MabesNews.com, Rokan Hilir – Hasil investigasi yang dilakukan oleh Arjuna Sitepu, Kepala Divisi (Kadiv) Pengawasan dan Pencegahan Yayasan Dewan Perwakilan Pusat Komisi Pengawasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi (DPP KPK TIPIKOR), mengungkap praktik korupsi dan perdagangan kayu olahan ilegal yang marak terjadi di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Investigasi ini menyoroti 5 wilayah Kecamatan di Kabupaten Rokan Hilir yang menjadi pusat aktivitas penjualan kayu tanpa izin resmi dari instansi terkait.
Temuan ini mengejutkan publik dan menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas sistem pengawasan kehutanan dan perpajakan di daerah tersebut.
Penjualan dan pembelian kayu ilegal (illegal logging) merupakan tindakan yang melanggar hukum di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, tindakan illegal logging dapat dikenakan sanksi pidana. Pasal 82 hingga Pasal 106 dalam undang-undang tersebut mengatur sanksi pidana bagi pelaku illegal.
Jadi, meskipun penjualan dan pembelian kayu ilegal pada dasarnya merupakan tindak pidana kehutanan, dalam kasus tertentu, tindakan ini juga dapat masuk dalam ranah tindak pidana korupsi jika melibatkan penyalahgunaan wewenang atau merugikan keuangan negara.
Penjualan dan pembelian kayu ilegal dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi jika melibatkan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik atau merugikan keuangan negara. Misalnya, jika ada pejabat yang menerima suap untuk mempermudah proses penebangan atau pengangkutan kayu ilegal, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai tindak pidana, tegas Sitepu.
Temuan Investigasi: Korupsi dan Perdagangan Kayu Ilegal.
Arjuna Sitepu menjelaskan bahwa investigasi yang dilakukan selama tuga bulan terakhir, khususnya di 5 Kecamatan di Kabupaten Rokan Hilir, menemukan bukti kuat adanya praktik korupsi yang diduga melibatkan oknum pejabat daerah dan pelaku usaha kayu. Para penjual kayu ilegal di Kabupaten Rokan Hilir di duga ada (empat orang red), diduga melakukan kolusi dengan oknum aparat untuk mengeluarkan izin palsu atau memfasilitasi perdagangan kayu tanpa dokumen resmi.
Selain itu, ditemukan pula praktik penghindaran pajak yang menyebabkan kerugian negara, diduga mencapai miliaran rupiah.
“Kami menemukan bahwa banyak panglong-panglong kayu di Rokan Hilir beroperasi tanpa izin resmi. Kayu-kayu tersebut dijual secara ilegal, dan transaksinya tidak dilaporkan kepada otoritas pajak. Ini adalah bentuk kejahatan terorganisir yang merugikan negara dan merusak lingkungan,” tegas Arjuna Sitepu dalam press release tertulisnya kepada media ini. Kamis, (06/03/2025).
Sanksi Tindak Pidana Korupsi dan Penghindaran Pajak.
Menurut Arjuna, para pelaku yang terlibat dalam praktik korupsi dan penghindaran pajak dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sanksi yang dapat dijatuhkan berupa pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda hingga Rp1 miliar. Selain itu, pelaku juga wajib membayar kerugian negara yang timbul akibat tindak pidana tersebut, jelasnya.
“Bagi para pelaku usaha yang sengaja tidak membayar pajak, mereka dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Sanksinya berupa pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda hingga 4 kali jumlah pajak yang tidak dibayar,” tambah Arjuna.
Sanksi bagi Pembeli dan Penjual Kayu Tanpa IzinSelain sanksi korupsi dan pajak, Arjuna juga menegaskan bahwa pembeli dan penjual kayu olahan yang tidak dilengkapi izin atau dokumen resmi dari instansi terkait dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Sanksi tersebut meliputi pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar.
“Kami akan menindak tegas siapa pun yang terlibat dalam perdagangan kayu ilegal, baik penjual maupun pembeli. Ini adalah upaya untuk melindungi hutan kita dan memastikan bahwa setiap transaksi kayu dilakukan secara transparan dan legal,” terang Sitepu.
Dampak Lingkungan dan Ekonomi
Praktik perdagangan kayu ilegal ini tidak hanya merugikan negara dari segi pendapatan pajak, tetapi juga menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah. Deforestasi yang terjadi di Rokan Hilir telah mengancam ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati di wilayah tersebut, ungkapnya.
Selain itu, aktivitas ilegal ini juga merugikan pelaku usaha kayu yang telah mematuhi aturan dan membayar pajak secara transparan.
Tindak Lanjut dan Upaya Pencegahan.
Arjuna Sitepu menyatakan bahwa timnya akan terus bekerja sama dengan aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian dan Kejaksaan, untuk menindaklanjuti temuan ini. Selain itu, DPP KPK TIPIKOR juga akan mengusulkan pembentukan satuan tugas khusus untuk mengawasi aktivitas perdagangan kayu di Rokan Hilir.
“Kami akan memperkuat pengawasan dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya mematuhi aturan dalam perdagangan kayu. Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan transparansi dalam penerbitan izin pengelolaan kayu,” ujar Arjuna.
Respons Masyarakat dan Pelaku Usaha.
Respons masyarakat terhadap temuan ini beragam. Sebagian warga menyambut baik upaya pemberantasan korupsi dan perdagangan kayu ilegal, sementara lainnya khawatir akan dampak ekonomi bagi para pekerja di panglong-panglong kayu. Seorang pelaku usaha kayu yang enggan disebutkan namanya mengaku bahwa praktik ilegal ini terjadi karena rumitnya proses perizinan dan tingginya biaya yang harus dikeluarkan.
“Kami ingin berbisnis secara legal, tetapi prosesnya sangat sulit dan mahal. Pemerintah perlu mempermudah perizinan agar kami tidak terjebak dalam praktik ilegal,” ucapnya.
Telah dihubungi ke Kapolres di nomor 08128922xxxx untuk konfirmasi terkait kasus ini, namun tidak di jawab, hingga berita ini diterbitkan.
Investigasi yang dilakukan oleh Arjuna Sitepu dan tim DPP KPK TIPIKOR ini menjadi bukti nyata bahwa praktik korupsi dan perdagangan kayu ilegal masih marak terjadi di Indonesia. Upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk memastikan bahwa sumber daya alam Indonesia dikelola secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Masyarakat juga diharapkan dapat berperan aktif dalam melaporkan praktik-praktik ilegal yang merugikan negara dan lingkungan, tutupnya. (Tim)







