Mabesnesw.com, Batam — Di bawah gemerlap lampu industri dan pelabuhan internasional, ada arus gelap yang tak pernah benar-benar padam: rokok tanpa pita cukai yang keluar masuk Batam seolah tanpa penghalang. “Operasi Gempur Rokok Ilegal” yang digembar-gemborkan pemerintah tampak hanya bergema di spanduk dan baliho, sementara di lapangan, pasar-pasar tradisional di Batam dan Tanjungpinang terus dibanjiri produk-produk tanpa cukai seperti HD, OFO, dan T3. Asapnya menyesakkan—bukan hanya paru-paru rakyat, tapi juga keuangan negara.
Rokok tanpa pita cukai sejatinya adalah pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Cukai. Ia dijual tanpa membayar pungutan resmi negara—tanpa sepeser pun masuk ke kas publik. Setiap batang rokok ilegal yang dikonsumsi masyarakat adalah simbol kebocoran pendapatan negara, yang semestinya digunakan untuk membiayai rumah sakit, sekolah, dan program perlindungan sosial. Namun di Batam, arus rokok ilegal justru kian deras, menandakan ada sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar lemahnya pengawasan.
Investigasi lapangan menunjukkan bahwa bisnis ini bukan permainan eceran, melainkan sebuah jaringan ekonomi bawah tanah yang sangat rapi dan terstruktur. Di tengah arus perdagangan legal yang sah, terselip kontainer berisi rokok tanpa pita cukai, berpindah tangan dari gudang industri ke pasar gelap, dari pelabuhan ke kios, dari kota ke pulau-pulau kecil. Nama yang kembali bergaung di balik jejaring ini adalah Akim alias Asri, sosok yang dikenal luas sebagai pengatur besar arus rokok ilegal di kawasan barat Indonesia. Kini, tongkat kekuasaan itu disebut telah berpindah ke tangan penerusnya, Bobbie Jayanto—figur yang oleh para pelaku disebut “pengatur arus baru”.
Keduanya diyakini memiliki kendali atas sebagian besar distribusi rokok ilegal di wilayah Kepri. Batam menjadi simpul utama karena statusnya sebagai kawasan perdagangan bebas yang sering kali dimanfaatkan untuk menyamarkan lalu lintas barang ilegal. Rokok-rokok tanpa cukai dikirim dalam bentuk bahan baku, diproduksi di gudang-gudang tersembunyi, lalu disalurkan kembali melalui jalur laut menggunakan kapal cepat menuju Tanjungpinang, Bintan, dan bahkan lintas provinsi hingga Kalimantan dan Papua.
Namun, pertanyaan besar menggantung di udara: di mana peran Bea Cukai, Dinas Perindustrian Kota Batam, dan Polda Kepri dalam menutup kebocoran ini? Bea Cukai, yang semestinya menjadi penjaga gerbang utama cukai negara, justru belum menampakkan taringnya. “Operasi Gempur” berjalan lamban, bahkan di beberapa lokasi penjual rokok ilegal bisa berjualan terang-terangan di depan publik tanpa rasa takut sedikit pun.
Sementara itu, Dinas Perindustrian Kota Batam masih bungkam soal sembilan perusahaan yang diduga melakukan manipulasi data produksi rokok. Indikasi perbedaan antara jumlah bahan baku masuk dan produksi keluar menguatkan dugaan bahwa sebagian produk sengaja disalurkan ke pasar tanpa cukai. Jika temuan ini benar, maka ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi bentuk kejahatan ekonomi yang merugikan negara dalam jumlah sangat besar.
Polda Kepri, sebagai institusi penegak hukum, diharapkan tidak sekadar menjadi penonton. Jalur distribusi rokok tanpa cukai bukan hanya urusan industri, tetapi juga beririsan dengan keamanan ekonomi nasional. Setiap batang rokok ilegal yang beredar adalah hasil dari kegagalan koordinasi antarinstansi.
Megat Rurry Apriansyah, pemerhati kebijakan publik di Kepri, menyebut bahwa pasar-pasar di Tanjungpinang kini telah menjadi “wilayah bebas cukai” de facto. “Seolah semua pemain kebal hukum. Tidak ada ketakutan lagi pada aparat. Para penjual menjadikan rokok tanpa pita cukai sebagai barang dagangan rutin,” katanya. Rurry juga mengingatkan bahwa fenomena ini tidak hanya merusak struktur ekonomi, tapi juga mengancam kesehatan masyarakat miskin.
“Pemenuhan perut kosong dengan racun nikotin murah adalah tragedi sosial yang jarang dibicarakan. Rokok ilegal bukan hanya mencuri uang negara, tapi juga mencuri napas rakyat kecil,” ujarnya.
Pemerintah telah menyediakan kanal pengaduan Bravo Bea Cukai 1500225, namun pertanyaannya kini: apakah laporan masyarakat benar-benar ditindaklanjuti atau hanya menumpuk di meja administrasi? Di tengah kebocoran triliunan rupiah dan lemahnya pengawasan, publik berhak meragukan efektivitas jargon “Operasi Gempur” yang selama ini digaungkan.
Jika aparat tak segera bertindak, Batam dan Kepulauan Riau berpotensi menjadi pusat asap gelap nasional—sebuah zona abu-abu di mana hukum kehilangan wibawa, dan negara terus kehilangan darah segarnya melalui pita cukai yang tak pernah menempel di bungkus rokok.
Sebab, ketika hukum tak lagi ditegakkan, dan uang negara terus terbakar di ujung batang rokok ilegal, maka yang tersisa hanyalah ironi: rakyat menghisap racun, sementara segelintir orang menghisap keuntungan.
arf-6









