Oleh, Maman A. Majid Binfas
Mabesnews.com, Esensi efek dari baik buruk atau gulita benderang akan perilaku manusia, tentu akan berartefak kepada tapak jejaknya sebagai cerminan berlogika gerakannya untuk berkarya guna mengisi durasi logis akan poros dalam melintasi kehidupannya.
Wujud dari artefak bukan dimaknai semata dengan benda-benda arkeologi saja, terapi juga boleh berupa karya yang dikisahkan, baik lisan maupun tulisan yang terjangka keakuratannya.
Artefak merupakan benda peninggalan dari hasil buatan atau karya manusia, baik yang ditemukan secara utuh maupun sebagai sisa-sisa, memiliki nilai sejarah, budaya, atau arkeologis.
Benda-benda tersebut, bisa berupa peralatan, karya seni, atau benda lainnya yang digunakan oleh manusia di masa lalu untuk memahami kehidupan dan peradaban mereka. Contohnya termasuk alat dari batu, gerabah, prasasti, hingga relief candi. Namun, kesan arkeolog dangan berbeda dengan warisan dari para Nabi dan Rasul Allah Swt.
Perbedaan utama antara Nabi Muhammad sebagai rasul dan nabi lainnya, terletak pada tugas penyampaian wahyu dan cakupan risalahnya. Semua rasul adalah nabi, tetapi tidak semua nabi adalah rasul.
Seorang rasul diperintahkan untuk menyampaikan wahyu Allah dan membawa syariat baru (atau syariat yang diperbarui) kepada umat, sementara seorang nabi mungkin menerima wahyu hanya untuk dirinya sendiri dan tidak diwajibkan untuk menyampaikannya.
Sekalipun, kesannya ada persamaan antara Rasulullah dengan nabi lainnya, yakni keduanya sama-sama utusan Allah yang menerima wahyu, memiliki tugas menyampaikan risalah/ajaran, dan ajaran akidah/tauhid mereka tidak pernah berubah, yaitu mengajarkan keesaan Allah.
Selain itu, mereka adalah manusia pilihan yang menjadi panutan dan teladan bagi umatnya serta mengalami berbagai cobaan di dalam menyebarkan ajaran Allah.
Dari beragam Nabi dan Rasul Allah, sesuai dengan ribuan ragam konteks massa pun berbeda beda pula.
Bila dilihat dari jumlah Nabi dan Rasul pun yang berangka ribuan, sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam Qashash Al-Anbiyaa’ Dari Abu Dzar yang akan diuraikan selanjutnya.
Jumlah Nabi dan Rasul
Salah satu hadits yang menjelaskan tentang jumlah nabi dan rasul adalah berasal dari Abu Dzar. Ia mengatakan,
“Aku mendatangi Rasulullah SAW saat beliau sedang berada di dalam masjid, beliau bersabda: Aku bertanya lagi, ‘Siapa Nabi yang pertama?’ Beliau menjawab, ‘Adam.’
Aku bertanya lagi, ‘Nabi yang bagaimanakah ia wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Seorang Nabi yang diajak berbicara langsung oleh Allah.’ Aku bertanya lagi, ‘Berapa jumlah rasul yang diutus wahai Rasulullah SAW?’ Beliau menjawab, ‘Tiga ratus lima belas, suatu jumlah yang sangat banyak.'” (HR Ahmad)
Jumlah nabi dan rasul juga disebutkan dalam riwayat lain, sebagaimana dinukil Imam Ibnu Katsir dalam Qashash Al-Anbiyaa’. Dari Abu Dzar, ia berkata,
“Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, berapakah banyaknya jumlah nabi?’ Beliau menjawab, ‘Seratus dua puluh empat ribu.’ Lalu aku bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, berapakah dari mereka jumlah Rasul?’ Beliau menjawab, “Banyak sekali, tiga ratus tiga belas rasul.’ Lalu aku bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, siapakah dari mereka yang pertama kali diutus?’ Beliau menjawab, ‘Adam.’
