Pakaro, dan Jawara Presiden Prabowo 

Opini, Pemerintah60 views

Oleh Maman A. Majid Binfas 

 

MabesNews.com, Esensi dari kata ‘pakaro’ dalam bahasa Bima, boleh dimaknai sok kuasa atau sok jagoan semau gue atau kelakuan yang sewenang sewenang gaya premanisme semau gue karena terlalu berani berbuat kenekatan dan ada sesuatu ilmu hitam diandalinnya.

Misalnya, mempunyai ilmu hitam kebalan atau turunan berada /keluarga jagoan juga berandalan yang nekatan sehingga orang merasa takut padanya, sekalipun tidak selamanya demikian esensinya, bila ada lawan lebih jagoan benaran, maka kepakaroannya pun akan berubah menjadi ayam sayuran.

Bahkan esensi dari kata pakaro hampir seiring  dengan pemaknaan Kata “rewa/rewako”/berani/terlalu nekatan dalam bahasa Makassar. Selain itu, “rewa” juga bisa berarti “lawan” atau “suka berkelahi” tergantung pada konteks penggunaannya.

Mungkin, esensi dari pakaro atau rewako, lebih indentik dengan diksi “Sok jagoan”berarti berpura-pura menjadi orang yang paling hebat, kuat, atau pandai, padahal sebenarnya tidak demikian.

Orang yang “sok jagoan” seringkali suka mencari perhatian, ingin menang sendiri, dan terkadang menggunakan kekerasan “semau gue” untuk menyelesaikan masalah.

Istilah tersebut, juga bisa dikaitkan dengan superiority complex /kompleks superioritas, di mana seseorang merasa lebih baik dari orang lain dan merendahkan orang lain.

 

Akibat, lebih dikesankan superiority complex, tentu berbeda esensinya dengan kehadiran kata jawara yang sesungguhnya. Jawara merupakan sebutan untuk seseorang yang dianggap jago, juara, atau ahli dalam suatu bidang, terutama dalam konteks ilmu bela diri atau seni tradisional, seperti pencak silat.

 

Di Banten, jawara juga dikenal sebagai tokoh yang memiliki peran penting dalam masyarakat, termasuk menjaga keamanan dan ketertiban menjadi budaya luhur berkeadaban.

 

Tentu, Presiden Prabowo Subianto tidak identik dengan diksi pakaro, namun mungkin lebih berkesan kepada pemaknaan kata sebagai jawara.

 

Di mana, beliau telah tahan banting menjadi milter militan, sekalipun diberhentikan di tengah gejolak karilnya berbintang. Bahkan telah beberapa kali jatuh bangun jadi kandindat calon Presiden. Namun, tetap tegar dan teguh menggapai cita citanya menjadi Presiden, dan Alhamdulillah, tercapai sebagaimana yang diharapkannya. Beliau juga tanpa mengidam penyakit rasa dendam berlebihan, sebagaimana di antara sebagian dari pendahulunya. Dan justru, ia merangkul lawannya untuk masuk kabinet merah putih.

Sekalipun, mungkin banyak pihak menilai rangkulannya, berkesan agak bergaya “kuda troya” senyapan untuk diremukin pikiran sehingga tak tersirat betati permusuhan.

Boleh juga diindikasikan, agar mereka tidak lagi pakaro yang dapat membuat gerakan gaduhan liar, di saat beliau jadi Presiden. Sekalipun, Presiden bisa saja menumpas dengan kejawaraan kekuasaan yang dimilikinnya, berdasarkan Undang -Undang Dasar dilegitimasinya.

Jawaranya Presiden Prabowo

Kejawaraan dimaksudkan, yakni diharapkan kepada Presiden Prabowo untuk melaksanakan amanah Undang Undang Dasar 1945 dengan jantan di dalam melegitimasikan secara masif, terutama di antaranya UU pasal 33 ayat 3. Kandungan isi dari Pasal tersebut, memang  sangat vital intuk saat ini, mesti diberlakukan dengan nyata menjadi esensi kejawaraannya. Sebagaimana kesan yang saya goreskan pada MabesNews.com, dengan topik “Dibajak Merdeka Rakyat Membara” 16/8/2025.

Di mana, bunyi dan kandungan pasal tersebut, masih terus saja berlalu melolong, bah air di daun talas hampa bekas dan hanya jadi berkas didengung dengan imingan berangan kosong doang.!

Sementara esensi dari UUD yang dimaksudkan di atas, bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”

Bahkan pasal ini, hanya dijadikan diksi berkalimatan yang sungguh indah dan menawan terurai untuk legitimasi sebagai naskah di dalam orasi, namun lenyap dalam aksi tindakan dunia nyata.

