Kedaulatan yang Terbengkalai: Labuh Jangkar dan Laut Kepri yang Masih Jadi Penonton di Rumah Sendiri

Pemerintah99 views

Mabesnews.com-Batam — Di atas hamparan biru Laut Natuna dan Selat Malaka, kapal-kapal asing silih berganti menurunkan jangkar. Namun di balik pemandangan megah poros maritim dunia itu, ada ironi yang belum kunjung usai: Provinsi Kepulauan Riau belum juga mampu memetik hasil nyata dari lautnya sendiri.

Persoalan labuh jangkar—biaya dan kewenangan pemanfaatan ruang laut bagi kapal yang berlabuh di perairan Kepri—telah menjadi isu laten sejak 2015, pada masa almarhum Gubernur HM Sani. Sejak itu, perdebatan antara pemerintah daerah dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tak pernah benar-benar menemukan titik terang.

Meski kemudian dibentuk Badan Usaha Pelabuhan (BUP) sebagai bagian dari BUMD Provinsi Kepri untuk mengelola potensi strategis tersebut, realitasnya tak banyak berubah. Dari pergantian direksi ke direksi, dari rezim ke rezim, masalahnya tetap sama: tarik-menarik kewenangan antara daerah dan pusat, dan lemahnya posisi politik Kepri di hadapan regulasi nasional.

Tokoh Melayu Kepri, Megat Rurry Afriansyah yang dikenal sebagai pemerhati kebijakan daerah dan filantropis, menilai bahwa stagnasi ini mencerminkan kegagalan mendasar dalam menegakkan maritime governance di daerah kepulauan yang 98,7 persen wilayahnya laut.

“Selama satu dekade lebih, Kepri belum menunjukkan kedaulatan nyata di lautnya sendiri. Potensi yang seharusnya menjadi sumber pendapatan justru dibiarkan terombang-ambing di antara kepentingan pusat dan daerah,” ujarnya.

Rurry menegaskan bahwa 70 persen potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kepri berasal dari laut, termasuk dari pungutan jasa labuh jangkar, pengelolaan alur pelayaran, dan aktivitas maritim lainnya di Selat Malaka—jalur strategis internasional yang setiap harinya dilalui ribuan kapal.

“Yang ironis, laut kita justru lebih banyak menjadi arena aktivitas kapal penyelundup daripada sumber PAD yang sah. Laut Kepri bukan lagi halaman depan, tapi menjadi pasar gelap,” tambahnya.

Pandangan itu diamini oleh Hamdan, S.SI,. M.AP,. Sekretaris Umum aliansi peduli Indonesia kepulauan Riau Menurutnya, kebijakan pengelolaan laut Kepri terjebak dalam lingkaran administratif yang membunuh inisiatif daerah.

“Problemnya bukan hanya tumpang tindih kewenangan, tapi juga absennya political will untuk menegosiasikan peran daerah dalam tata kelola laut nasional. Kepri punya hak ekonomi besar atas perairannya, tapi terus diperlakukan hanya sebagai halaman belakang,” tegasnya.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik, Dr. Fikri Anwar, menilai bahwa kelemahan BUMD seperti BUP bukan semata karena manajemen, melainkan karena kerangka regulasi yang tidak memberikan otonomi penuh.

“Sejak dibentuk, BUP tidak punya ruang negosiasi strategis. Setiap inisiatif labuh jangkar selalu ‘dibenturkan’ dengan aturan KKP. Selama pendekatannya masih administratif dan bukan ekonomi maritim, Kepri tidak akan pernah mendapat hasil maksimal,” ujarnya.

Lebih jauh, Fikri mengingatkan bahwa kondisi ini menimbulkan dampak sosial serius di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Masyarakat hinterland, katanya, terjebak dalam mindset pasif: hidup dari “jatah laut”, bukan dari pengelolaan laut.

“Warga pesisir hanya menunggu kapal penyelundup lewat, berharap mendapat remah. Ini paradigma yang lahir dari ketimpangan kebijakan dan kegagalan menghadirkan keadilan ekonomi maritim,” ungkapnya.

Di sisi lain, mantan pejabat BUP yang enggan disebut namanya menilai bahwa hambatan terbesar sebenarnya adalah ketiadaan kesepahaman antara pusat dan daerah terkait definisi ruang laut ekonomi.

“Setiap kali kita bicara PAD dari laut, pusat bicara yurisdiksi hukum laut. Padahal, daerah hanya ingin diberi hak kelola terbatas untuk memungut potensi jasa dari aktivitas kapal yang memanfaatkan perairan kita,” ujarnya.

Kondisi ini memperlihatkan betapa rapuhnya desain kedaulatan ekonomi maritim Indonesia di tingkat daerah. Sementara jargon Poros Maritim Dunia terus digelorakan dari Jakarta, daerah-daerah maritim seperti Kepri masih berjalan sendiri, tanpa arah kebijakan yang sinkron dan berkeadilan.

Bagi Rurry dan generasi muda Kepri lainnya, situasi ini tak bisa terus dibiarkan. Ia menyerukan agar pemerintah provinsi membentuk tim independen lintas disiplin—menggabungkan pakar hukum laut, ekonomi, dan kebijakan publik—untuk menegosiasikan ulang pola bagi hasil dan kewenangan pengelolaan laut Kepri.

“Jika kita tidak berani menegosiasikan hak kita di laut, maka 20 tahun lagi Kepri hanya akan dikenang sebagai provinsi kepulauan tanpa kedaulatan. Sementara kapal-kapal asing terus menambatkan jangkar, kita hanya bisa menatap dari tepian pantai,” pungkasnya.

Dalam peta maritim global, Kepulauan Riau seharusnya berdiri sebagai simpul strategis: penghubung antara ekonomi dunia dan martabat bangsa. Namun selama kebijakan lautnya masih terombang-ambing, poros maritim itu hanya akan menjadi slogan kosong—sementara lautnya terus menjadi milik orang lain.

arf-6