Lalu aku bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah beliau seorang nabi yang diutus?’ Beliau menjawab, “Benar. Ia diciptakan oleh Allah dengan tangan-Nya, lalu ditiupkan kepadanya roh ciptaan-Nya, dan terakhir ia ditegakkan secara sempurna.” (HR Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Berdasarkan hadits tersebut, jumlah nabi ada 124.000, sedangkan jumlah rasul ada 313. Sementara itu, Ahmad Hawassy mengatakan dalam buku Kajian Tauhid dalam Bingkai Aswaja, menurut riwayat Ibnu Hakim, jumlah rasul disebut ada 315, sedangkan jumlah nabi lebih banyak dari itu.
“Jumlah nabi lebih banyak dari itu. Di antara mereka ada yang dikisahkan Allah di dalam Al-Qur’an dan di antara mereka ada yang tidak dikisahkan. Allah telah menyebutkan nama-nama 25 nabi dan rasul dalam Al-Qur’an,” dan dibuktikan dengan kisahnya masing-masing.
Menanggapi Kisah Nabi Yusuf
Ada kisah singkat yang dibagi pada Group Maman AM Binfas Center, oleh Asmawi Aminuddin, tepatnya hari Rabu 08:23, 15/10/2025.
Ketika Allah berkehendak membebaskan Nabi Yusuf dari dalam penjara, Allah tidak perlu menghancurkan tembok penjara atau mengirimkan pasukan dalam jumlah besar.
Allah cukup dengan mengirim mimpi kepada Raja yang tak bisa ditafsirkan oleh siapa pun kecuali Nabi Yusuf, dan dalam tempo yang singkat, Nabi Yusuf pun dibebaskan dan bahkan diberi jabatan yang tinggi dalam kerajaan/pemerintahan (#kisah, Asmawi Aminuddin, 2025).
Kemudian, saya menanggapi dengan komentar lebih kurang pkl 08:49, yakni; Memang tak bisa dipungkiri titisan yang dianugerahi Allah kepada Nabi Yusuf. Namun, di setiap nabi memang memiliki kadar dan kelebihan masing masing.
Tidak bisa, dinafikan sebagai perbandingan, di antaranya, juga ada dengan kekuatan lebih dahsyat, yakni Nabi Sam’un al-Ghozi, sekalipun tak masuk di antara 25 Nabi.
Nabi Sam’un yang dikenal sebagai pahlawan berambut panjang dan memiliki kekuatan luar biasa.
Termasuk, kemampuan melunakkan besi dan merobohkan istana beserta seluruh pengikutnya, termasuk istrinya yang mengkhianatinya.
Ini tidak menggurui ustadz dengan diakhiri emoji senyum-
Kemudian, beliau hanya menganggap dengan tanda emoji ”
Terlepas, dari berbalas tanda emoji di atas, kembali berfokus tentang asumsi di mana “Allah cukup dengan mengirim mimpi kepada Raja yang tak bisa ditafsirkan oleh siapa pun kecuali Nabi Yusuf” sehingga dibebaskan dari penjara. Begitu juga Nabi Sam’un ditangkap dan disiksa setelah diberitahu oleh isterinya, bahwa kekuatannya di rambutnya dan mesti diikat dengan rambutnya nabi Sam’un sendiri.
Terlepas dari kisah Nabi Yusuf dan Sam’un, manakala membaca jejak kisah Nabi Muhammad Saw saja tentang soal mimpi dan memimpin perang. Bahkan ketika Beliau Saw, baru dilahirkan saja di bumi pun dianugerahi mukjizatnya ysng luar biasa, sebagai pertanda akan kenabiannya, di antaranya;
Pertama, runtuhnya empat belas balkon di istana raja Persia, Kisra, akibat goncangan dahsyat yang terjadi di malam kelahiran Nabi. Peristiwa ini dipahami sebagai pertanda akan datangnya kejatuhan kekuasaan Persia.
Bahkan, Raja Kisra bermimpi melihat unta-unta Arab yang kuat memimpin kuda-kuda Arab melintasi wilayah Persia.
