Penulis : Sri Radjasa ( Pemerhati Intelijen)
Mabesnews.com,-Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengundang pertanyaan mendasar, yaitu sejauh mana arah baru negara ini terbentuk, dan sejauh mana warisan pemerintahan sebelumnya masih membayang? Pertanyaan yang sederhana, namun jawabannya membawa kita pada dinamika politik yang lebih kompleks dari sekadar pergantian kepemimpinan melalui pemilu.
Bagi sebagian pengamat, terutama mereka yang kritis terhadap pemerintahan sebelumnya, warisan Presiden Joko Widodo dianggap meninggalkan banyak persoalan struktural yang belum tersentuh. Pergantian kepemimpinan diharapkan menjadi momentum perbaikan. Namun dalam pandangan para pengkritik, tanda-tanda perubahan itu belum terlihat kuat pada tahun pertama pemerintahan Prabowo. Sebaliknya, mereka melihat kecenderungan pola kepemimpinan yang masih beririsan dengan pendekatan pendahulunya, baik dalam manajemen politik maupun dalam gaya pengambilan keputusan.
Program “Makan Bergizi Gratis” (MBG) menjadi salah satu sorotan. Meski ambisius dan populis, implementasinya dinilai sebagian kalangan sebagai masih jauh dari harapan. Kritik muncul ketika program besar ini dianggap membuka ruang baru bagi praktik rente dan belum menunjukkan efektivitas yang proporsional dengan anggaran yang digelontorkan. Bagi mereka yang menuntut perubahan, hal ini menjadi simbol bahwa agenda reformasi belum berjalan sesuai janji awal.
Dalam penegakan hukum, tuntutan publik terhadap penyelesaian kasus-kasus besar, mulai dari dugaan praktik koruptif di perusahaan negara hingga penyelidikan proyek strategis, belum menemukan momentum kuat. Berbagai suara kritis menilai pemerintah belum menunjukkan keberanian politik yang memadai untuk menuntaskan isu yang menjadi perhatian masyarakat luas. Tuduhan politisasi hukum, atau penanganan kasus yang dianggap tebang pilih oleh kelompok masyarakat tertentu, memperpanjang daftar pekerjaan rumah pemerintah.
Sebagai langkah manajerial, pemerintahan Prabowo kerap memilih pembentukan satuan tugas (satgas) untuk menjawab berbagai persoalan cepat. Dari perspektif efektivitas operasi, pola ini memang bisa memberikan respons instan. Namun kritik muncul ketika pendekatan itu dipandang mengikis fungsi lembaga yang memiliki mandat struktural, hingga menimbulkan kesan bahwa negara dikelola melalui mekanisme adhoc yang tidak menumbuhkan akuntabilitas jangka panjang.
Pada saat yang sama, dinamika politik internal pemerintahan tak lepas dari sorotan. Masuknya sejumlah figur dekat Presiden Jokowi ke dalam lingkaran strategis, seperti beberapa tokoh yang sebelumnya dikenal sebagai pendukung agenda politik Jokowi, memunculkan perdebatan. Para pengkritik mempertanyakan komitmen Presiden Prabowo untuk membangun pemerintahan yang benar-benar otonom dari bayang-bayang pendahulunya. Bahkan keberadaan menteri-menteri yang dinilai publik sebagai bagian dari persoalan tata kelola pemerintahan, tetapi tetap dipertahankan, menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensi arah pembaruan yang dijanjikan.
Sementara itu, gelombang ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap praktik politik masa lalu terus membentuk opini oposisi publik. Ada yang menganggap persaingan politik menuju 2029 sebagai pertarungan dua pilihan yang sama-sama kurang ideal. Dalam pandangan kelompok ini, mendukung pemerintahan Prabowo kadang dimaknai bukan sebagai dukungan penuh, melainkan sebagai strategi untuk meredam potensi bangkitnya kembali dominasi kekuasaan lama.
Meski demikian, kekecewaan mulai muncul ketika tanda-tanda perubahan dianggap tak cukup kuat. Kecurigaan bahwa pemerintahan baru ini hanya melanjutkan pola kekuasaan sebelumnya menambah ketegangan psikologis antara harapan dan kenyataan. Dalam situasi demikian, publik menuntut pemimpin negara untuk tampil lebih jelas, tegas, dan visioner, bukan sekadar reaktif terhadap dinamika politik harian.
Menghadapi tekanan politik dan opini publik, Presiden Prabowo sesungguhnya memiliki ruang untuk mengubah persepsi. Penguatan komunikasi publik yang transparan, konsistensi dalam penegakan hukum, serta keberanian melakukan evaluasi terhadap kabinet dan aparatur hukum menjadi kunci untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat. Sepanjang langkah-langkah strategis ini belum diambil secara jelas, keraguan publik akan terus berkembang.
Di tengah hiruk pikuk ini, bangsa ini tidak kekurangan pengalaman untuk bangkit dari krisis kepemimpinan. Publik Indonesia telah berkali-kali membuktikan bahwa mereka bukan sekadar penonton dalam dinamika demokrasi. Tuntutan moral masyarakat, yang dalam sejarah sering bermuara pada tekanan politik luas, menjadi pengingat bahwa legitimasi kekuasaan pada akhirnya ditentukan oleh kepercayaan rakyat, bukan sekadar hasil kompetisi elektoral.
Narasi bahwa “pemerintah harus mendengar rakyat” bukan slogan kosong. Ia adalah fondasi etis penyelenggaraan negara. Bagi Prabowo, tantangan tahun pertama mungkin bisa diringkas sebagai ujian untuk menentukan arah: menjadi pemimpin yang berdiri di atas kaki sendiri, atau sekadar melanjutkan pola yang selama ini dikritik publik. Di persimpangan itulah kualitas kepemimpinan diuji, bukan oleh retorika, tetapi oleh keberanian mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan bangsa.
(Samsul Daeng Pasomba.PPWI/Tim)







