Oleh: Amir Kasim
MabesNews.com – Assalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.
Alḥamdulillāhi rabbil ‘ālamīn, segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Dia yang telah memberikan kita nikmat iman, nikmat Islam, serta kesempatan untuk melangkah ke tahun baru Hijriyah dengan harapan dan semangat yang baru. Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, yang telah menunjukkan kepada kita jalan hijrah—jalan perubahan menuju kemuliaan akhlak dan kesempurnaan iman.
Jamaah yang dirahmati Allah,
Ketika kita mendengar kata hijrah, sebagian besar dari kita mungkin membayangkan peristiwa besar Rasulullah SAW ketika beliau bersama Abu Bakar As-Siddiq RA berhijrah dari Makkah ke Madinah. Itu adalah peristiwa sejarah yang monumental. Tapi hijrah bukanlah sekadar berpindah tempat, bukan hanya soal geografi. Hijrah yang paling esensial adalah perpindahan batin, transformasi ruhani, dan perubahan akhlak. Hijrah adalah pergeseran dari kegelapan menuju cahaya, dari kebodohan menuju ilmu, dari keburukan menuju kebaikan.
Dalam surah Al-Baqarah ayat 218, Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat ini menegaskan bahwa hijrah adalah amal agung yang menjadi bagian dari totalitas keimanan dan pengabdian.
Namun izinkan saya menekankan satu aspek penting dari hijrah: hijrah sebagai jalan untuk membentuk manusia yang berakhlakul karimah.
Akhlak adalah puncak dari ajaran Islam. Bahkan Nabi SAW menyatakan bahwa tujuan utama beliau diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Jadi, jika seseorang mengaku telah berhijrah, tetapi lisannya masih kotor, perilakunya masih kasar, hatinya masih dengki, dan pikirannya masih dipenuhi kebencian, maka hijrah itu belumlah sempurna. Hijrah yang benar akan tercermin dari akhlak yang lembut, sikap yang santun, dan pergaulan yang menyejukkan. Hijrah adalah jalan yang menuntun manusia untuk menjadi pribadi yang memuliakan sesama, menebar kasih sayang, dan menjaga lisan serta hati dari segala bentuk penyakit batin.
Jamaah yang dimuliakan Allah,
Akhlakul karimah bukanlah warisan keturunan, bukan pula buah dari status sosial atau pendidikan tinggi. Ia adalah hasil dari pembiasaan, latihan diri, dan mujahadah—perjuangan menundukkan nafsu dan membenahi niat. Akhlak yang luhur adalah buah dari kesadaran spiritual bahwa hidup ini adalah perjalanan menuju Allah, dan kita adalah musafir yang membawa bekal terbaik berupa akhlak mulia.
Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW mencontohkan akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Beliau memaafkan mereka yang menyakitinya, beliau menahan marah ketika dilecehkan, beliau memberi bahkan kepada orang yang memusuhinya. Inilah wajah sejati dari hijrah: hijrah dari kebencian menuju pemaafan, dari dendam menuju ketulusan, dari kesombongan menuju kerendahan hati.
Hijrah juga mengajarkan kita untuk meninggalkan dunia yang penuh kesia-siaan. Dalam era media sosial dan dunia yang serba cepat ini, banyak orang terjebak dalam riya, ghibah, ujaran kebencian, dan kebiasaan yang jauh dari nilai Islam. Hijrah mengajak kita memutus mata rantai kemaksiatan digital, meninggalkan narasi-narasi negatif, dan beralih kepada narasi yang menginspirasi, membangun, dan penuh keberkahan.
Jamaah yang berbahagia,
Marilah kita bertanya dalam hati masing-masing: sudah sejauh mana hijrah kita membawa perubahan dalam akhlak kita? Sudahkah kita lebih sabar hari ini dibandingkan kemarin? Sudahkah kita lebih jujur, lebih amanah, lebih adil, dan lebih rendah hati dalam memperlakukan sesama?
Jangan puas hanya dengan tampilan luar yang berubah. Hijrah bukan tentang penampilan semata. Ia tentang substansi. Ia tentang membangun manusia yang benar-benar mencintai Allah dan dicintai oleh manusia karena akhlaknya.
Imam Al-Ghazali pernah mengatakan bahwa akhlak mulia adalah bentuk dari kesempurnaan iman. Seseorang boleh saja rajin shalat, puasa, dan bersedekah, tetapi jika ia masih suka merendahkan orang lain, menyakiti hati, dan menyebar kebencian, maka amal itu belum menumbuhkan buah akhlak. Oleh karena itu, hijrah sejati adalah ketika ibadah mengubah kita menjadi manusia yang lebih baik—lebih sabar dalam ujian, lebih ikhlas dalam pengabdian, dan lebih tenang dalam menghadapi dunia.
Saudaraku seiman,
Tahun baru Hijriyah ini adalah momentum emas. Mari kita isi dengan hijrah yang bermakna. Bukan sekadar ucapan, tetapi tindakan. Bukan sekadar niat, tetapi perubahan. Hijrahkan hati kita dari kelalaian menuju keinsafan. Hijrahkan lisan kita dari kata-kata yang menyakitkan menuju tutur kata yang menyejukkan. Hijrahkan perbuatan kita dari yang sia-sia menuju yang bernilai ibadah. Dan hijrahkan akhlak kita dari akhlak jahiliah menuju akhlakul karimah.
Jika setiap individu dalam masyarakat ini berhijrah menuju akhlak mulia, maka bangsa ini pun akan turut berhijrah. Masyarakat akan menjadi teduh, pemimpin akan menjadi adil, dan umat akan bersatu dalam kebaikan.
Akhirnya, marilah kita memohon kepada Allah SWT agar menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang senantiasa istiqamah dalam hijrah dan senantiasa dihiasi dengan akhlak Nabi Muhammad SAW. Semoga tahun baru ini menjadi permulaan yang penuh keberkahan, dan setiap langkah kita menjadi bagian dari jalan pulang menuju ridha Allah.
Wassalāmu‘alaikum warahmatullāhi wabarakātuh.