Raja Kisra menjadi gelisah dan memanggil para ahli nujum untuk mencari tahu penyebabnya, yang tidak dapat mereka jelaskan.
Seklipun, Rasulullah Saw tidak langsung berperang dengan Persia setelah Raja Persia merobek surat Rasulullah, tetapi peristiwa tersebut, menjadi pertanda keruntuhan kerajaan Persia dan diiringi dengan peristiwa-peristiwa lain di masa berikutnya, menyebabkan kehancuran kerajaan tersebut, seperti Perang Qadisiyah dan hancurnya pasukan Romawi.
Setelah Kisra II (Raja Persia) merobek surat Rasulullah, beliau berdoa agar Allah menghancurkan kerajaannya, dan Allah mengabulkan doa tersebut.
Kedua, Api yang selama seribu tahun disembah oleh kaum Majusi di Persia padam seketika. Ini diyakini sebagai simbol runtuhnya era penyembahan api dan datangnya cahaya tauhid.
Ketiga, Keringnya Danau Sawa dengan tiba tiba, padahal merupakan sumber air penting di Persia. Fenomena ini menimbulkan kebingungan dan dianggap sebagai simbol perubahan besar yang akan datang.
Keempat, Beberapa gereja di sekitar Danau Buhairah juga dikabarkan ambles ke tanah pada waktu yang bersamaan menjadi kisah nyata.
Kemudian, kisah nyata perang yang pernah dipimpin oleh Rasulullah Swa. Menurut sejarah, selama 10 tahun kepemimpinan Rasulullah terhitung sejak beliau hijrah ke kota Madinah, ada sekitar 27 atau 28 peperangan yang pernah diikuti Rasulullah. Namun, dari semua peperangan tersebut, perang yang dipimpin langsung oleh Rasulullah Saw hingga terjadi kontak senjata hanya ada 9 kali; Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Bani Quraizhah, Perang Bani Mustaliq, Perang Khaibar, Fathul Makkah, Perang Hunain, dan Perang Thaif.
Dari uraian singkat di atas, maka asumsi tentang hanya dengan tafsiran mimpi sehingga nabi Yusuf as yang dibebaskan dari penjara, tanpa perlu menghancurkan tembok penjara atau mengirimkan pasukan, maka dengan sendirinya menjadi fenomena dinamik bak gerhana alam logika yang mengalir alami. Namun, sepatutnya untuk dikaji lebih lanjut agar lebih benderang lagi di dalam mertarjihin sebagai proses ijtihad hukum pemahaman agama yang mencerahkan.
Mungkin proses ijtihad logis, bak beragam tanggapan mengenai esensi goresan saya hari Jumat Malam (22:33, 31 Oktober 2025) di dalam tautan facebook yang berdiksi, sebagaimana pada sub topik berikut ini.
Gerhana Agama
Kalau, Matahari juga
bermainan gerhana gulita
Tak lagi jauh berbeda dengan bulan berbintang pun telah bergerhana gulita
Jadi gurita, tentu sama mawon, bumi akan padam dalam gulita
Lalu, di mana lagi pelita jadi peta jalan siang malam, ‘tuk berkalam
“Ihdinas sirotol mustaqim” agar tidak karam menjadi bara “Waladdollin”
Maka, gerhana Agama Islam bukan lagi terancam, tetapi memang akan karam. Mungkin sungguh aduhai, kiamatan akan terjadi berkalam gerhana agama dalam gulita kelam
Wallahu’alam, namun Agama berkalam, bukan sekedar angan ‘tuk dagelan
Kemudian, muncul tanggapan dari prof. Muchdie M Syarun: “Kiamatan= ? Klo kiamat sdh jelas.” Kemudian saya balas: “pada larik sebelumnya ada diksi … ‘mungkin sungguh aduhai'”. Selanjutnya beliau membalas “mungkin” dam saya balas : syukron atas kritis cerdasnya prof Muchdie M Syarun”.
