Oleh :
KH.Dr.Muhammad Sontang Sihotang., S.Si., M.Si
(Bakal Calon Rektor USU 2026-2031). Dosen Fisika & Kepala Laboratorium Fisika Nuklir, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara, e-mail: [email protected]
Abstrak
Transformasi pengelolaan perguruan tinggi Indonesia melalui implementasi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) telah membuka peluang otonomi lebih luas dalam penetapan kriteria calon Rektor. Salah satu kebijakan yang menjadi perhatian adalah pembebasan syarat mutlak harus dari jenjang Lektor Kepala. Tulisan ini membahas dasar hukum dan pemikiran di balik kebijakan tersebut, serta menilai apakah ketentuan tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan nasional maupun regulasi internal universitas seperti UI, UGM, dan ITB. Melalui analisis terhadap regulasi terkait pendidikan tinggi, otonomi universitas, dan peraturan pengangkatan Rektor, artikel ini menyimpulkan bahwa selama ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip keadilan dan aturan yang lebih tinggi, pembebasan syarat tersebut tidak secara otomatis melanggar hukum. Kebijakan otonomi universitas dapat memungkinkan penetapan kriteria yang lebih fleksibel, asalkan mengikuti prinsip-prinsip keadilan dan tidak diskriminatif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendahuluan
Perkembangan dunia pendidikan tinggi di Indonesia menunjukkan adanya dorongan untuk meningkatkan otonomi universitas dalam mengelola sumber daya dan proses pengangkatan pejabat struktural, termasuk Rektor. Transformasi institusi pendidikan tinggi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) merupakan salah satu langkah besar yang memberikan keleluasaan lebih besar bagi universitas untuk menentukan kebijakan internalnya, termasuk kriteria calon Rektor.
Salah satu aspek yang menjadi perdebatan adalah syarat minimal jenjang akademik calon Rektor, khususnya terkait mutlak tidaknya harus dari jenjang Lektor Kepala. Secara umum, regulasi nasional dalam pendidikan tinggi menempatkan jenjang tersebut sebagai salah satu kriteria utama. Namun, sejumlah universitas PTNBH seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB) diketahui memiliki kebijakan yang lebih fleksibel, bahkan tidak mempersyaratkan calon Rektor harus dari jenjang Lektor Kepala.
Pemikiran ini memunculkan pertanyaan penting terkait dasar hukum dan keabsahan kebijakan pembebasan persyaratan tersebut. Apakah kebijakan ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maupun prinsip keadilan dan otonomi universitas? Tulisan ini bertujuan menguraikan dasar hukum dan konsep pemikiran yang melatarbelakangi pembebasan mutlak syarat tersebut dan menganalisis apakah kebijakan tersebut termasuk sah secara hukum dan relevan dengan perkembangan otonomi perguruan tinggi di Indonesia.
Dengan demikian, kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran komprehensif mengenai regulasi dan pemikiran di balik kebijakan pencalonan Rektor di universitas PTNBH, sekaligus memberikan panduan bagi pengembangan kebijakan yang adil dan sesuai dengan karakteristik otonomi perguruan tinggi di Indonesia.
Latar Belakang
Universitas PTNBH seperti UI, UGM, dan ITB memiliki otonomi yang lebih luas dalam menata manajemen dan peraturan internalnya. Hal ini dikarenakan status badan hukum mereka yang membawa fleksibilitas dalam pengaturan sumber daya manusia, termasuk syarat pencalonan Rektor. Di sisi lain, universitas non-PTNBH masih terikat dengan peraturan yang mensyaratkan calon Rektor harus berasal dari jenjang Lektor Kepala sebagai salah satu kriteria utama.
Dasar Hukum dan Pemikiran
- Otonomi dan Kebebasan Perguruan Tinggi Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang PT, serta konstitusi otonomi pendidikan tinggi, menegaskan bahwa PTBNH memiliki hak otonomi penuh dalam menentukan sistem pengelolaannya, termasuk syarat pencalonan Rektor. Dengan kebebasan ini, universitas bisa menetapkan kriteria yang sesuai dengan kebutuhan strategis dan visi misi institusinya.
- Peningkatan Kualitas dan Inovasi Kepemimpinan
Pembebasan dari ketentuan harus dari Lektor Kepala memungkinkan universitas menilai calon Rektor dari berbagai latar belakang akademik dan pengalaman, termasuk profesional, praktisi, atau akademisi senior yang mungkin belum mencapai jenjang Lektor Kepala namun memiliki kompetensi dan visi inovatif dalam pengembangan universitas.
- Filosofi Keadilan dan Keseimbangan
Kebijakan ini didasarkan pada prinsip keadilan dan keberagaman, bahwa pemimpin universitas tidak harus terbatas dari satu jenjang akademik tertentu. Memberikan ruang seleksi lebih luas dapat mempercepat pencapaian visi universitas, memperkaya keberagaman perspektif, dan mempercepat proses reformasi internal.
- Dasar Hukum Terpadu
- Pasal 64 UU No. 12 Tahun 2012 tentang PTN, menyatakan bahwa kontribusi, kompetensi, dan pengaruh calon Rektor dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari persyaratan pencalonan.
- Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 4 Tahun 2020 tentang Pengangkatan Rektor menyebutkan bahwa kualifikasi calon sangat dipahami secara fleksibel, menyesuaikan pada karakteristik perpaduan pengalaman dan kompetensi tanpa harus terpaku pada jenjang akademik tertentu.
Kesimpulan
Kebijakan pemberian fleksibilitas dalam syarat pencalonan Rektor di PTNBH (UI, UGM, ITB) membuka peluang lebih besar untuk mendapatkan pemimpin yang visioner, inovatif, dan sesuai dengan kebutuhan strategis universitas. Dasar hukumnya berakar pada otonomi penuh perguruan tinggi dan prinsip keadilan akademik yang menempatkan kompetensi, pengalaman, serta visi-misi sebagai indikator utama, bukan semata-mata jenjang akademik.(ms2)








