Menghidupkan Kembali Falsafah “Baku Appaka”: Jalan Kearifan Turatea di Tengah Arus Zaman

Pemerintah54 views

Oleh: Dr. Nursalim, M.Pd.

Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Indonesia Provinsi Kepulauan Riau

Ketua Afiliasi Pengajar Penulis Bahasa, Sastra, Seni, Budaya, dan Desain Provinsi Kepulauan Riau

 

——————————————————-

MabesNews.com, Dalam dinamika modernitas yang terus berputar, ketika budaya global merasuki hampir setiap sendi kehidupan, masyarakat kita kerap lupa bahwa kekuatan sejati suatu bangsa bukanlah pada kemajuan teknologinya, melainkan pada akar nilai dan falsafah hidupnya. Di tengah arus deras perubahan itu, muncul kembali gema kearifan dari tanah Turatea, yang diwariskan melalui satu istilah yang padat makna — “Baku Appaka.”

 

Falsafah Baku Appaka bukan sekadar simbol linguistik dari khazanah Bugis-Makassar, melainkan refleksi mendalam tentang bagaimana manusia seharusnya hidup dengan keseimbangan. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menggambarkan manusia ideal yang tidak hanya berpikir dengan akal, tetapi juga berjiwa dengan nurani.

 

Menurut pandangan H.M. Said Amin, seorang tokoh masyarakat dan budayawan Sulawesi Selatan, Baku Appaka mencerminkan empat karakter utama yang membentuk pribadi Turatea sejati: keberanian, kecerdasan, keilmuan, dan kemakmuran hati. Empat unsur ini saling menopang dan membentuk sistem nilai yang utuh — seperti empat penjuru tiang rumah adat yang kokoh menopang atap kehidupan.

 

Tau barania, sosok yang berani menegakkan kebenaran tanpa gentar oleh kekuasaan. Tau caraddeka, pribadi cerdas yang berpikir jernih dan arif dalam bertindak. Tau panritayya, ulama dan ilmuwan yang menjaga cahaya pengetahuan agar tak padam di tengah kegelapan zaman. Dan Tau kalumannyang, insan yang kaya bukan hanya dalam harta, tetapi dalam kemurahan hati, karena kekayaan sejati ada pada kemampuan berbagi dan memberi manfaat.

 

Keempat nilai tersebut menjadikan Baku Appaka bukan sekadar ajaran budaya, tetapi sebuah filosofi etika dan peradaban. Nilai-nilai ini sejatinya dapat menjadi landasan dalam pembentukan karakter bangsa, terutama ketika kita dihadapkan pada realitas sosial yang penuh tantangan — di mana keberanian sering digantikan oleh ketakutan, kecerdasan tereduksi oleh kepentingan, dan kekayaan batin terkikis oleh ambisi material.

 

Pelestarian falsafah seperti Baku Appaka adalah bentuk perlawanan halus terhadap dehumanisasi modern. Ketika manusia modern lebih banyak berorientasi pada kecepatan, efisiensi, dan capaian ekonomi, maka falsafah lokal seperti ini mengingatkan bahwa kehidupan sejati juga memerlukan kedalaman, kebijaksanaan, dan rasa hormat terhadap nilai-nilai spiritual.

 

Dalam konteks pendidikan, nilai-nilai Baku Appaka memiliki relevansi yang luar biasa. Keberanian dapat melahirkan generasi yang berintegritas. Kecerdasan membentuk insan yang kritis dan kreatif. Keilmuan menumbuhkan kesadaran intelektual. Sementara kemurahan hati membentuk pribadi yang empatik dan berjiwa sosial. Inilah fondasi pendidikan karakter yang sesungguhnya, yang berpijak pada akar budaya sendiri — bukan semata meniru model pendidikan luar negeri yang sering kali terlepas dari konteks lokal.

 

Di era globalisasi ini, ketika identitas kultural mudah terombang-ambing oleh pengaruh eksternal, upaya untuk mempopulerkan kembali Baku Appaka dan julukan Turatea menjadi langkah strategis. Bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan usaha ilmiah dan kultural yang mendalam — sebagaimana disebutkan oleh H.M. Said Amin, bahwa kini sudah banyak buku-buku Karaeng yang mengarsipkan dan menautkan kembali identitas Turatea dalam bingkai akademik dan budaya.

 

Identitas yang terdokumentasi, tertulis, dan dapat dipertanggungjawabkan ini menjadi sangat penting di tengah era digital. Ia menjembatani masa lalu dengan masa depan, mengubah tradisi lisan menjadi warisan intelektual yang abadi.

 

Sebagai bagian dari insan akademik dan kebudayaan, saya meyakini bahwa menghidupkan kembali nilai-nilai seperti Baku Appaka adalah investasi jangka panjang bagi bangsa. Warisan leluhur bukan untuk disembah, tetapi untuk dijaga, dipelajari, dan dihidupkan kembali sesuai konteks zaman.

 

Masyarakat Batam, yang plural dan multikultural, dapat mengambil pelajaran dari semangat Turatea ini. Di tengah perbedaan suku, agama, dan latar belakang, keberanian, kecerdasan, keilmuan, dan kedermawanan adalah nilai universal yang bisa memperkuat harmoni sosial.

 

Baku Appaka mengajarkan bahwa kekuatan sejati tidak hanya lahir dari fisik atau harta, tetapi dari keteguhan moral dan kejernihan budi. Maka ketika generasi muda memahami filosofi ini, mereka tidak hanya menjadi modern dalam berpikir, tetapi juga bijak dalam bersikap.

Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang kaya sumber daya alamnya, melainkan bangsa yang tidak kehilangan jiwa dan akar budayanya. Dari tanah Turatea, dari nilai-nilai Baku Appaka, kita belajar bahwa kearifan lokal bukan warisan masa lalu, tetapi panduan untuk masa depan.