LSM KOMPAK Desak Pemkab Abdya Hentikan Dugaan Monopoli Dukungan Lahan Sawit

Pemerintah93 views

Mabesnews.com,-Blangpidie – Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) kembali menjadi sorotan setelah muncul dugaan bahwa dukungan lahan sawit rakyat seluas ±12.500 hektare diarahkan kepada hanya satu Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Langkah itu dinilai sebagai kebijakan yang menutup ruang persaingan dan menciptakan ketergantungan petani terhadap satu pintu usaha.

Ketua LSM KOMPAK, Saharuddin menilai kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan monopoli yang merugikan masyarakat dan melanggar prinsip dasar tata kelola ekonomi daerah.
“Tidak boleh ada kebijakan yang menempatkan ribuan petani Abdya dalam posisi subordinat terhadap satu perusahaan. Itu bukan hanya tidak sehat secara ekonomi, tetapi rawan bertentangan dengan regulasi tentang persaingan usaha dan tata kelola komoditas perkebunan,” tegas Ketua LSM KOMPAK, Jumat 14 November 2025.


Abdya yang merupakan salah satu sentra kelapa sawit produktif di pantai barat Aceh. Dengan basis ekonomi perkebunan rakyat yang kuat, ribuan keluarga menggantungkan pendapatan pada harga Tandan Buah Segar (TBS). Berdasarkan berbagai kajian ekonomi perkebunan, termasuk pendekatan industrial cluster Michael Porter yakni daerah dengan potensi hulu yang besar membutuhkan hilirisasi yang kompetitif agar nilai tambahnya dapat dirasakan oleh masyarakat.

Namun kebijakan yang memusatkan dukungan ±12.500 hektare kepada satu PKS justru menghambat terbentuknya pasar yang kompetitif. Data dari sejumlah daerah penghasil sawit seperti Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan menunjukkan bahwa multiple mill policy (kebijakan pembagian suplai buah ke beberapa pabrik) mampu meningkatkan daya tawar petani, menstabilkan harga TBS, dan mempercepat pertumbuhan lapangan kerja.

“Dengan luasan lahan tersebut, secara teknis Abdya mampu menopang dua hingga tiga PKS. Jadi mengunci dukungan hanya kepada satu PKS sama artinya membatasi potensi ekonomi daerah sendiri,” ujar Saharuddin.

Menurut Saharuddin, kebijakan dukungan lahan tunggal ini berpotensi melanggar prinsip dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU tersebut secara tegas melarang perilaku atau kebijakan yang mengarah pada dominasi pasar oleh satu pelaku usaha.

Selain itu, Permentan terkait tata niaga TBS yang menekankan pentingnya transparansi harga, pembentukan tim penetapan harga, serta perlunya keadilan akses pasar bagi petani, bisa terdistorsi jika hanya satu PKS yang mendapat hak dominan.

Lanjut Saharuddin, Literatur ekonomi pasar oligopsoni bahkan menegaskan bahwa ketika pembeli hanya satu, harga komoditas cenderung tidak mencerminkan nilai pasar yang wajar.

“Petani yang tidak punya pilihan pembeli akan selalu menerima harga yang ditentukan sepihak. Ini bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi persoalan keadilan sosial,” tambahnya.

LSM KOMPAK mendesak agar Pemkab Abdya mengevaluasi seluruh proses penetapan dukungan lahan ±12.500 hektare untuk memastikan tidak ada keberpihakan pada satu kepentingan bisnis. Selain itu, juga perlu dilakukan audit kebijakan untuk mengidentifikasi potensi ketimpangan dan dampaknya terhadap petani. “Pemkab Abdya perlu membentuk tim independen yang mengkaji kebutuhan ideal jumlah PKS di Abdya berbasis data, kapasitas lahan, dan proyeksi produksi,”katanya.

Saharuddin menilai, perlunya pemerintah membuka ruang bagi PKS baru, dengan pembagian dukungan lahan secara proporsional dan adil, guna menciptakan pasar kompetitif. “Pemerintah juga harus memperkuat mekanisme harga TBS yang transparan, termasuk pengawasan tim penetapan harga agar tidak terjadi manipulasi atau tekanan harga,” sebutnya.

Menurut KOMPAK, langkah-langkah tersebut bukan untuk menghambat investasi, melainkan memastikan ekosistem usaha perkebunan yang sehat, sesuai amanat regulasi nasional dan prinsip kehati-hatian dalam manajemen komoditas strategis.

LSM KOMPAK juga mengingatkan bahwa masa depan ekonomi Abdya sangat bergantung pada keberanian mengambil kebijakan yang adil dan rasional.
“Abdya adalah daerah penghasil sawit besar. Kesejahteraan masyarakat tidak boleh lahir dari ketergantungan, tetapi dari kebijakan yang memberi mereka pilihan. Jika pemerintah menutup pintu persaingan, maka pemerintah ikut menutup pintu kesejahteraan itu sendiri,” tegasnya.

LSM KOMPAK mendesak Pemkab Abdya untuk meninjau ulang kebijakan tersebut dan membuka ruang diskusi publik agar seluruh keputusan menyangkut hajat hidup petani sawit dilakukan secara transparan dan akuntabel. “Karena di daerah yang memiliki potensi besar seperti Abdya, kesejahteraan seharusnya menjadi milik semuabukan hanya milik satu pihak,”pungkasnya.

(Samsul Daeng Pasomba.PPWI/Tim)