MabesNews.com, Simpang Nella, Bangko Pusako (Rohil) – Keluhan warga pemilik kebun sawit di wilayah Simpang Nella, Kecamatan Bangko Pusako, Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Provinsi Riau, terus mengemuka setelah akses jalan utama menuju kebun terputus selama satu bulan. Jalan yang rusak parah dan tidak dapat dilalui tersebut diduga akibat aktivitas operasional PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), anak usaha PT Pertamina (Persero) yang bergerak di sektor migas. Namun, perusahaan dinilai apatis menangani keluhan ini, memicu protes keras dari masyarakat.
Arjuna Sitepu, Kepala Divisi Pengawasan dan Pencegahan Yayasan Dewan Perwakilan Pusat Komisi Pengawasan Korupsi (YDP-KPK), angkat bicara menyoroti kelalaian PT PHR. Dalam pernyataannya, Arjuna menegaskan bahwa perusahaan memiliki kewajiban hukum untuk memastikan keberlangsungan infrastruktur publik di sekitar wilayah operasinya. “PT PHR tidak boleh abai terhadap dampak operasionalnya. Sampaikannya kepada media ini, Selasa, Pukul: 09:00 (04/02/2025)
Lebih lanjut dia menegaskan, kerusakan jalan yang mengganggu akses ekonomi warga adalah bentuk pelanggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) yang diatur undang-undang.
Hak Masyarakat dan Kewajiban PT PHR.
Masyarakat memiliki hak dasar yang dilindungi hukum, termasuk hak atas lingkungan yang sehat dan akses terhadap infrastruktur publik. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 65 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain itu, Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) mewajibkan perusahaan untuk menjalankan TJSL, termasuk pemeliharaan infrastruktur yang terdampak operasional mereka.
Arjuna menambahkan, PT PHR sebagai perusahaan migas juga terikat dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang mewajibkan perusahaan untuk memprioritaskan mitigasi dampak lingkungan dan sosial.
“Perusahaan wajib melakukan pemeliharaan jalan, memberikan ganti rugi jika diperlukan, dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memastikan hak masyarakat terpenuhi,” ujarnya.
Sanksi Hukum Mengintai PT PHR.
Jika PT PHR terbukti mengabaikan kewajibannya, sejumlah sanksi hukum dapat diterapkan, diantaranya:
Berdasarkan UU No. 32/2009, perusahaan yang menyebabkan kerusakan lingkungan dapat dikenai denda hingga Rp10 miliar, pencabutan izin usaha, atau perintah pemulihan lingkungan.
Selain itu, Pasal 359 KUHP mengancam pidana penjara maksimal 5 tahun bagi pihak yang lalai menjaga keselamatan umum.
Arjuna juga mengingatkan potensi sanksi administratif dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), seperti penundaan atau pembatasan kegiatan operasional.
“Masyarakat bisa melaporkan ke Ombudsman atau menggugat secara perdata untuk meminta ganti rugi materiil dan immateriil,” jelasnya.
Dampak Kerusakan Jalan terhadap Warga.
Sejak jalan rusak, puluhan pemilik kebun sawit di Simpang Nella kesulitan mengangkut hasil panen.
Salah satu warga, Bunga Pajar Simanjuntak, anggota Polisi aktif dari kesatuan jajaran Polres Rokan Hilir, mengaku merugi hingga puluhan juta rupiah.
“Kami tidak bisa menjual sawit karena truk pengangkut tidak bisa masuk. PT PHR hanya berjanji, tapi tidak ada tindakan nyata,” keluhnya.
Kepala Desa Simpang Nella, Rudi Syafrizal, mengonfirmasi bahwa surat protes resmi telah diajukan ke PT PHR dan pemerintah daerah, tetapi belum ada respons konkret. “Kami minta perusahaan segera memperbaiki jalan atau memberikan kompensasi,” tegasnya.
Tanggapan PT PHR
Hingga berita ini diturunkan, PT PHR belum memberikan pernyataan resmi. Upaya media untuk memverifikasi keluhan warga juga belum dibalas. Sikap ini semakin menguatkan tudingan masyarakat soal sikap apatis perusahaan.
Arjuna Sitepu mendesak pemerintah daerah dan Kementerian ESDM turun tangan mengawal penyelesaian masalah.
“Jika PT PHR terus mengabaikan kewajiban, langkah hukum harus ditempuh. Jangan sampai masyarakat menjadi korban ketidakpedulian perusahaan,” pungkasnya.
Panggilan untuk Aksi Kolektif.
Insiden ini mengingatkan pentingnya pengawasan ketat terhadap perusahaan yang beroperasi di wilayah sensitif. Masyarakat didorong melaporkan pelanggaran ke lembaga berwenang, sementara pemerintah diminta memperkuat regulasi untuk memastikan korporasi tidak mengabaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan, jelas Arjuna.
Tanpa perbaikan segera, kerugian ekonomi dan kerusakan hubungan antara PT PHR dengan warga akan semakin meluas, mengancam stabilitas sosial di Bangko Pusako, tutupnya.