INOVASI TATA KELOLA LIMBA BAKING FILTER DUST INALUM MELALUI MODEL HEPTA HELIX TINGKATKAN SOSIAL EKONOMI & WUJUDKAN SDG’S

MabesNews.com, Kuala Tanjung.Batu Bara, 22 Agustus 2025 – Pada hari ini, Wartawan Media on line Nunuk Sulaiman mendapatkan kesempatan mewawancarai Dr. Muhammad Sontang Sihotang, S.Si., M.Si, dari Dosen Materialas Sains (Fisika Bahan) Program Studi Fisika, Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, mengenai upaya inovatif dalam tata kelola limbah Baking Filter Dust (BFD) dari PT Inalum yang dikembangkan melalui kolaborasi multi pihak ( 7 pihak berkenaan) disebut juga dengan Model Hepta Helix.


Apa yang dimaksud dengan tata kelola limbah BFD Inalum dan bagaimana penerapannya?

Dr. Sihotang menjelaskan bahwa tata kelola limbah BFD merupakan proses pengelolaan limbah industri secara berkelanjutan dan inovatif agar dapat dimanfaatkan menjadi produk bernilai ekonomis, seperti bahan bangunan dan media tanam dan sebagainya. Melalui kerjasama antar berbagai instansi—mulai dari industri, pemerintah, akademisi, komunitas, media, dan lembaga swadaya masyarakat, Lembaga keuangan dengan model hepta helix, upaya ini mendorong terciptanya sinergi efektif yang mendukung keberlanjutan sosial dan lingkungan sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir.

Siapa saja pihak yang terlibat dan bagaimana model hepta helix diterapkan ?

Menurut Dr. Sihotang, ketujuh unsur yang terlibat adalah pemerintah daerah dan pusat, industri (Inalum), universitas (USU), masyarakat pesisir, media massa, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas bisnis. Kolaborasi dilakukan melalui program-program penelitian, pengembangan teknologi, Pendidikan & Pelatihan (Diklat) masyarakat, dan promosi produk secara terintegrasi, yang memanfaatkan keunggulan masing-masing unsur untuk mencapai tujuan bersama.

Kapan dan di mana penerapan model ini mulai dijalankan?

Model hepta helix ini mulai diimplementasikan secara aktif sejak awal tahun 2024 di wilayah pesisir sekitar industri Inalum di Sumatera Utara, dengan dukungan kebijakan dari pemerintah daerah dan pusat yang mengarah pada pengentasan kemiskinan ekstrem dan penurunan angka prevalensi stunting di daerah tersebut.

 

Mengapa tata kelola limbah ini penting dan bagaimana kaitannya dengan SDGs serta program pemerintah ?.

Dr. Sihotang menjelaskan bahwa pengelolaan limbah BFD menjadi produk inovatif sangat relevan dalam mewujudkan 17 indikator SDG’s, terutama dalam pencapaian SDG 1 (Kemiskinan), SDG 2 (Perlindungan terhadap Kelaparan dan Ketahanan Pangan melalui media tanam), SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab), dan SDG 13 (Aksi Iklim). Selain itu, inisiatif ini turut membantu program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan ekstrem dan pengurangan angka stunting melalui peningkatan pendapatan masyarakat dan akses terhadap pangan yang sehat.

 

 

 

Bagaimana langkah selanjutnya dan apa harapan jangka panjang dari inovasi ini?

Dr. Sihotang berharap bahwa kolaborasi multi unsur ini akan terus berlanjut dan berkembang, memperluas manfaatnya secara nasional dan internasional. Dengan inovasi dan kolaborasi yang kuat, limbah industri tidak lagi menjadi masalah lingkungan tetapi menjadi solusi sosial-ekonomi yang berkelanjutan. Ia menegaskan bahwa keberhasilannya akan menjadi model yang dapat diadaptasi di berbagai daerah industri lain di Indonesia.(ns)