Menakar Legitimasi Moral dan Hukum FPK Kepri: Antara Amanah, SK, dan Kekuasaan yang Terluka

Pemerintah225 views

Mabesnews.com, Tanjungpinang —Polemik yang mengguncang Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Provinsi Kepulauan Riau telah menjelma menjadi drama panjang tentang legitimasi, etika, dan makna kekuasaan di tengah lembaga yang seharusnya menjadi perekat kebangsaan. Di balik pergeseran struktur dan pergantian sepihak pengurus, terselip kisah tentang bagaimana idealisme pembauran bisa tergelincir oleh praktik kekuasaan yang abai terhadap nilai moral dan prinsip hukum.

FPK sejatinya adalah amanah konstitusional. Dibentuk melalui mandat Kementerian Dalam Negeri, lembaga ini dirancang untuk menjadi wadah pembauran antar-etnis, ruang dialog kebangsaan, dan penjaga harmoni sosial di daerah. Namun di Kepulauan Riau, cita-cita luhur itu kini diuji oleh dinamika yang justru menegasikan semangat persatuan yang menjadi dasar kelahirannya.

Beberapa pengurus lama FPK mengaku terkejut ketika mendapati nama mereka mendadak hilang dari struktur kepengurusan tanpa pemberitahuan. Surat Keputusan (SK) yang telah berlaku selama berbulan-bulan tiba-tiba diganti dengan yang baru — tanpa musyawarah, tanpa rapat, tanpa dasar administrasi yang jelas. Mereka menilai tindakan itu sebagai pelanggaran etik dan bentuk pengkhianatan terhadap amanah organisasi.

“Ini bukan sekadar soal nama atau jabatan, tapi soal kejujuran lembaga,” ujar Meckhwanizar, salah seorang pengurus lama. “Kalau SK bisa diubah sesuka hati, bagaimana masyarakat bisa percaya bahwa FPK adalah simbol kebangsaan, bukan alat kepentingan pribadi?”

Tak berhenti di situ. Dugaan penyimpangan anggaran pun mulai mencuat. Sejumlah pengurus yang diberhentikan secara sepihak mengaku tidak menerima hak mereka meski telah bekerja sejak awal tahun. “Kami bekerja, tapi honor kami justru diterima oleh orang lain,” ungkap salah seorang pengurus yang meminta namanya tidak dipublikasikan. “Ini bukan cuma masalah administrasi, tapi soal integritas dan akuntabilitas publik.”

Menurut pakar hukum administrasi negara, Dr. Rasyid Mahendra, tindakan pergantian pengurus tanpa prosedur resmi dan tanpa pemberitahuan formal jelas bertentangan dengan asas good governance.

“FPK memang bukan lembaga birokrasi, tapi ia tunduk pada prinsip akuntabilitas publik karena dibiayai oleh APBD. Jika SK yang sudah berjalan diganti tanpa dasar hukum dan dokumentasi resmi, maka tindakan itu bisa dikategorikan cacat administrasi,” tegasnya.

Namun di luar aspek legal, yang paling mengguncang adalah persoalan moral. Sebuah pesan singkat yang beredar di antara para pengurus lama menjadi gema nurani di tengah hiruk-pikuk konflik:

“Ingat ya Pak, jabatan adalah amanah.”

Pesan itu dikirim oleh Mpok Yuni, dari paguyuban warga DKI. Salah satu pengurus yang diganti tanpa pemberitahuan. Kalimat sederhana itu berubah menjadi simbol perlawanan moral terhadap kekuasaan yang dinilai kehilangan empati. Ia menuding adanya intervensi Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri dalam urusan internal FPK. “LAM dijadikan perisai untuk melindungi tindakan yang tidak sesuai prosedur,” ujarnya.

Menanggapi tudingan tersebut, Ketua FPK Kepri, Nazarudin, SH., MH., akhirnya buka suara. Ia menegaskan bahwa pengangkatannya sebagai ketua FPK bukan berasal dari forum paguyuban, melainkan atas rekomendasi LAM Kepri.

“SK bukan dari saye. Ini bukan organisasi saye. Saye jadi ketua bukan rekom dari paguyuban tetapi dari LAM Kepri, karena menghormati lembaga daerahnye. Tak mungkinlah daerah Melayu ketue FPK-nya dari daerah laen. LAM yang punye perda dan pergubnya,” ujarnya.

Ia menambahkan, “Saye tak bisa campur internal organisasi lain. FPK baik-baik aje, tak ada masalah. Selesaikan aje di internal masing-masing.”

Namun pernyataan ini justru menyalakan bara baru. Jika FPK sebagai forum lintas etnis kini disandarkan legitimasinya pada satu lembaga adat tertentu, maka makna “pembauran” menjadi tereduksi — dari inklusif menjadi eksklusif. Pengamat sosial-politik Universitas Andalas menilai langkah ini sebagai kemunduran nilai kebangsaan.

“FPK adalah simbol pluralitas. Ketika kepemimpinannya dikaitkan dengan satu identitas kultural, maka ia kehilangan esensinya. Ini bukan sekadar kesalahan administratif, tapi degradasi ideologis,” ujarnya.

Masalah kian kompleks karena berkaitan langsung dengan anggaran pembinaan FPK yang bersumber dari APBD Provinsi Kepri. Jika struktur pengurus baru digunakan untuk menyalurkan dana tanpa validasi hukum yang sah, maka potensi penyimpangan keuangan daerah tak bisa diabaikan. Sejumlah sumber internal menyebut, dana pembinaan sudah dicairkan berdasarkan struktur baru sebelum ada kejelasan hukum atas perubahan SK tersebut.

Situasi ini menempatkan Gubernur Kepulauan Riau pada posisi yang krusial. Sebagai pembina tertinggi FPK di daerah, Gubernur memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk menegakkan prinsip transparansi. Diam berarti membiarkan preseden buruk berlanjut, di mana lembaga publik dapat diubah sesuka kehendak individu atau kelompok tertentu tanpa dasar yang jelas.

“Ini bukan sekadar konflik internal,” lanjut Meckhwanizar Mantan ketua umum kekerabatan keluarga kepulauan Anambas. “Jika pemerintah daerah tidak turun tangan, maka dampaknya bisa menjadi krisis kepercayaan publik terhadap tata kelola lembaga sosial yang dibiayai negara. Gubernur harus bertindak sebagai penjaga legitimasi moral, bukan pelindung dari kesalahan administratif.”

Kini, publik menunggu apakah Pemerintah Provinsi Kepri akan berani melakukan audit, klarifikasi terbuka, dan meninjau ulang keabsahan SK yang menimbulkan polemik — atau memilih jalan sunyi: diam, membiarkan krisis integritas ini membusuk dalam senyap birokrasi.

Karena sebagaimana pernah diingatkan seorang tokoh nasional,

“Kehancuran lembaga tidak dimulai dari perpecahan, tetapi dari diamnya nurani.”

FPK Kepri kini berdiri di persimpangan sejarahnya sendiri — antara menjadi simbol persatuan yang meneguhkan kebinekaan, atau justru berubah menjadi potret kecil dari kekuasaan yang menodai amanah publik. Bila pilihan kedua yang terjadi, maka luka moral yang kini menganga di tubuh FPK Kepri bukan sekadar mencoreng lembaga itu, tetapi juga mencederai semangat kebangsaan yang selama ini mereka klaim hendak rawat.

arf-6