Kepulauan Riau Berselawat Tercoreng: Tenda Dagang di Halaman Gedung Daerah Ungkap Rapuhnya Tata Kelola Ruang Publik dan Pembinaan UMKM

Pemerintah263 views

Mabesnews.com-Tanjungpinang — Gelaran Kepulauan Riau Berselawat yang seharusnya menjadi ruang religius penuh ketenangan justru menguak kisruh tata kelola ruang publik dan lemahnya integritas kebijakan UMKM di tingkat provinsi. Halaman Gedung Daerah—ruang kenegaraan yang selama ini steril dari aktivitas dagang—mendadak dipenuhi tenda kuliner dadakan, memicu kemarahan pedagang binaan dan perhatian serius para ahli tata ruang, sejarawan, hingga pengamat kebijakan ekonomi kerakyatan.

Kisruh bermula saat tenda-tenda yang awalnya disiapkan untuk kegiatan di Jalan Merdeka selama tiga hari tiba-tiba dialihkan ke halaman Gedung Daerah. Alasan yang dikemukakan adalah sepinya pengunjung dan padatnya agenda di Tugu Sirih. Namun bagi para pelaku UMKM Zona C Taman Gurindam 12—yang selama ini taat mengikuti mekanisme pembinaan—pergeseran lokasi itu terlalu janggal, dan dianggap sarat kepentingan terselubung.

Di lapangan, aktivitas dalam tenda berjalan dengan sistem kupon, menyerupai bazar komersial yang dikondisikan secara rapi. Penyelenggaraan yang tidak transparan ini menimbulkan kecurigaan bahwa momen keagamaan telah dipelintir menjadi ruang mengeruk keuntungan oleh oknum tertentu yang memanfaatkan celah administratif.

Ketua Perkumpulan UMKM Gurindam 12, Zulkifli Riawan, menegaskan bahwa persoalan ini bukan hanya soal pelanggaran tata ruang, tetapi juga soal marwah, keadilan, dan konsistensi kebijakan pemerintah. “Kami ini UMKM binaan yang taat aturan. Kami jaga pola, jaga tertib, tetapi jangan nodai kami dengan pedagang yang mengaku-mengaku berizin dari pemerintah. Jika benar ada oknum yang bermain, harus ada sanksi yang tegas,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa janji pembinaan UMKM akan menjadi slogan kosong jika praktik seperti ini dibiarkan, dan ketidakadilan semacam ini berpotensi merusak hubungan baik antara pemerintah dan pelaku usaha kecil.

Dari perspektif sejarah, penggunaan halaman Gedung Daerah sebagai arena dagang dinilai mencederai simbol identitas Kepri. Sejarawan lokal menyebut langkah itu sebagai bukti “rapuhnya penghormatan terhadap warisan institusional,” mengingat Gedung Daerah telah berdiri sebagai simbol kehormatan pemerintahan sejak awal pembentukan provinsi. “Menjadikan halaman gedung ini arena bazar adalah bentuk disorientasi tata kelola,” ujarnya.

 

Sikap kritis juga datang dari antropolog budaya Melayu, Sri Wulandari, M.A. Ia menilai bahwa pemerintah gagal menjaga konsistensi tata ruang budaya. Taman Gurindam 12 dibangun sebagai ruang UMKM resmi yang terstruktur dan diawasi dengan regulasi ketat. Ketika pedagang luar muncul tanpa mekanisme yang jelas dan justru berada di ruang kenegaraan, maka persoalannya bukan lagi teknis, melainkan pelabrakan terhadap sistem pembinaan yang telah dibangun. “Ini mempermalukan regulasi pemerintah sendiri,” katanya.

Sumber internal yang meminta identitasnya dirahasiakan menyebut bahwa pola yang terjadi bukanlah insidental. Penataan tenda, alur transaksi, hingga penempatan lokasi terkesan terlalu matang untuk sesuatu yang disebut “pemindahan dadakan.” Ia menilai bahwa ada pihak yang memanfaatkan padatnya agenda dan kurangnya pengawasan untuk meloloskan kepentingan komersial pribadi.

 

Pengamat tata kelola UMKM menilai insiden ini mencerminkan lemahnya koordinasi antarinstansi serta ketidaksiapan panitia. Menurutnya, jika sebuah kegiatan pemerintah membutuhkan dukungan kuliner, maka prioritas jelas harus diberikan kepada pedagang binaan yang memiliki legalitas dan rekam jejak. Memberi panggung kepada pedagang tak resmi berarti merusak ekosistem UMKM dan mengundang konflik horizontal antarpelaku usaha. Ia juga menekankan bahwa Gedung Daerah bukan ruang komersial dan penggunaannya harus mengikuti etika ruang kenegaraan yang ketat.

Dalam konteks pengawasan, pengamat tata ruang publik Ir. Rendy Mulyadi menyebut kasus ini sebagai indikator lemahnya integritas dan disiplin pada tingkat operasional. “Panitia dan petugas lapangan seperti Satpol PP seharusnya memiliki kontrol penuh. Kalau mereka tidak tahu, berarti ada masalah koordinasi. Kalau mereka tahu tetapi membiarkan, ini masalah integritas. Keduanya sama-sama merusak wibawa pemerintah,” ujar Rendy.

 

Para ahli dan pemerhati kebijakan publik sepakat bahwa insiden Kepulauan Riau Berselawat ini harus menjadi alarm keras bagi Pemerintah Provinsi Kepri. Tata kelola ruang publik, terutama yang mengandung nilai simbolik dan historis, tidak boleh dikorbankan demi kepentingan sesaat. Begitu pula pembinaan UMKM harus dijalankan secara konsisten, bukan hanya menjadi narasi seremonial yang mudah ditepis oknum.

 

Kegiatan yang seharusnya membawa keberkahan justru membuka luka pengelolaan. Jika pengabaian seperti ini terus dibiarkan, ruang-ruang budaya dan institusional Kepri akan kian rentan ditunggangi kepentingan pribadi. Gelaran Kepri Berselawat ini selayaknya menjadi titik balik—penegasan bahwa ruang kenegaraan, marwah pemerintahan, dan ekosistem UMKM tidak boleh diperlakukan sebagai arena bebas oleh oknum, melainkan harus dijaga sebagai amanah publik yang dijalankan dengan transparansi, disiplin, dan kehormatan penuh.

 

arf-6