Oleh: Dr. Nursalim, S.Pd., M.Pd
Ketua Afiliasi Pengajar, Penulis, Bahasa, Sastra, Budaya, Seni, dan Desain (APEBSKID) Provinsi Kepulauan Riau.
Mabesnews.com, Di tengah laju pembangunan dan ritme kehidupan perkotaan yang serba cepat, nilai-nilai adat dan adab kian terpinggirkan. Padahal, bagi masyarakat Melayu dan masyarakat Kepulauan Riau pada umumnya, adat bukan sekadar tradisi masa lalu, melainkan fondasi jati diri, penyangga marwah, dan penuntun harmoni sosial. Ketika adat mulai pincang, adab pun ikut goyah. Dan ketika adab runtuh, marwah suatu masyarakat ikut tergerus.
Lembaga Adat Melayu (LAM) memiliki peran strategis dalam menjaga kesinambungan adat, marwah, dan adab di tengah perubahan zaman. Tantangan hari ini bukan hanya soal pelestarian simbolik, tetapi juga keberanian untuk memastikan adat benar-benar hidup dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat. Realitas menunjukkan bahwa di kota-kota besar, termasuk Batam, segala sesuatu dituntut serba cepat. Akibatnya, adat sering kali terabaikan, bahkan dibalik: yang seharusnya didahulukan justru diakhirkan, sementara yang seharusnya dipertimbangkan dengan hikmah dijalankan secara tergesa-gesa.
Dalam adat Melayu, ketika kita berbicara tentang adat, maka adab tidak bisa dipisahkan. Adat tanpa adab hanyalah seremonial kosong, sementara adab tanpa adat kehilangan akar budayanya. Ketika adat sudah pincang, maka adab akan semakin rapuh. Inilah yang menjadi kegelisahan banyak pihak hari ini: hilangnya keseimbangan antara pembangunan fisik dan pembangunan nilai.
Marwah dan citra jati diri masyarakat Batam sejatinya lahir dari sejarah panjang yang menjadikan adat sebagai sendi utama. Batam dibangun bukan hanya sebagai kawasan industri, tetapi sebagai ruang hidup masyarakat yang menjunjung tinggi nilai budaya, penghormatan terhadap manusia, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, memperjuangkan marwah bukanlah romantisme masa lalu, melainkan ikhtiar menjaga arah masa depan.
Persoalan kesejahteraan masyarakat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan marwah tersebut. Isu-isu ketenagakerjaan, seperti upah kerja yang tidak sebanding dengan beban hidup, kondisi kerja yang menekan, serta praktik-praktik yang merugikan pekerja lokal, baik laki-laki maupun perempuan, adalah persoalan nyata yang menyentuh harga diri masyarakat. Ketika keringat masyarakat diperas sementara biaya hidup terus meningkat dan harga-harga kebutuhan melambung, maka kegelisahan sosial menjadi sesuatu yang wajar.
Dalam konteks ini, aksi demonstrasi yang terjadi bertepatan dengan peringatan hari jadi Batam patut dipahami sebagai bentuk ekspresi memperjuangkan martabat, bukan semata-mata kegaduhan. Demonstrasi adalah bahasa masyarakat ketika saluran-saluran lain tidak lagi didengar. Terlebih lagi, Batam berdiri di atas nilai adat yang menjunjung tinggi marwah dan keadilan. Maka, menyuarakan keadilan pada momentum bersejarah justru memiliki makna simbolik yang kuat.
Batam adalah rumah bagi masyarakat dari berbagai suku dan budaya yang bekerja, hidup, dan berjuang bersama, termasuk di perusahaan-perusahaan asing.
Adat Melayu yang menjadi payung budaya daerah ini sejatinya mengajarkan keterbukaan, keadilan, dan penghormatan terhadap sesama. Namun keterbukaan tidak boleh dimaknai sebagai pembiaran terhadap ketidakadilan. Adat mengajarkan keseimbangan antara menerima pendatang dan menjaga hak-hak masyarakat tempatan.
LAM, bersama seluruh elemen masyarakat dan pemerintah, perlu terus memperjuangkan agar adat tidak sekadar menjadi slogan, tetapi menjadi landasan dalam kebijakan dan praktik kehidupan sosial. Menjaga adat berarti menjaga manusia.
Menegakkan marwah berarti memperjuangkan kesejahteraan. Dan memelihara adab berarti memastikan Batam tumbuh sebagai kota yang maju tanpa kehilangan jati dirinya.
Sudah saatnya pembangunan
Batam kembali disandarkan pada nilai-nilai yang melahirkannya: adat yang kukuh, marwah yang dijunjung, dan adab yang dijaga.
Dengan itulah keharmonisan sosial dapat terwujud dan kesejahteraan masyarakat benar-benar menjadi tujuan utama, bukan sekadar janji yang terus tertunda.