 

Hampa bukti juga tanpa jejak yang berarti, terkecuali hasilnya melimpah ruah untuk dikuras habis, demi kemakmuran perkorupsian yang dilanggengkan untuk bertunggang langgang dengan beragam dagelan dipertontonkan.

Lalu, di mana buktinya sebagai muara mata nurani di dalam sila kelima dari Pancasila yang berdiksi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Semestinya, kini setelah 80 tahun Indonesia merdeka dari penindasan penjajah, sudah sepantasnya untuk menikmati kemakmuran sejati, sebagaimana diamanahkan oleh pasal UUD 45 tersebut.

 

Sungguh sangat mengherankan,  justru kini masih saja dirasakan, kesan pakaro membajak untuk manjurin pajak. Bahkan, menjamur tindakan berpakaro yang seenak dengkulan berlabial dentalan di tengah limpahan pengangguran menganga !

 

Dan itu berarti sama halnya dengan memicu mercon api untuk semakin membara pada hamparan savanna nan lagi kerontangan di semesta alam nusantara berkalam!

 

Sekalipun, kalam usia kemerdekaan Indonesia telah 80 tahun, namun rakyat semakin digulung dan dibajak untuk dipajakin dengan berlipatan tanpa karuan hingga pelosok negeri. Namun, kesan usia kemerdekaan telah berangka tua demikian pun, belum jua berkesan merdeka menjadi harapan Pahlawan sejati.

 

Sejatinya, moto Merdeka atau mati yang menjadi kunci yang telah diperjuangkan oleh Pahlawan sejati mesti dikedepankan. Hal demikian, tidak lain agar bangsa Berketuhanan nan Abadi yang menjadi suratan kehidupan sejatinya. Sehingga penghuninya aman dari kelaparan, tidak lagi dibajak oleh penjajahan dengan pajak penindasan berkesan pakaro berlebihan.

 

Manakala, rakyat masih juga terus dibajak dengan pakaro dalam penindasan untuk berpajak yang berlebihan. Tentu, bukan hal keliru bila rakyat pun akan bertindak pakaro yang semakin membara di dalam berdemostrasi guna menuntuk haknya yang berkeadilan tulen. Termasuk, tindakan pakaro dengan masif turun di jalan ataupun melalui tulisan. Dan itu mungkin hal yang wajar saja, bah berawal dari Pati, Jawa Tengah yang bergejolak .

 

 

Berawal dari Pati

 

Boleh jadi berawal dari Pati. bertampak peti mati demokrasi bukan dari mata hati.

Tetapi,  discovery bermata uang terbagi dengan benderang menderu juga terselubung. Hingga lembaran uang berkarung agar bisa jadi pemenang berkunang kunang_

 

Membumbung, tentu aji mumpung mesti melambung dan kini, mesti dituai ledakan demo besar besaran dari rakyat sendiri akan menindasinnya.

 

Boleh jadi, berawal dari Pati, bertampak peti mati demokrasi

 

bukan dari mata hati. Tentu, wajar Rakyat akan bangkit terus untuk menindasi pilihan demokrasi bermata uang berkarung karung. Berhingga terkurung dan terkungkung akar dari demokrasi kong kali kongan

 

Kini, boleh jadi berawal dari Pati Jawa Tengah, gaung gong telah bertabu dan mungkin akan terus melangkah tiada henti melingkari negeri. Berhingga esensi dari berdemokrasi akan bersolusi bukan kepada uang berangka lagi, tetapi bermata hati nurani jadi kiblatannya.

Tentu. demontrasi berbuah kerusuhan yang terjadi di Pati, Jawa Tengah, mungkin tidak elokjuga dikaitin pengalihan isu dengan dagelan ala Jokowi yang lagi viral diseterukan. Sekalipun, diseterukan  tersebut, mungkin juga agak terkesan pada diksi pakaro berhingga berlebihan sehingga episode akhirnya pun tidak karuan.

Tentu, Presiden Prabowo Subianto tidak identik dengan kesan diksi pakaro yang tak karuan, tetapi lebih militan menjadi jawara tulen. Apalagi, bila beliau melaksanakan pesan UUD 45 dengan rasa berkeadilan sejati secara masif tanpa pandang bulu.

Manakala, masih jua mendaur ulang lagi, tentang asas kesan diksi pakaro masa lalu yang dialamatkan kepadanya. Maka, kesan aroma dari reformasi sesungguhnya, mungkin boleh diindikasikan masih belum terlalu sembuh dari bekas luka yang bercendana istana di dalam berkalam. Wallahu’alam.