Kasus Lubis: Pengeroyokan Dikecilkan Jadi Penganiayaan Ringan, Publik Mencium “Permainan Hukum”

Hukum70 views

Mabesnews.com, Bintan, Kepulauan Riau – Kasus dugaan pengeroyokan terhadap pemerhati lingkungan, Lelo Polisa Lubis, semakin menyingkap wajah buram penegakan hukum di daerah. Laporan yang awalnya diarahkan pada Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, tiba-tiba bergeser menjadi Pasal 351 KUHP, bahkan belakangan disebut dikecilkan lagi menjadi Pasal 352 KUHP tentang penganiayaan ringan. Pergeseran pasal ini bukan sekadar soal administrasi hukum, melainkan membuka dugaan adanya permainan yang menguntungkan pelaku dan mengorbankan korban.

Peristiwa bermula pada 2 Juli 2025 di wilayah Bintan Timur. Lubis diserang dalam situasi yang jelas menunjukkan keterlibatan lebih dari satu orang. Satu pelaku memang melakukan pukulan, tetapi dua lainnya diduga kuat ikut menahan dan mendorong korban. Dari kacamata hukum, tindakan kolektif ini sudah memenuhi unsur pengeroyokan sebagaimana diatur Pasal 170 KUHP. Namun, fakta terang benderang tersebut justru dikecilkan aparat dalam proses penyidikan.

 

Kepolisian Sektor Bintan Timur kemudian menerbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) bernomor B/329/VII/RES.1.6./2025/Reskrim. Dokumen itu menegaskan bahwa polisi sudah menempuh langkah penyelidikan: mendatangi TKP, melakukan visum et repertum terhadap korban, meminta keterangan korban dan beberapa saksi, mengirim surat klarifikasi kepada saksi bernama Reza, hingga meminta data buku tamu dari PT Ganda Sari Shipyard pada hari kejadian. Namun, penyidik dalam surat yang sama juga menyatakan masih menghadapi hambatan, antara lain belum hadirnya saksi Reza meski sudah dipanggil dan belum adanya respons dari perusahaan yang dimintai dokumen.

 

Kendala administratif itu menjadi alasan proses berlarut. Ironisnya, alih-alih memperkuat pasal agar pelaku dapat diproses lebih tegas, aparat justru menurunkan pasal menjadi lebih ringan. Akibatnya, kasus yang sejak awal menunjukkan indikasi pengeroyokan kini hanya diperlakukan sebagai penganiayaan ringan yang tidak memungkinkan penahanan terhadap pelaku.

 

Pakar hukum pidana menilai langkah ini sebagai pengaburan fakta. Menurut Dr. Andri Setiawan, unsur pengeroyokan tetap terpenuhi meski hanya satu orang yang memukul, selama ada orang lain yang menahan atau mendorong korban. “Penurunan pasal berarti menghapus keterlibatan pihak lain. Ini jelas melemahkan posisi korban dan memberi karpet merah kepada pelaku. Dengan Pasal 352, tersangka bahkan tidak bisa ditahan, sehingga keadilan semakin menjauh,” tegasnya.

 

Sementara itu, pengamat sosial dan HAM menilai kasus ini sarat relasi kuasa yang timpang. Aktivis lingkungan, kata mereka, kerap menjadi sasaran kriminalisasi atau intimidasi ketika berhadapan dengan kepentingan perusahaan besar. “Ada indikasi kuat intervensi kepentingan di balik kasus ini. Bila benar, maka ini bukan hanya penghianatan terhadap korban, tapi juga terhadap publik yang menaruh kepercayaan pada aparat penegak hukum,” ujar Siti Rahmawati, peneliti isu demokrasi.

 

Lubis sendiri dengan tegas mengecam perubahan pasal yang dilakukan penyidik. Ia menilai langkah tersebut sangat mencederai rasa keadilan. “Sejak awal saya sudah jelaskan bahwa lebih dari satu orang terlibat. Kenapa tiba-tiba pasal berubah? Ada apa di balik semua ini? Saya menuntut keadilan, bukan hanya untuk diri saya, tapi agar hukum tidak bisa dipermainkan oleh kepentingan tertentu,” kata Lubis dengan nada kecewa.

 

Kasus ini bukan hanya soal satu orang aktivis yang dikeroyok. Ia menjadi cermin bagaimana hukum bisa ditekuk demi kepentingan segelintir pihak. Ketika pasal bisa diturunkan seenaknya, ketika uang dan kekuasaan bisa ikut campur dalam penyidikan, publik berhak bertanya: siapa sebenarnya yang dilindungi hukum? Korban atau pelaku?

Kini, sorotan publik tertuju pada langkah kepolisian berikutnya. Apakah aparat berani mengembalikan pasal sesuai fakta di lapangan, atau justru membiarkan perkara ini berjalan pincang, menjadikan keadilan sekadar komoditas yang bisa dinegosiasikan?,”(arf-6)