Dua hari kemudian, tiba tiba tampil komentar tanpa diduga yang sungguh tajam dan sangat dalam dari Bang Syahril Syah, Maestro Sang Pendekar dalam keilmuwan. Beliau tidak pernah mau berkomentar sembarangan, bila tak logis dan bermakna yang urgens di dalam karya orang lain. Bahkan, esensi komentarnya dengan padat dan sungguh tajam serta sangat dalam. Luar biasa dahsyat menggelitik dengan logis yang sarat makna. Adapun komentarnya, saya copypasta saja dengan apa adanya, yakni;
“Saya begitu sangat yakin bahwa obyek yang ditunjuk dalam tema tentu sulit diraba, atau dirasa apatah lagi dicerna. Tentu bukan hanya karena diksi karya ini begitu apik menyembunyikan metafora dan similenya meski harus mengernyikkan dahi hingga membekas hingga tua. Di samping itu, imaji yang berkelindang dengan rima dan ritmenya beraksentuasi “sintetik” sehingga pola metrisnya bukan hanya mewarnai makna setiap kata. Namun cukup tajam membelah makna.
Seperti di awal sambutan, obyek yg menjadi temanya, tentu tak bakal sadar menjadi arah telunjuk amuk sang pengurai.
Ya, gelora sang perindu yang mewakili suara “demontrasi di langit lapis ke tujuh” bagi mereka yang masih menyisakan hasil celupannya dari sebuah kawah candradimuka bernama perkaderan.
Secara intrinsik, dorongan merajut untaian kesadaran ini terasa tsunami di tengah hiruk pikuk kefanaan yang melenakan.
Meski seperti belati terselip mengiris hati dan merobek jantung, namun itu lebih baik tinimbang terkapar di atas cadas akibat terpeleset dari tebing nan curam.
Terimakasih Sdrku, t’lah menyelamatkan janji pertemuan kita di samping Al Anhar bagian hulu. Bukan hilir yg kini sedang merona menjadi “hilirisasi” tempat bersembunyinya kaum pembohong dan rompak.”
Kemudian, saya balas dengan sangat heran dan cukup kaget juga; “Waduh, kalau Sang Maestro Pendekar telah turun gunung dan berdiksi sungguh tajam begini hingga menembus bumi berlangit jingga !
Saya hanya bisa berkomentar ‘super dahsyat luar biasa ‘ teriring salam doa tanpa akhirnya! syukron Bang
Akhir kalam goresan ini dengan diksi syukron katsiran, semoga kita semua terhindari dan terjauh dari akar logika yang berkesan polesan. Baik bermuara pada kadar yang terkesan berdilematis maupun berdimensi menggoyangkan cerminan dari akar keyakinan kepada Rasullullah Saw yang sungguh tulen hanya kepada Tuhan.
Apalagi, mungkin beradius halus yang seakan terkesan berdurasi diksi beraksentuasi kepada polesan menghinanya. Hanya akibat dari durasi arus keterbatasan nan akar kelogisan di dalam memahami dan mengkaji mengenai tapak jejaknya.
Termasuk, perjuangan lillahi Ta’ala di dalam menegakkan dan memperjuangan Dinullah secara sempurna tanpa ada bandingannya di dunia hingga berakhiratan sebagai suri teladan.
Di dalam Al-Qur’an sendiri, Allah menitahkan dengan tajam, di antara QS. Al-Ahzab :21, berarti bahwa “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…”.
Selain itu, Beliau sebagai “innamaa bu’itstu li-utammima makaarimal akhlaaq/Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”.
Penyempurna akhlak yang mulia guna melenyapkan dari segala belenggu gulita di dalam gerhana dagelan beragama.
Dagelan penganut agama yang demikian, tentu akan menghambat “gelora sang perindu yang mewakili suara “demontrasi di langit lapis ke tujuh”_meminjam diksi Bang Syahril Syah (Maestro sang pendekar) yang tanpa suka basa basi, bila sudah pada keyakinan tulen kepada Tuhan.
Wallahu’alam
(NS)







