“Konstruksi Kekuasaan dan Nilai Nasionalisme dalam Pidato Presiden Prabowo Subianto: Tinjauan Analisis Wacana Kritis dan Implikasinya terhadap Literasi Bahasa Indonesia”

Pemerintah26 views

Mabesnews.com, Bahasa memiliki kekuatan besar dalam membentuk cara berpikir, menanamkan nilai, serta memengaruhi perilaku masyarakat. Dalam konteks kepemimpinan nasional, pidato presiden bukan sekadar sarana komunikasi politik, melainkan juga instrumen ideologis untuk membangun kesadaran kolektif bangsa. Melalui pilihan kata, struktur kalimat, dan strategi retorika, seorang pemimpin dapat menegaskan visi, identitas, dan arah kebijakan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, analisis wacana kritis menjadi pendekatan penting dalam menyingkap bagaimana bahasa digunakan untuk membangun kekuasaan dan makna sosial dalam pidato kenegaraan.

 

Pendekatan analisis wacana kritis (AWK) yang dikembangkan oleh Norman Fairclough memberikan landasan teoritis yang kokoh untuk memahami hubungan antara bahasa, ideologi, dan struktur sosial. Menurut Fairclough, setiap wacana memiliki tiga lapisan utama, yaitu teks, praktik wacana, dan praktik sosial budaya. Dalam pidato Presiden Prabowo Subianto, ketiga lapisan tersebut tampak jelas melalui cara beliau mengonstruksi citra kepemimpinan yang tegas, berwibawa, dan berorientasi pada kemandirian bangsa. Bahasa yang digunakan tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga persuasif dan simbolik, mencerminkan nilai nasionalisme dan semangat kebangsaan.

 

Pilihan diksi seperti “kemandirian,” “kebangkitan,” dan “keadilan” bukan sekadar hiasan retorika, melainkan representasi ideologis yang menegaskan komitmen terhadap kedaulatan nasional. Gaya tutur yang lugas dan struktur kalimat yang kuat menunjukkan strategi komunikasi yang berfungsi membangun legitimasi moral di hadapan rakyat. Melalui bahasa, presiden tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga membentuk realitas sosial-politik tentang arah baru pemerintahan dan harapan masa depan bangsa.

 

Dalam konteks pembelajaran Bahasa Indonesia, kajian terhadap pidato kenegaraan seperti ini memiliki nilai pedagogis yang tinggi. Guru dan mahasiswa bahasa perlu memahami bahwa bahasa bukanlah entitas yang netral, melainkan cerminan dari ideologi, budaya, dan relasi kekuasaan. Melalui analisis wacana kritis, peserta didik dapat dilatih untuk membaca teks secara mendalam dan menafsirkan makna yang tersembunyi di balik pilihan bahasa. Proses ini akan melahirkan kemampuan literasi kritis, yakni kemampuan memahami dan mengevaluasi teks berdasarkan konteks sosial, politik, dan budaya yang melingkupinya.

 

Penerapan analisis wacana kritis dalam pendidikan bahasa juga mendukung pengembangan kemampuan berpikir reflektif dan argumentatif. Siswa belajar bahwa setiap teks memiliki kepentingan tertentu dan tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial pengarang atau penuturnya. Dengan demikian, pembelajaran Bahasa Indonesia tidak lagi hanya berfokus pada tata bahasa dan penulisan yang benar, tetapi juga pada pengembangan kesadaran kritis terhadap penggunaan bahasa dalam kehidupan nyata.

 

Melalui kajian ini, terlihat bahwa bahasa memiliki kekuatan untuk menggerakkan masyarakat, membentuk opini publik, dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Oleh sebab itu, analisis wacana kritis terhadap pidato Presiden Prabowo Subianto bukan hanya relevan bagi studi linguistik dan komunikasi politik, tetapi juga memiliki implikasi luas dalam membangun pendidikan bahasa yang berorientasi pada nilai, kesadaran sosial, dan kebangsaan.

 

Dengan demikian, penelitian berjudul “Konstruksi Kekuasaan dan Nilai Nasionalisme dalam Pidato Presiden Prabowo Subianto: Tinjauan Analisis Wacana Kritis dan Implikasinya terhadap Literasi Bahasa Indonesia” memberikan kontribusi penting terhadap pengembangan ilmu linguistik kritis di Indonesia. Bahasa tidak sekadar alat komunikasi, tetapi juga wahana pembentuk identitas nasional, kesadaran ideologis, dan karakter bangsa. (Nursalim Turatea).