Mabesnews.com. Di Laweueeng, sebuah desa kecil di Kabupaten Pidie, Aceh, lahir dan tumbuh seorang anak bangsa yang kelak memilih jalan sunyi: bukan untuk mengejar kemewahan, melainkan untuk mengabdi melalui pendidikan. Dialah Dr. Iswadi, M.Pd sosok pendidik dan intelektual yang tak sekadar mengejar gelar, tapi memaknainya sebagai amanah untuk membawa perubahan.
Masa kecil Dr. Iswadi dipenuhi dengan perjuangan. Ia tumbuh dalam keterbatasan yang nyata akses pendidikan minim, fasilitas seadanya, dan beban hidup yang tidak ringan. Namun, dari keterbatasan itu justru muncul kekuatan. Ia percaya bahwa pendidikan bukan hanya soal sekolah, tetapi tentang harapan, keberanian, dan ketekunan untuk melawan keadaan.
Dengan berjalan kaki berkilo kilometer ke sekolah, membantu orang tua bekerja, dan belajar di bawah cahaya lampu minyak, ia menapaki jenjang pendidikan demi pendidikan. Ketekunannya membuahkan hasil: ia berhasil menyelesaikan studi hingga meraih gelar doktor di bidang pendidikan sebuah pencapaian yang langka, terutama bagi anak desa sepertinya.
Namun keputusan besar datang setelah itu. Banyak yang menduga ia akan kembali ke kampung halaman. Tapi justru sebaliknya, Dr. Iswadi memilih menetap dan mengabdi di Jakarta bukan karena melupakan akar, tetapi karena melihat tanggung jawab yang lebih besar: membenahi sistem pendidikan dari pusatnya.
Di ibu kota, Dr. Iswadi menjelma menjadi salah satu suara penting dalam dunia pendidikan nasional. Ia aktif di berbagai lembaga kebijakan, menjadi konsultan pendidikan, terlibat dalam pelatihan guru berskala nasional, hingga menjadi dosen dan pembicara di forum-forum strategis. Baginya, Jakarta bukan tempat untuk mencari nama, melainkan medan perjuangan untuk memastikan bahwa anak-anak dari pelosok seperti Laweueeng juga punya hak yang sama untuk berhasil.
Meski tinggal di pusat kota, hati dan jiwanya tetap tertambat pada tanah kelahiran. Ia membawa suara-suara dari desa ke meja-meja rapat kementerian. Ia advokasi tentang ketimpangan pendidikan, memperjuangkan pemerataan akses, dan mendorong kebijakan yang berpihak pada daerah tertinggal. Ia percaya bahwa membangun bangsa tidak cukup dari pinggiran tetapi juga harus diperjuangkan dari pusat pengambilan keputusan.
Integritasnya terjaga. Jabatan, popularitas, atau godaan dunia akademik tak pernah mengubah prinsip dasarnya: bahwa pendidikan adalah jalan pengabdian. Ia menolak banyak tawaran yang menjanjikan keuntungan pribadi, dan tetap memilih terlibat dalam program-program yang berdampak langsung pada masyarakat.
Kisah Dr. Iswadi adalah kisah tentang keberanian menembus batas dari desa terpencil ke jantung ibu kota, tanpa kehilangan jati diri. Ia adalah teladan bahwa pengabdian tidak selalu berarti kembali ke kampung, tetapi bisa juga berarti memperjuangkan kampung dari pusat kekuasaan.
Ads







