Anggota Tubuh sebagai Amanah Ilahi di Tengah Krisis Moral Modern

Oleh: Dr. Nursalim, S.Pd., M.Pd

Humas Perkumpulan Muballigh Kota Batam

 

Mabesnews.com, Di tengah derasnya arus modernisasi dan kebebasan berekspresi, manusia kian mudah memandang tubuhnya sebagai milik pribadi yang dapat digunakan sesuka hati. Cara pandang ini secara perlahan membentuk krisis moral yang tidak selalu tampak di permukaan, tetapi nyata dampaknya dalam kehidupan sosial, budaya, bahkan spiritual. Padahal, dalam ajaran Islam, tubuh manusia bukanlah hak milik mutlak, melainkan amanah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Islam menempatkan tubuh sebagai sarana pengabdian, bukan sebagai objek pemuasan nafsu semata. Tubuh adalah kendaraan ruh untuk menempuh perjalanan menuju Tuhan. Setiap denyut jantung, setiap tarikan napas, hingga gerak terkecil dari anggota tubuh berada dalam pengawasan Ilahi. Kesadaran bahwa manusia sejatinya tidak memiliki apa pun—bahkan atas dirinya sendiri—merupakan fondasi penting dalam membangun etika hidup yang bertanggung jawab.

 

Ketika tubuh disadari sebagai amanah, maka cara manusia memanfaatkannya pun mengalami perubahan mendasar. Mata tidak lagi diposisikan sebagai alat konsumsi visual tanpa batas, melainkan sebagai sarana tadabbur untuk membaca tanda-tanda kebesaran Allah. Namun dalam realitas sosial hari ini, mata justru sering digunakan untuk mencari aib, menyebar kebencian, dan menormalisasi hal-hal yang secara moral dan agama dilarang. Di titik inilah amanah mulai terabaikan.

 

Hal yang sama terjadi pada lidah. Islam memuliakan lidah sebagai sarana zikir, penyampai kebenaran, dan penebar kedamaian. Akan tetapi, dalam praktik kehidupan sehari-hari, lidah kerap menjadi sumber fitnah, ujaran kebencian, dan konflik sosial. Media sosial memperparah kondisi ini, menjadikan kata-kata terlontar tanpa kendali dan tanpa tanggung jawab etis. Lidah yang tidak dijaga bukan hanya merusak hubungan antarmanusia, tetapi juga menggelapkan hati pelakunya.

 

Tradisi spiritual Islam telah lama menawarkan jalan penyadaran melalui konsep penyucian diri.

Salah satu tahap pentingnya adalah membersihkan anggota tubuh dari perbuatan dosa. Mata dijaga dari pandangan yang haram, telinga dihindarkan dari mendengar umpatan dan cacian, serta perut disucikan dari sumber penghidupan yang syubhat dan haram. Penyucian ini bukan ritual simbolik, melainkan latihan kesadaran agar tubuh kembali pada fungsi hakikinya sebagai alat pengabdian.

 

Al-Qur’an memberikan peringatan yang sangat tegas tentang pertanggungjawaban anggota tubuh. Dalam Surah Yasin ayat 65 digambarkan bahwa pada hari kiamat mulut manusia akan dikunci, sementara tangan dan kaki akan berbicara memberikan kesaksian. Gambaran ini menyadarkan bahwa tubuh bukan sekadar objek pasif, melainkan saksi aktif atas seluruh perbuatan manusia. Tidak ada ruang untuk menyangkal, sebab setiap anggota telah “merekam” apa yang dilakukan.

 

Namun Islam juga memberikan harapan. Anggota tubuh yang digunakan untuk beribadah dan berkhidmat kepada sesama akan menjadi cahaya, bahkan sejak di alam barzakh. Tubuh yang dijaga amanahnya akan menjadi pembela, bukan penuntut, di hadapan Allah. Inilah keadilan Ilahi yang memberi ganjaran sepadan dengan kesadaran dan tanggung jawab manusia.

 

Karena itu, penting bagi umat Islam untuk membangun kembali tradisi muhasabah. Setiap hari, bahkan setiap pagi dan petang, sudah sepatutnya manusia menghadirkan niat dalam hati: bahwa tubuh ini adalah amanah Allah dan harus digerakkan hanya untuk perkara yang diridai-Nya. Niat sederhana ini memiliki kekuatan besar sebagai pengontrol diri di tengah godaan zaman.

 

Menjaga anggota tubuh bukan semata urusan kesalehan individual, tetapi juga fondasi bagi terbangunnya masyarakat yang bermartabat. Ketika individu-individu sadar akan amanah tubuhnya, lahirlah perilaku sosial yang santun, adil, dan beretika. Dari sinilah peradaban yang beradab dapat dibangun peradaban yang menempatkan manusia bukan sebagai pusat segalanya, melainkan sebagai hamba yang bertanggung jawab di hadapan Tuhannya.