Gelap di Tengah Ladang Sawit: Puluhan Pekerja Migran Indonesia di Malaysia Hidup Tanpa Perlindungan, Diduga Diperjualbelikan oleh Oknum Manajer

Hukum, Pemerintah101 views

Daro, Sibu (Sarawak, Malaysia) – Di balik hijau rimbunnya ladang sawit di Sarawak, tersimpan kisah kelam tentang perdagangan manusia terselubung. Ratusan bahkan ribuan pekerja migran asal Indonesia disebut hidup tanpa izin kerja, tanpa gaji layak, dan tanpa perlindungan hukum, meski sebagian memiliki paspor resmi.

Kabar ini diungkap Riswan Kanro, Satgasus BAP3MI Lidik Pro, yang menyoroti keras praktik kotor di sejumlah ladang di wilayah Daro, Sibu.

“Kasihan semua pekerja migran di sini. Mereka punya paspor tapi tidak ada permit. Banyak juga yang tidak punya dokumen sama sekali. Ejen dan manajer ladang bekerja sama menipu mereka. Namanya Tuan Colin, itu salah satunya,” ungkap Riswan, Selasa (3/11/2025).

Riswan menyebut, modusnya terstruktur dan sistematis. Para pekerja dibawa oleh agen dengan janji kerja resmi, namun setelah sampai di Malaysia, mereka diserahkan ke manajer ladang yang “menggelapkan” status mereka. Akibatnya, pekerja menjadi tidak tercatat secara resmi dan sulit melapor ketika mengalami kekerasan atau penipuan.

Lebih tragis lagi, sebagian pekerja disebut tidak menerima gaji penuh selama berbulan-bulan. Beberapa di antaranya bahkan dipaksa tetap bekerja meski sakit, dengan ancaman akan dipulangkan tanpa bayaran.

“Ini bukan lagi pelanggaran administrasi, tapi bentuk modern dari perbudakan. Para pekerja itu kehilangan hak, suara, dan harga diri,” tegas Riswan.

Ia mendesak pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk segera melakukan penyelidikan bersama dan memutus mata rantai praktik busuk antara agen tenaga kerja dan pengelola ladang.

“Kalau dua negara ini terus saling diam, maka ladang-ladang sawit di Sarawak akan terus jadi kuburan sunyi bagi pekerja migran kita,” katanya menutup.

Kisah ini bukan yang pertama. Namun hingga kini, tindakan tegas terhadap oknum manajer dan agen perekrut nyaris tak terdengar. Sementara itu, di tengah ladang-ladang yang subur, air mata para buruh migran terus jatuh, menandai betapa mahalnya harga sebuah keadilan bagi mereka yang bekerja di bawah bendera bangsa lain.