(Oleh : Khairul Mahalli)
MabesNews.com-Medan-Perbedaan strategi perdagangan antara Indonesia dan Vietnam, khususnya dalam hubungan dengan Jepang. Berikut analisis lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan ini :
1. Perbedaan Pendekatan Perdagangan
Indonesia (Retail) :Indonesia cenderung mengekspor produk-produk mentah atau setengah jadi (seperti bahan baku, komoditas, dan produk manufaktur sederhana) dengan model perdagangan retail atau transaksi berbasis volume. Contohnya :
• Ekspor batu bara, nikel, karet, minyak sawit, dan produk tekstil.
• Kurangnya pengembangan merek dan inovasi produk untuk pasar Jepang.
Vietnam (Konsep) :
Vietnam lebih fokus pada pendekatan berbasis nilai tambah dengan :
• Menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan spesifik pasar Jepang (contoh: elektronik, suku cadang otomotif, produk pertanian berkualitas tinggi).
• Mengadopsi model kemitraan industri (contoh : pabrik Samsung di Vietnam memasok komponen ke Jepang).
2. Mengapa Vietnam Lebih Sukses dengan Produk Nilai Tambah ?
• Investasi Langsung Jepang di Vietnam :
Jepang telah banyak berinvestasi di sektor manufaktur Vietnam (elektronik, otomotif, IoT), sehingga produk Vietnam lebih terintegrasi dengan rantai pasok Jepang.
Contoh: Perusahaan seperti Toyota, Panasonic, dan Sony memiliki pabrik atau mitra di Vietnam.
• Kebijakan Industri Vietnam :
Pemerintah Vietnam aktif mendorong industri bernilai tinggi melalui insentif pajak, kawasan ekonomi khusus, dan pelatihan tenaga kerja terampil.
• Adaptasi terhadap Standar Jepang :
Vietnam lebih cepat memenuhi standar kualitas dan keamanan Jepang (contoh: produk pertanian Vietnam seperti kopi, udang, dan buah-buahan telah memenuhi sertifikasi JAS/JIS).
• Ekosistem Pendukung :
Vietnam mengembangkan klaster industri (seperti zona industri Hi-Tech di Hanoi dan Ho Chi Minh) yang memudahkan kolaborasi dengan perusahaan Jepang.
3. Kelemahan Indonesia dalam Persaingan dengan Vietnam
• Ketergantungan pada Komoditas :
Indonesia masih bergantung pada ekspor bahan mentah, sehingga rentan terhadap fluktuasi harga global.
• Kurangnya Inovasi dan Branding :
Produk Indonesia seringkali dipasarkan sebagai “komoditas murah” daripada “produk bernilai tinggi”.
• Infrastruktur dan Birokrasi :
Proses ekspor di Indonesia masih rumit (birokrasi panjang, logistik mahal), sementara Vietnam lebih efisien.
4. Solusi untuk Indonesia
• Meningkatkan Kolaborasi Industri dengan Jepang :
Misalnya, mengundang lebih banyak investasi Jepang di sektor manufaktur teknologi tinggi.
• Pengembangan Produk Nilai Tambah :
Contoh : Mengolah nikel menjadi baterai EV (seperti proyek Tesla di Indonesia) alih-alih hanya mengekspor bijih nikel.
• Peningkatan Standar dan Sertifikasi :
Produk Indonesia harus memenuhi persyaratan ketat Jepang (contoh: sertifikasi halal, organik, atau JIS).
Kesimpulan
Vietnam lebih sukses karena strategi industrinya yang terencana, sementara Indonesia masih terjebak dalam pola perdagangan tradisional. Jika Indonesia ingin bersaing, perlu beralih dari retail-based trading ke value-chain integration dengan Jepang.
Khairul Mahalli adalah Ketua Umum DPP Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) – Ketua Umum KADIN Sumatera Utara dan Ketua Umum Asosiasi Depo Logistik Indonesia (ASDEKI). Editor-bay)