Menyoroti Kebijakan Penggusuran: Di Mana Letak Keadilan Sosial Kita?

Pemerintah1,252 views

Mabesnews.com.Bulukumba – Dalam beberapa pekan terakhir, warga di beberapa daerah Bontobahari dihadapkan pada kenyataan pahit: ancaman penggusuran oleh pemerintah daerah. Surat resmi telah dilayangkan. Pemerintah Kabupaten Bulukumba, melalui Bupati H. Andi Muchtar Ali Yusuf, memberikan waktu 1 bulan agar warga membongkar tempat tinggal mereka sendiri. Jika tidak, alat berat akan mengambil alih.

Sebagai Ketua Rayon Ilmu Hukum dan Ilmu Sosial PMII Komisariat Universitas Handayani Makassar Cabang Makassar, saya merasa perlu angkat suara. Ini bukan hanya soal legalitas tanah, tapi tentang kemanusiaan, keadilan sosial, dan keberpihakan negara terhadap rakyat kecil.

Warga yang diusir bukan pelaku perusakan hutan. Mereka telah tinggal dan membangun kehidupan di atas tanah itu selama bertahun-tahun, hidup damai dan mandiri. Mereka bukan penjajah, melainkan bagian dari komunitas lokal yang menjadi korban dari kebijakan konservasi yang top-down dan minim partisipasi publik. Pemerintah berdalih kawasan itu termasuk dalam kawasan Tahura (Taman Hutan Raya), tetapi apakah itu cukup adil untuk menjadi alasan mengusir rakyat yang sudah lebih dulu hidup di sana?

Bupati H. Andi Muchtar Ali Yusuf sebagai kepala daerah semestinya memilih jalan dialog dan solusi berkeadilan. Pemerintah punya pilihan lain: berdialog, membuka ruang partisipasi warga, menawarkan skema perhutanan sosial, atau memberi opsi relokasi manusiawi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: rakyat dihadapkan pada ultimatum dan kekerasan struktural yang dibungkus dalam legalitas administratif.

Sebagai mahasiswa yang belajar hukum dan sosial, kami melihat kebijakan ini tidak hanya melanggar prinsip keadilan prosedural dan partisipatif, tetapi juga berpotensi melanggar hak-hak dasar seperti hak atas tempat tinggal, hak atas rasa aman, dan hak atas keadilan. Bahkan Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan bahwa pengelolaan hutan negara harus mempertimbangkan keberadaan masyarakat hukum adat dan masyarakat yang sudah bermukim.

Kami dari PMII menuntut:

1. Bupati H. Andi Muchtar Ali Yusuf membuka ruang audiensi terbuka dan transparan dengan warga Bontobahari yang akan terkena dampak penggusaran.
2. Penghentian sementara proses penggusuran sampai ada solusi bersama yang manusiawi dan berkeadilan.
3. Kementerian Lingkungan Hidup, Komnas HAM, dan Ombudsman segera turun tangan memfasilitasi proses dialog dan penyelesaian konflik ini.
Negara semestinya hadir bukan sebagai alat penggusur, tetapi sebagai pelindung rakyatnya. Dan sejarah akan mencatat: di mana posisi kita ketika rakyat kecil meminta keadilan.

PMII Rayon Ilmu Hukum dan Ilmu Sosial Komisariat Universitas Handayani Makassar – Cabang Makassar, menyatakan sikap siap mengawal dan membersamai perjuangan warga Bontobahari.

 

Oleh: Ahmad Rifai, Ketua Rayon Ilmu Hukum dan Ilmu Sosial
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Komisariat Universitas Handayani Makassar – Cabang Makassar.

 

Pewarta: Darfin Hamid