KPA: Pemerintah Aceh Jangan Hanya Gemar Membentang Karpet Merah untuk Korporasi Tambang, dan Membiarkan Jalan Berdebu untuk Rakyat

Pemerintah52 views

Mabesnews.com,-Banda Aceh – Kaukus Peduli Aceh (KPA) menyoroti sikap Pemerintah Aceh yang dinilai terlalu berpihak pada kepentingan korporasi pertambangan, sementara rakyat justru terus dipinggirkan. Investasi yang sehat memang dibutuhkan, namun bukan berarti rakyat harus menjadi korban di tanahnya sendiri.

Koordinator KPA, Muhammad Hasbar Kuba, menyatakan bahwa selama ini Pemerintah Aceh terlalu mudah memberi izin dan fasilitas kepada perusahaan-perusahaan tambang besar atau korporasi tambang, sementara penambang rakyat diabaikan, bahkan kerap dikriminalisasi. “Pemerintah Aceh terlalu gemar menggulirkan karpet merah untuk korporasi, tapi membiarkan jalan berdebu dilalui oleh rakyat,” ungkap Hasbar, Senin 4 Agustus 2025.

 

Hasbar mencontohkan konflik tambang PT. LMR di Nagan Raya, dimana masyarakat adat dan petani setempat terancam kehilangan ruang hidup akibat aktivitas tambang yang mendapat restu dari pemerintah. Penolakan warga tak digubris, bahkan beberapa warga menghadapi intimidasi hukum. Belum lagi, kejadian PT PSU di Aceh Selatan dan berbagai tragedi lainnya yang terjadi di berbagai daerah di Aceh.

 

Lanjut Hasbar, di banyak daerah di Aceh seperti Aceh Selatan, Pidie, Nagan Raya, Aceh Jaya, Aceh Tengah dan Aceh Barat, penambang rakyat terus-menerus dicap ilegal hanya karena Pemerintah Aceh belum menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagaimana amanah dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 (UU Minerba) dan UU Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA). Padahal kedua aturan tersebut memberi Pemerintah Aceh kewenangan penuh untuk mengatur sumber daya alam secara adil dan berpihak pada masyarakat.

 

KPA mendesak Muzakir Manaf (Mualem) sebagai pemimpin Aceh saat ini, untuk menunda dulu sementara pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan hingga Qanun Pertambangan Rakyat disahkan dan penetapan WPR dilakukan. Pengelolaan Pertambangan rakyat secara konkret dan legal sangat penting agar rakyat tidak terus-terusan menjadi korban hukum dan eksploitasi.”Jika SKPA tidak berpihak kepada rakyat, dan sengaja memperlambat WPR dan begitu gemar mengobral WIUP kepada korporasi, maka kita berharap Mualem harus bertindak tegas. Jangan segan-segan copot pejabat SKPA tersebut,” ucapnya.

 

Pihaknya berharap Mualem sebagai panglima rakyat Aceh berani bersikap, menahan dulu seluruh IUP korporasi untuk sementara, hingga Qanun Pertambangan Rakyat disahkan, jika IUP terus diobral maka ketika tambang rakyat disahkan, wilayah untuk pertambangan rakyat akan sangat minim dan konflik antara masyarakat dan perusahaan pertambangan semakin sulit dihindari di lapangan. “Realitanya selama ini pemerintah Aceh lebih fokus memfasilitasi Wilayah Izin Usaha Pertambangan(WIUP) bagi korporasi, dan membiarkan WPR hanya sebatas wacana pelipur lara,” sebut Hasbar.

 

Selain menyegerakan pengesahan qanun pertambangan rakyat, lanjut Hasbar, Pemerintah Aceh juga harus segera menetapkan peta WPR, untuk daerah-daerah yang selama ini diisi penambang rakyat. Mualem bisa membentuk tim khusus berkaitan dengan pengelolaan tambang, melibatkan unsur sipil dan masyarakat adat.

 

KPA juga memperingatkan bahwa jangan sampai kekhususan Aceh yang diamanatkan UUPA bernasib sama seperti dana otonomi khusus (Otsus) yang gagal mensejahterakan rakyat meskipun telah menelan ratusan triliun rupiah. “Jangan ulangi kesalahan yang sama. Jangan lagi rakyat Aceh hanya mendengar janji. Ini momentum terakhir untuk membuktikan bahwa pemerintah Aceh berpihak, bukan menjauh,” tegasnya.

 

Hasbar mengatakan, Presiden Prabowo selama ini telah berulang kali menegaskan bahwa pengelolaan SDA harus berpihak pada rakyat. Tentunya Mualem sebagai sahabat dekat Prabowo diharapkan dapat menjadikan kekhususan Aceh sebagai alat memperkuat ekonomi rakyat, bukan sebagai pajangan politik belaka.

 

“Rakyat Aceh tidak minta belas kasihan. Mereka hanya ingin diberi ruang yang sah dan legal untuk mengelola tanah dan sumber dayanya sendiri. Jangan sampai, Mualem yang dulu jadi simbol perjuangan Aceh, hari ini justru diam ketika rakyat terinjak demi investasi yang belum tentu membawa berkah kepada rakyat,” pungkasnya.

 

(Samsul Daeng Pasomba)