Dibalik Kontroversi Dana Talangan: Pelanggaran atau Pengabdian?

Pemerintah136 views

MabesNews.com Rokan Hilir, Riau – Polemik Sengit Dana Talangan untuk Perbaikan Jalan Desa: Antara Urgensi dan Kepatuhan Hukum

 

Sorotan Dua Kubu: Responsif vs. Prosedural 

 

Polemik panas terkait penggunaan dana talangan untuk perbaikan jalan di Kepenghuluan Sungai Segajah Jaya, Kabupaten Rokan Hilir, terus memicu perdebatan sengit di tingkat nasional. Di satu sisi, DPP TOPAN RI menggugat dugaan penyimpangan wewenang oleh Penghulu setempat, sementara sejumlah pihak, termasuk tokoh masyarakat dan aktivis politik, membela kebijakan tersebut sebagai langkah darurat yang dilandasi kepentingan publik.

 

Arjuna Sitepu, Wakil Ketua Monitoring dan Investigasi DPP Gerakan Rakyat Prabowo-Gibran (GARAPAN), menegaskan bahwa kebijakan Penghulu menggunakan dana talangan sebelum pencairan Dana Desa harus dipahami dalam konteks krisis infrastruktur yang mendesak.

 

“Kita tidak bisa hanya melihat dari sudut regulasi semata. Jika masyarakat setempat sudah menyetujui dan prosesnya transparan, langkah ini justru mencerminkan kepemimpinan yang solutif,” tegas Arjuna dalam keterangan eksklusif kepada media ini, Minggu (18/05/2025).

 

Namun, ia mengingatkan bahwa asas akuntabilitas tetap harus dijaga. Peraturan Menteri Desa No. 16/2019 tentang Musyawarah Desa dan UU No. 6/2014 tentang Desa menegaskan bahwa setiap penggunaan anggaran desa wajib melalui musyawarah, kecuali dalam kondisi bencana atau darurat yang diakui negara.

 

Pemerintah Daerah Bersikukuh: “Tidak Ada Toleransi untuk Pelanggaran Prosedur”  

 

Yandra, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Rokan Hilir, menegaskan bahwa penggunaan dana talangan tanpa musyawarah desa khusus adalah pelanggaran hukum.

 

“Urgensi tidak boleh menjadi dalih untuk mengabaikan aturan. Pasal 33 UU Desa dan Permendagri No. 20/2018, jelas mewajibkan transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keuangan desa,” tegas Yandra.

 

Ia menambahkan bahwa jika Penghulu terbukti melanggar, sanksi administratif hingga pidana bisa diterapkan berdasarkan Pasal 55 UU Desa dan Peraturan Bupati setempat.

 

Masyarakat Berharap Ada Ruang Fleksibilitas dalam Aturan  

 

Sejumlah warga dan tokoh setempat berargumen bahwa birokrasi yang berbelit sering menghambat proyek mendesak, seperti jalan rusak parah yang mengganggu perekonomian warga.

 

“Kami butuh solusi cepat, bukan birokrasi yang justru mempersulit. Permendagri No. 20/2018 sebenarnya memberi ruang bagi kepala desa untuk mengambil kebijakan cepat, asal dilaporkan kemudian,” ujar seorang tokoh masyarakat yang enggan disebut namanya.

 

Solusi Hukum: Perlindungan bagi Kepala Desa yang Bertindak demi Kepentingan Publik 

 

Agar kasus serupa tidak terulang, para ahli hukum tata negara menyarankan tiga langkah konkret:

 

1. Perluasan definisi ‘darurat’ dalam PP No. 22/2023 tentang Perubahan PP Dana Desa untuk mencakup krisis infrastruktur kritis.

2. Pembentukan payung hukum khusus yang memungkinkan kepala desa mengakses dana talangan dengan syarat pelaporan eks post facto (setelah tindakan diambil).

3. Perlindungan hukum bagi kepala desa yang bertindak demi kepentingan umum, selama dapat membuktikan itikad baik dan transparansi.

 

Kesimpulan:

 

“Kepala desa bukan birokrat, tapi ujung tombak pembangunan. Mereka butuh perlindungan hukum ketika mengambil keputusan sulit untuk rakyat,” pungkas Arjuna. (Red)