PHK Sepihak di Batam: Gugatan Pekerja PT Allbest Guncang Dunia Industri, Pakar Nilai Terjadi Pelanggaran Berat terhadap Prinsip Keadilan Ketenagakerjaan

Pemerintah278 views

Mabesnews.com, Batam — Dunia industri Batam kembali diguncang oleh kasus dugaan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang dialami seorang pekerja PT Allbest Marina Batam bernama Paizal. Kasus ini bukan hanya menyorot nasib satu individu, melainkan membuka tabir tentang lemahnya kepatuhan perusahaan terhadap hukum ketenagakerjaan dan prinsip keadilan sosial di sektor industri.

Paizal, yang baru beberapa bulan bekerja di perusahaan tersebut, mengaku diberhentikan tanpa alasan jelas, tanpa surat peringatan, dan tanpa proses klarifikasi sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Ia menyebut surat PHK yang diterimanya datang tiba-tiba, tanpa ada perundingan ataupun evaluasi kinerja. “Saya diberhentikan begitu saja, tanpa peringatan atau kesempatan untuk menjelaskan. Tidak ada dialog, tidak ada klarifikasi,” ungkapnya dalam surat resmi yang dilayangkan kepada manajemen PT Allbest.

Merasa diperlakukan tidak adil, Paizal pada 22 Oktober 2025 mengajukan permintaan perundingan bipartit sebagai langkah awal penyelesaian sengketa hubungan industrial. Dalam surat permohonannya, ia meminta agar perusahaan mencabut keputusan PHK tersebut serta memberikan ganti rugi atas kerugian ekonomi dan psikologis yang dialaminya. Berdasarkan perhitungan awal, kerugian tersebut ditaksir mencapai ratusan juta hingga lebih dari Rp2 miliar, termasuk kehilangan penghasilan dan tekanan batin akibat pemutusan kerja yang mendadak.

Upaya konfirmasi yang dilakukan Mabesnews kepada pihak HRD PT Allbest Marina Batam belum membuahkan hasil. Hanif, perwakilan HRD perusahaan, belum bersedia memberikan keterangan mengenai dasar hukum maupun alasan di balik keputusan PHK tersebut. Sementara itu, Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan Riau juga belum mengeluarkan pernyataan resmi, dengan alasan pejabat terkait tengah menjalankan agenda di luar daerah.

Secara hukum, tindakan PHK sepihak tanpa melalui mekanisme perundingan dan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dinyatakan batal demi hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 151 ayat (1) dan (2) serta Pasal 155 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Aturan tersebut menegaskan bahwa setiap PHK wajib didahului perundingan antara pekerja dan pengusaha. Bila tidak tercapai kesepakatan, penyelesaiannya harus dilakukan melalui mekanisme hukum, yakni mediasi di Dinas Tenaga Kerja atau Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

 

Ahli hukum ketenagakerjaan, menilai langkah PT Allbest sebagai pelanggaran berat terhadap prinsip keadilan dan asas hubungan industrial yang berimbang.

“Perusahaan tidak dapat semena-mena memutus hubungan kerja tanpa alasan objektif dan tanpa prosedur yang sah. PHK sepihak bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga bentuk penyangkalan terhadap hak konstitusional pekerja,” tegasnya.

 

Pekerja seperti Paizal memiliki hak penuh untuk menempuh jalur hukum, mulai dari perundingan bipartit, mediasi tripartit melalui Dinas Tenaga Kerja, hingga ke PHI. Bila terbukti PHK dilakukan tanpa dasar hukum, perusahaan wajib membatalkan keputusan tersebut dan membayar kompensasi sesuai ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan serta PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan PHK.

“Bahkan dalam beberapa kasus, jika pengadilan menilai ada unsur kesewenang-wenangan atau kerugian immateriil, ganti rugi bisa mencapai miliaran rupiah,” ujarnya.

 

Pengamat ketenagakerjaan, Ignatius Toka Solly, S.H., menilai kasus ini sebagai indikasi lemahnya tata kelola sumber daya manusia di sejumlah perusahaan besar di kawasan industri strategis.

“Batam adalah etalase investasi nasional. Tapi jika buruh masih bisa diberhentikan tanpa dasar hukum, itu menandakan ada krisis etika di dunia usaha. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga persoalan moral dan kemanusiaan,” tuturnya.

 

Ia menegaskan bahwa pemerintah daerah melalui Dinas Tenaga Kerja memiliki kewajiban melakukan pengawasan ketat terhadap praktik hubungan industrial. “Negara harus hadir. Jika ditemukan pelanggaran, sanksinya tidak hanya berupa teguran administratif, tapi bisa sampai penghentian kegiatan usaha atau pencabutan izin operasional,” tegasnya.

 

Kasus Paizal kini menjadi ujian moral bagi sistem hubungan industrial di Batam. Di tengah gencarnya arus investasi dan geliat ekonomi kawasan, nasib para pekerja seakan masih bergantung pada kebijakan sepihak korporasi. Ketika hukum tidak ditegakkan, kesejahteraan buruh menjadi korban pertama dari ketimpangan kekuasaan industri.

 

Sebagaimana “Hubungan industrial yang sehat hanya bisa lahir dari keseimbangan antara kepentingan pengusaha dan perlindungan pekerja. Bila salah satu pihak dikorbankan, maka seluruh sistem kehilangan legitimasi moralnya.”

 

Perjuangan hukum Paizal dengan demikian bukan hanya persoalan pribadi, melainkan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan struktural di dunia kerja. Kasus ini menantang komitmen pemerintah, penegak hukum, dan dunia usaha untuk membuktikan bahwa Batam — dan Indonesia — bukan sekadar ladang industri, tetapi juga tanah di mana martabat pekerja dijunjung tinggi.

 

arf-6