kemudian muncul ke permukaan: Fajar Agustino.

Awalnya, kasus ini tampak sederhana. Ada transfer uang Rp500.000 dari Fajar ke rekening Faisal. Beberapa orang di internal perusahaan menilai transaksi itu sebagai “setoran masuk kerja”. Sebuah label yang, dalam ekosistem galangan, memiliki konotasi tajam: praktik informal yang sering disangkutpautkan dengan pungutan liar oleh oknum.

 

Namun, sebagaimana sering terjadi di perusahaan besar, sebuah asumsi yang tidak teruji bisa berubah menjadi landasan keputusan. Keputusan yang kemudian dipakai untuk mencoret nama seseorang dari daftar kepegawaian.

 

Fajar Agustino, pria yang namanya terseret karena transfer itu, akhirnya angkat bicara setelah menyaksikan Faisal kehilangan pekerjaan dalam situasi yang dianggapnya tidak adil.

Ia menyampaikan pernyataan tertulis: uang itu bukan setoran. Tidak ada transaksi gelap. Tidak ada barter jabatan. Tidak ada perantara.

 

Pernyataan sesederhana itu justru menjadi simpul yang membuka gerbang persoalan.

Karena jika uang itu bukan setoran, apa alasan pemecatan Faisal?

 

Pertanyaan itu mengarah pada temuan lain: perusahaan tidak pernah melakukan pemeriksaan internal, tidak membuat berita acara, tidak memberikan hak pembelaan, dan tidak memanggil saksi utama. Seolah-olah keputusan sudah diambil, sementara alasan masih dicari.

 

Di ruang-ruang kerja galangan, nama-nama seperti “Atmos” mulai disebut-sebut. Ada yang menilai ia perantara. Ada yang menuduh ia calo. Ada pula yang mengaitkannya dengan kerabat Fajar.

 

Namun ketika ditanya, Fajar justru menyebut Atmos hanyalah sepupunya. Tidak punya hubungan dengan perekrutan, tidak punya keterlibatan dalam apapun yang dituduhkan.

 

Dalam liputan lapangan, pola ini sering terjadi: rumor bergerak lebih cepat daripada catatan resmi. Dan ketika rumor itu sampai ke meja manajemen, ia bisa berubah menjadi dokumen formal meski tanpa fondasi yang kuat.

 

SBSI, serikat pekerja yang mendampingi Faisal, menemukan sesuatu yang menarik: pengakuan internal bahwa keputusan manajemen terkait kasus ini memang “tidak melalui proses yang seharusnya”.

 

Dalam bahasa organisasi, kalimat itu sederhana. Dalam bahasa hukum ketenagakerjaan, kalimat itu bisa berarti banyak: dari cacat prosedur hingga potensi batal demi hukum.

 

Di salah satu catatan tim advokasi, seorang anggota menyebutnya sebagai “gejala perusahaan yang sedang kehilangan kendali atas prosedurnya sendiri.”

 

Pertanyaan yang masih membayang-bayangi hingga kini: mengapa Faisal?

Mengapa seseorang yang tidak memiliki riwayat pelanggaran justru menjadi pusat tindakan yang begitu drastis?

 

Di galangan, beberapa pekerja menduga Faisal sekadar menjadi wajah dari kegagalan sistem. Ada tekanan dari atas untuk “menyelesaikan sesuatu”. Ada rumor internal yang berkembang cepat. Ada ketakutan bahwa isu pungutan liar akan membesar.

 

Ketika semua variabel itu bertemu, seseorang pada akhirnya harus dijadikan target keputusan.

Dalam versi ini, Faisal hanyalah orang yang berada di posisi paling tidak terlindungi.

 

Kasus Faisal kini telah melampaui persoalan Rp500.000.

Ia berubah menjadi cermin bagi kondisi manajemen PT Allbets Marine: bagaimana keputusan diambil, bagaimana rumor menjadi referensi, bagaimana prosedur dilompati ketika tekanan datang.

 

Dan seperti banyak kasus di industri galangan, yang paling sulit bukanlah membuktikan bahwa sebuah prosedur dilewati, tetapi memetakan mengapa hal itu terjadi.

 

Dalam sebuah wawancara, seorang pengamat industri menyebut:

“Ini bukan tentang satu pekerja. Ini tentang sistem yang membiarkan keputusan lahir dari kepanikan.”

 

Di tengah dinamika ini, SBSI menyiapkan langkah hukum.

Faisal sendiri menunggu—bukan hanya keadilan, tetapi juga penjelasan yang tidak pernah diberikan kepadanya.

 

Di sisi lain, perusahaan mencoba meredam situasi, namun narasi publik telah bergerak ke arah yang sulit dibendung.

 

Kasus ini masih jauh dari selesai.

Namun satu hal pasti: setelah kesaksian Fajar muncul, PT Allbets Marine kini menghadapi gelombang yang tidak bisa dihentikan hanya dengan klarifikasi singkat atau pernyataan pers.

 

Sebuah gelombang yang lahir dari tumpukan pertanyaan yang—hingga kini—belum dijawab.

 

[ arf-6 ]