Ketika Suara Rakyat Tak Lagi Didengar: Kepulauan Riau dalam Bayang-Bayang Kuasa Pusat

Pemerintah263 views

MabesNews.com, Tanjungpinang mabesnews.com – Ketegangan sosial politik di Kepulauan Riau (Kepri) semakin terasa di tengah isu ekspansi kewenangan BP Batam, pencaplokan 124 pulau, dan proyek Rempang yang sarat kepentingan. Perlahan namun pasti, harapan masyarakat Kepri terhadap keberpihakan pemimpin formal mulai memudar. Ketika rakyat bersuara dari pesisir hingga gedung-gedung parlemen, yang mereka dapati hanyalah sikap tunduk para elit kepada keputusan pusat.

Sebagian besar elite politik Kepri tampaknya mulai lupa sejarah. Mereka lupa bagaimana dulu Kepri diperjuangkan menjadi provinsi tersendiri, berangkat dari semangat membela kepentingan rakyat pulau, bukan sekadar menjadi perpanjangan tangan Jakarta. Ketika harapan terhadap pemimpin formal makin sirna, masyarakat mulai melirik arah baru, yaitu kekuatan sipil.

Kekuasaan tanpa akar sosial akan rapuh. BP Batam hari ini seperti VOC, kuat secara legalitas, lemah secara legitimasi moral, kata Dr. Ahmad Burhanuddin, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas.

Di tengah kebisuan pemimpin formal, masyarakat sipil, tokoh adat, dan akademisi mulai berbicara lebih lantang. Mereka menyadari, pembelaan terhadap hak tanah, ruang hidup, dan masa depan pulau-pulau Kepri tidak lagi mungkin digantungkan pada birokrasi. Salah satu figur yang kerap disebut sebagai jalan alternatif adalah Ismeth Abdullah, mantan Ketua Otorita Batam yang kini duduk di DPD RI. Ismeth dianggap memahami seluk-beluk kewenangan BP Batam, filosofi awal BJ Habibie, dan potensi penyimpangan kekuasaan hari ini.

 

Namun, publik bertanya, apa bedanya BP Batam hari ini dengan VOC masa lalu? Sama-sama entitas di luar struktur pemerintahan lokal, sama-sama menentukan hidup mati rakyat, dan sama-sama mengusung logika korporasi.

Padahal, Presiden Prabowo Subianto pernah menyatakan mencabut status PSN (Proyek Strategis Nasional) Rempang, menegaskan agar Indonesia tak terus-menerus menjadi sapi perahan Singapura. Namun kenyataannya, proyek tetap berjalan lewat perpanjangan tangan pusat seperti Menteri ATR/BPN dan aktor-aktor politik lokal yang sekadar mengekor.

Kondisi ini bisa disebut persekongkolan diam antara pusat dan daerah. Daerah tidak membantah bukan karena setuju, tapi karena bergantung, ujar Prof. Irwansyah, Guru Besar Politik Perbatasan Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).

Di tingkat akar rumput, masyarakat justru disuguhi kepasrahan pemimpin mereka. Kepala daerah dan DPRD lebih sibuk menimbang restu partai ketimbang suara rakyat yang memilih mereka. Contoh paling gamblang terlihat dari sikap Menko Airlangga Hartarto dan Bahlil Lahadalia yang ngotot mendorong proyek Rempang meski penolakan rakyat sudah terang-terangan.

Kalau dibandingkan, keberanian Gubernur Aceh membela rakyat jauh di atas Gubernur Kepri yang memilih diam, ujar seorang akademisi di Tanjungpinang.

Masalah Kepri bukan sekadar soal proyek. Ini soal pola pikir. Sentralisme kekuasaan masih mengakar di benak sebagian elit Kepri. Mereka menganggap keputusan pusat adalah sabda mutlak. Di hadapan rakyat mereka berkata, kalau itu sudah keputusan pusat, kita harus ikut. Sikap semacam ini mencerminkan mentalitas administratif kolonial yang belum sepenuhnya hilang.

Tak heran, ketika BP Batam melempar wacana pengelolaan 124 pulau, hampir tak terdengar suara penolakan dari para pejabat lokal. Padahal, ini menyangkut kedaulatan, hak ulayat, dan masa depan generasi pulau-pulau kecil.

Ironisnya, para pemimpin Kepri pun tampak lupa sejarah. Sejak 2002 hingga hari ini, tak ada satu pun kepala daerah yang menunjukkan kepedulian terhadap Proposal Seminar 14 Agustus 1999, dokumen penting yang dahulu menjadi rujukan pembentukan Kepri tanpa membebani rakyat sepeser pun. Bahkan lembaga riset ILGOS, yang menyusun peta tata ruang dan arah pembangunan berbasis pulau, tak pernah lagi dilibatkan.

Bagaimana mereka mau membela rakyat kalau sejarah provinsi ini saja tak mereka pahami, sindir Dr. Zulfan Arif, peneliti sosial politik Kepulauan.

Kepri bukan sekadar gugusan pulau. Ia adalah gugusan harapan, sejarah perlawanan, dan tekad untuk mandiri. Namun jika pemimpin formal lebih tunduk pada pusat daripada pada rakyatnya, maka masyarakat sipil harus mengambil peran.

Kini saatnya membuka jalan baru melalui konsolidasi kekuatan adat, riset independen, media yang kritis, dan gerakan akar rumput. Sebab, harapan bukan lagi di pundak birokrasi yang tunduk, melainkan di hati nurani masyarakat yang mulai bangkit.

Kepri tak akan pernah merdeka secara sosial dan politik jika terus berharap pada pemimpin yang hanya pandai membungkuk. Masa depan Kepri ada di tangan rakyatnya sendiri.(redaksi).