Ketika Akar Kita Mulai Lepas dari Tanahnya

Pemerintah49 views

Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

 

Mabesnews.com,-Sejarah bagi sebuah bangsa ibarat akar bagi sebatang pohon. Selama akar itu menancap kuat, pohon akan tegak meski dihantam angin dari mana pun. Tetapi jika akar mulai rapuh, maka pohon perlahan condong, goyah, dan akhirnya tumbang tanpa sempat kita sadari. Indonesia hari ini hidup dalam situasi yang mengkhawatirkan, dimana akar sejarah dan identitasnya perlahan tercabut dari tanah tempat ia tumbuh.

 

Dalam pandangan Islam, sejarah bukan sekadar cerita masa silam. Ia adalah pelajaran, peringatan, dan tanda-tanda kekuasaan Allah agar manusia tidak tersesat. “Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang yang berakal,” begitu pesan Al-Qur’an. Prinsip ini sejatinya telah lama menjadi pedoman masyarakat Nusantara, termasuk Aceh yang sejak berabad-abad memadukan agama, adat, dan sejarah sebagai fondasi kehidupan bersama. Namun kini, di tengah derasnya arus globalisasi, kita justru seperti kehilangan arah. Nilai-nilai yang selama ini menjadi napas budaya mulai memudar, sementara standar baru yang belum tentu sesuai dengan jati diri bangsa justru dijadikan acuan.

 

Tidak jarang kita menyaksikan betapa sejarah direduksi sekadar upacara tahunan, bukan kesadaran yang mengalir dalam tindakan. Politik melangkah tanpa pedoman moral yang jelas, sementara kepentingan kelompok lebih sering mengalahkan kepentingan negara. Kita menyaksikan bagaimana sebagian elite negeri mudah meninggalkan prinsip kebangsaan demi keuntungan sesaat, seolah bangsa ini tidak memiliki martabat yang harus dijaga. Sikap seperti ini membuat publik semakin ragu, “Kemana sesungguhnya bangsa ini hendak menuju?”

 

Padahal jika menengok sejarah, Indonesia bukan bangsa kecil yang mudah diombang-ambingkan. Pertempuran Surabaya 1945 menjadi contoh keberanian rakyat terhadap kekuatan internasional pasca Perang Dunia II. Di lautan Nusantara, para leluhur kita pernah membangun kapal-kapal raksasa yang membuat bangsa Eropa tercengang. Dalam dunia pendidikan, anak-anak Indonesia sejak puluhan tahun lalu tidak pernah absen menorehkan prestasi sains tingkat dunia. Bahkan jejak peradaban kuno yang terpahat pada Borobudur hingga temuan arkeologis di Gunung Padang menegaskan bahwa wilayah ini pernah menjadi pusat budaya dan ilmu pengetahuan.

 

Semua itu mestinya membuat kita percaya diri, bukan justru minder di tengah bangsa lain. Tetapi keyakinan itu goyah ketika identitas tidak lagi dipegang teguh. Ketika politik tidak lagi menimbang kepentingan nasional, ketika keputusan-keputusan negara tidak berpijak pada sejarah, dan ketika publik dibuat sibuk oleh hal-hal remeh sehingga melupakan persoalan besar yang mengintai bangsa.

 

Bukan rahasia lagi bahwa sistem politik sering kali lebih berpihak pada modal daripada pada moral. Korupsi masih mencederai sendi-sendi negara. Kebijakan publik sering diwarnai transaksi, bukan visi jangka panjang. Keadaan seperti ini bukan hanya gejala politik, tetapi gejala hilangnya kesadaran sejarah. Bangsa yang melupakan jati dirinya akan mudah diarahkan oleh kepentingan luar, bahkan oleh ambisi elite dalam negeri sendiri.

 

Namun bukan berarti kita tidak memiliki peluang untuk bangkit. Sejarah selalu menyediakan celah bagi bangsa yang mau belajar dan jujur melihat dirinya. Membangkitkan kembali kesadaran sejarah bukan hanya tugas pemerintah, ia adalah tugas setiap warga negara. Kita perlu menegakkan kembali nilai yang telah diwariskan para pendahulu berupa kejujuran, keberanian, harga diri, dan budi pekerti. Nilai-nilai inilah yang membuat bangsa ini bertahan melampaui berbagai badai zaman.

 

Bangsa yang kuat bukan bangsa yang paling kaya, tetapi bangsa yang paling teguh pada akar budayanya. Kita boleh menerima modernitas, tetapi jangan sampai tercerabut dari tanah kita sendiri. Kita boleh membuka diri pada dunia, tetapi bukan berarti menyerahkan harga diri dan masa depan pada kekuatan asing atau kepentingan elite sesaat. Kita boleh hidup di zaman serba cepat, tetapi tetap harus menelusuri jejak masa lalu agar tidak tersesat di jalan yang kita pilih sendiri.

 

Pada akhirnya, pertanyaan yang harus kita ajukan sangat sederhana, apakah kita masih mengenali diri kita sebagai bangsa? Atau kita kini sedang berjalan di atas fondasi yang telah diretas, sementara akar kita perlahan kehilangan tanahnya?

 

Sejarah memberikan jawabannya dengan jelas, bahwa bangsa yang tidak menjaga identitasnya akan hilang sebelum runtuh. Sudah saatnya kita kembali merawat akar itu, sebelum pohon besar bernama Indonesia benar-benar tumbang.

 

(Samsul Daeng Pasomba.PPWI/Tim)