MabesNews.com ll LABUAN BAJO, – Aroma skandal mulai menyeruak dari balik megahnya proyek strategis nasional di kawasan Parapuar, Labuan Bajo. Di saat pemerintah pusat membanggakan pembangunan infrastruktur pariwisata, di lapangan justru para pekerja mengaku tak digaji, hidup terlunta, dan kini mengancam akan memblokade akses masuk kawasan pariwisata premium tersebut.
Ferdy Landing, salah satu subkontraktor, mengaku sudah lima pekan berada di Jakarta tanpa kepastian. Ia menagih janji Husen, Direktur PT Cipta Jaya Piranti pemenang tender proyek pembangunan jalan masuk kawasan Parapuar. Namun janji tinggal janji. Tiket yang dijanjikan diganti tak pernah diganti, uang makan tak pernah dikirim, dan kini Husen menghilang bak ditelan proyek itu sendiri.
“Saya ke Jakarta atas inisiatif sendiri, karena dijanjikan akan difasilitasi. Tapi sampai hari ini saya kehabisan uang untuk makan. WA saya tidak dijawab,” ujar Ferdy penuh emosi.
“Pagi bang, saya lagi di Makassar. Sampe Jakarta saya atur ya,” bunyi pesan Husen tertanggal 15 April 2025.
“Saya ke kantor terus tiap hari. Terakhir dia janji bayar hari Rabu kemarin. Tapi sejak itu, Husen hilang. Dia tak pernah masuk kantor lagi,” keluh Ferdy.
Kini, Ferdy mengaku kehabisan uang. Untuk makan dan minum pun ia harus meminjam. Pesan-pesan yang dikirim ke Husen tak kunjung dibalas. Diam yang menyakitkan.
“Saya WA minta uang makan-minum, tapi tidak direspons sama sekali,” ujarnya lirih.
Ancaman pun dilontarkan. Bila sampai akhir pekan ini tidak ada itikad baik dari pihak kontraktor, para subkon akan mengambil tindakan keras.
“Kami akan palang jalan masuk Parapuar. Kami akan layangkan somasi ke Kementerian Pariwisata,” tegas Ferdy.
Di sisi lain, Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) akhirnya buka suara. Dalam siaran pers bernomor 073/SP/KOMBLIK/BPOLBF/V/2025, BPOLBF mengklaim telah menyelesaikan seluruh kewajiban pembayaran kepada kontraktor pada 24 Maret 2025.
BPOLBF juga mengaku telah mencoba memfasilitasi mediasi pada 25 Maret, namun pihak PT Cipta Jaya Piranti tak menjawab panggilan. Sejak itu, upaya komunikasi terus dilakukan melalui WhatsApp dan telepon semuanya nihil respons.
“Kami sudah beri peringatan keras. Bila tak juga diselesaikan, kami pertimbangkan ambil jalur hukum. Kami tak ingin citra BPOLBF rusak karena kelalaian pihak kontraktor,” tegas Plt. Direktur Utama BPOLBF, Frans Teguh.
Masalah makin pelik ketika diketahui bahwa dalam kontrak resmi, tak ada tercantum keterlibatan subkon. Artinya, secara administrasi, BPOLBF hanya bertanggung jawab kepada PT Cipta Jaya Piranti.
Namun fakta berkata lain. Dalam rapat pada 13 Februari 2025, Ferdy Landing disebut secara resmi ditunjuk oleh Direktur PT CJP sebagai Pelaksana Lapangan. Artinya, hubungan kerja meski tidak tertulis dalam kontrak diakui secara operasional di hadapan BPOLBF dan tim teknis lainnya.
Kini, posisi Ferdy dan para subkon menggantung di antara janji kontraktor dan batas tanggung jawab legal pemerintah.
Sementara itu, masyarakat mulai bertanya:
Siapa yang harus bertanggung jawab ketika para pekerja lokal terlantar, uang tak dibayar, dan pembangunan terus dipoles untuk wisatawan elite?
Apakah proyek strategis nasional hanya nama besar tanpa nurani?
Red